Posts from the ‘Merek dan logo’ Category

LOGO TOYOTA


 

Toyota LogoPrinsip Toyota Motor Corporation membimbing adalah untuk ‘menciptakan dan mengembangkan teknologi maju dan menyediakan produk yang beredar dan jasa yang memenuhi kebutuhan pelanggan di seluruh dunia. . Sejak didirikan, perusahaan telah bertujuan untuk memperkaya masyarakat melalui pembuatan mobil.  Sekarang, salah satu mobil terkemuka di dunia, truk, bus, dan produsen robot dan penyedia jasa keuangan.

Logo Toyota, seperti perusahaan, secara luas diakui untuk kreativitas dan kesederhanaan.  Hal ini telah menjadi simbol dari produk otomotif dan non-otomotif perintis dan jasa. Logo Toyota dikenakan sebuah identitas visual berarti dengan dampak visual yang kuat.  Ini melambangkan transisi energik perusahaan dari sebuah bisnis keluarga untuk ekspansi perusahaan di seluruh dunia.

Toyota perusahaan saat ini pin lencana lambang  Pada tahun 1936, ketika Toyoda Automatic Loom Works Ltd meluncurkan mobil penumpang pertama, dibutuhkan sebuah merek dagang baru untuk memperingati peluncuran.  Untuk itu, kompetisi diadakan untuk membentuk sebuah logo yang akan mempromosikan kendaraan perusahaan. Persyaratan desain perusahaan adalah untuk menciptakan sesuatu yang akan mengungkapkan ‘rasa kecepatan’.  Jadi, logo memenangkan mengakibatkan perubahan nama dari ‘Toyoda’ menjadi ‘Toyota’.  Ini sebagai huruf Jepang ‘Toyota’ memberi logo melihat ramping dan juga dipilih karena jumlah stroke pada kata dalam bahasa Jepang ‘Toyota’ (delapan) dianggap membawa keberuntungan dan kemakmuran.  Meskipun tidak lagi digunakan pada produk, logo Toyota asli masih digunakan sebagai lambang perusahaan dan diberikan kepada karyawan perusahaan pada bergabung.  Logo Toyota saat ini terdiri dari nama “TOYOTA” dalam huruf romawi dengan tiga oval dalam skema warna merah dan putih. ”Dua oval pusat tegak lurus merupakan hubungan saling percaya antara pelanggan dan Toyota ini oval menggabungkan untuk melambangkan huruf “T” untuk Toyota.. Ruang di latar belakang menunjukkan ekspansi global teknologi Toyota dan potensi tak terbatas untuk masa depan’ .

Visual identitas merek apapun tidak hanya meningkatkan kesadaran efektif produk, tetapi juga membantu dalam mengekspresikan misi perusahaan dan filosofi kepada pelanggan. . Seperti yang dapat Anda lihat logo Toyota cemerlang dan sempurna memenuhi kualitas ini.

 

Merk Mesti Konsisten dan Fleksibel


“Merek-merek besar berhubungan dengan emosi. Emosi-emosilah yang
mendorong semua keputusan kita. Merek mampu menjangkau luas karena sebuah
pengalaman yang mengikat kuat. Merek memiliki hubungan yang lebih dari
sekadar sebuah produk.”

-Scott Bedbury

Dunia pemasaran tidak akan bisa lepas dari yang apa disebut sebagai merek (brand). Segala teori dan praktik dalam marketing selalu berawal dan berujung pada merek. Bahkan, bila suatu perusahaan sedang membangun sebuah brand miliknya bisa diartikan pula bahwa ia sedang membangun jati dirinya. Merek yang kuat akan menjadi top of mind, selalu muncul pertama dalam benak konsumen. Dan, apabila perusahaan mampu mengembangkan merek hingga menjadi top of mind, bisa dipastikan dia akan mampu mempertahankan diri dari serangan pesaing.

Sebelumnya, ada baiknya apabila kita menengok ke belakang mengenai definisi merek. Dan bila mengambil dari pemaparan American Marketing Association, merek adalah nama, istilah, simbol, rancangan, atau kombinasi dari hal-hal tersebut, yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi barang atau jasa dari seorang atau sekelompok penjual dan untuk membedakannya dari produk pesaing.

Pada perkembangannya, merek tidak sekadar sebagai simbol atau pembeda dari merek lain saja. Merek yang unggul juga mampu berperan sebagai asosiatif, yaitu mengasosiasikan kualitas atau jaminan kualitas bagi konsumennya. Bahkan, menjadi asosiasi lain yang mungkin tidak berkaitan langsung dengan produknya. Misalnya, merek yang peduli pada dunia olahraga justru didominasi oleh produk rokok. Contoh lain, Sony akan mudah diasosiasikan berteknologi tinggi dan jaminan mutu, maka hal-hal itulah yang harus diproyeksikan Sony dalam strategi branding-nya.

Merek menjadi lebih dari sekedar simbol karena adanya enam level pengertian yang terkandung di dalamnya, meliputi: atribut, manfaat, nilai, budaya, kepribadian, dan pemakai. Kotler mengatakan, tantangan dalam pemberian merek adalah mengembangkan satu pengumpulan makna yang lebih dalam terhadap merek tersebut. Pemasar harus menentukan pada level mana dia akan menanamkan identitas merek.

Pelanggan Loyal

Merek yang sudah menjadi simbol, berasosiasi pada sesuatu yang positif, dan menjadi top of mind merupakan merek yang sukses. Merek tersebut mengandung banyak value dan kekuatan, atau dianggap memiliki ekuitas merek (brand equity) yang tak ternilai.

Aaker dalam Kotler (2000) menyebutkan bahwa ekuitas merek adalah brand asset dan liability yang berhubungan dengan sebuah merek tertentu. Hal ini berkaitan dengan tingkat pengakuan merek, mutu merek yang diyakini, asosiasi mental dan emosional yang kuat, serta aktiva lain seperti hak paten, merek dagang, dan hubungan saluran distribusi.

Ada banyak langkah untuk mendapatkan ekuitas merek yang bagus. Antara lain meningkatkan brand awarenes, membentuk brand association, menciptakan brand loyalty, membuat brand perceived quality, membangun quality services, dan lainlain. Kesemuanya itu ujung-ujungnya adalah membuat dan mempertahankan pelanggan loyal. Ada lima level sikap pelanggan terhadap merek, mulai dari level terendah sampai tertinggi:

  1. Pelanggan akan mengganti merek terutama karena alasan harga, tidak ada
  2. kesetiaan merek.
  3. Pelanggan puas, tidak ada alasan untuk berganti merek.
  4. Pelanggan puas dan merasa rugi bila berganti merek.
  5. Pelanggan menghargai merek itu dan menganggapnya sebagai teman.
  6. Pelanggan terikat kepada merek itu.

Sederhananya, ekuitas merek akan sangat berkaitan dengan seberapa banyak pelanggan berada dalam level 3, 4, dan 5. Merek yang menarik dan mempertahankan pelanggan terbaik bakal lebih mampu men-charge lebih besar, menjual lebih banyak dan lebih sering.

Dengan demikian, brand equity akan mampu memperbaiki margin dan menciptakan tabungan pendapatan di masa depan. Potensi yang diciptakan oleh pelanggan loyal kepada merek inilah yang sering kali dinamakan brand equity. Menurut Kotler, keuntungan kompetitif yang dapat diperoleh dari tingginya ekuitas merek adalah:

  1. Merek tersebut memberikan pertahanan terhadap persaingan harga yang kompetitif.
  2. Lebih mudah meluncurkan perluasan merek karena kredibilitasnya tinggi.
  3. Mampu menetapkan harga lebih tinggi dari pesaing karena adanya keyakinan konsumen terhadap kredibilitas barang tersebut.
  4. Posisi yang lebih kuat dalam negosiasi dengan distributor dan pengecer sebab pelanggan berharap memiliki merek tersebut.
  5. Menikmati biaya pemasaran yang lebih kecil karena tingkat kesadaran dan kesetiaan merek konsumen tinggi.

Akan tetapi, brand equity tidak bisa tercipta dalam sekejap. Ini merupakan proses yang membutuhkan waktu dan melibatkan semua lini dalam perusahaan. Mulai dari product development, financial, distribution, dan tentu saja tim marketing. Para sales di lapangan, customer services, hingga CEO adalah mesin-mesin yang akan menciptakan brand equity.

Setiap tahap atau proses dalam menciptakan ekuitas merek mesti sesuai dan seirama dengan langkah lainnya. Sehingga, diperlukan sebuah “brand road map” atau tahaptahap pencapaian merek. Dalam setiap tahapan itu harus selalu ada kontrol dan evaluasi.

Supaya pencapaian itu sesuai dengan target, maka peran seorang CEO (yang diibaratkan sebagai dirigen) adalah vital sekali. Seorang top leader harus selalu tahu apakah merek yang ia tangani berjalan sesuai dengan rancangan atau bahkan melenceng. Ia harus menyinergikan peran semua bagian dalam perusahaannya sehingga bisa seirama. Misalnya, meyakinkan bagian financial planning akan pentingnya sebuah program promosi yang tidak terukur (intangible). Di sisi lain, peran para pemegang saham juga penting dalam penciptaan brand equity ini.

Frederick W Smith adalah contoh leader yang sukses menciptakan brand equity. Siapa tidak tahu FedEx? Perusahaan pengiriman tercepat sekarang ini. Ada asosiasi yang kuat antara FedEx dengan kecepatan dan ketepatan. Smith juga mampu mempertahankan ekuitas mereknya dari ancaman pemogokan massal para pilot di perusahaannya. Dia bergerak cepat dan mendapat dukungan dari karyawan lain, sehingga pemogokan batal. Bila benar-benar terjadi, bisa dibayangkan dampak negatifnya pada merek FedEx.

Ketika pada suatu titik merek sudah menjadi kuat, ia tidak akan saja mempengaruhi profit. Tetapi, juga mempengaruhi perilaku semua unsur yang ada di perusahaan tersebut. Sebab proses untuk mencapai brand equity yang tinggi melibatkan unsur emosi dan perilaku semua orang yang mendukung proses tersebut.

Satu lagi contoh merek yang memiliki nilai tertinggi saat ini adalah Google. Tahun 2006 merek ini menghasilkan keuntungan iklan sebesar US$ 10,492 miliar. Wajarlah kalau Microsoft tergiur untuk membeli saham perusahaan search engine ini.

Beberapa tahun terakhir, Google getol mengeluarkan produk-produk baru. Mulai dari Froogle (comparison shopping), Gmail (free email), Google Earth (online mapping), Google Talk (instant messaging), Google Base (classified ads), Google Print (book search), Google Desktop (desktop utilities), Google Spreadsheets (online spreadheets) dan produk-produk baru lainnya. Google juga melakukan sejumlah akuisisi untuk memperluas jalur produknya seperti akuisisi terhadap Picassa (online photo sharing) dan Writely (online word processor).

Google kini sudah tidak bisa lagi disebut sebagai search engine saja. Ia merambah ke banyak bidang lain sehingga boleh dibilang telah melakukan repositioning. Namun, repositioning adalah perangkap berbahaya bila tidak dijalankan dengan benar karena bisa berdampak terhadap runtuhnya brand equity yang sudah terbangun.

Meski melakukan repositioning, Google memilih untuk tidak beranjak terlalu jauh dari asosiasi semula terhadap kata search engine. Pergantian positioning dari search engine ke information organizer masih dalam tahap yang wajar karena konsumen dengan mudah menarik hubungan antara keduanya.

Sebenarnya Google bisa saja mereposisi dirinya menjadi web portal atau web applications. Tetapi, langkah tersebut tidak ditempuh karena Google sadar bahwa repositioning ke arah sana terlalu jauh dan kata web portal sendiri sudah diasosiasikan dengan Yahoo!.

Jadi, perlu ditekankan di sini tentang pentingnya menjaga konsistensi merek dan mengikuti perubahan yang terjadi. Langkah ini sangat penting dalam ekuitas merek. Konsistensi merek menjadi critical dalam menjaga kekuatan dan keunggulan asosiasi merek bagi konsumen. Beberapa pemimpin merek kelas dunia, seperti Coca-Cola dan IBM, berhasil mempertahankan ekuitas mereknya dalam waktu yang tidak singkat. Kunci sukses dalam hal ini adalah adanya dukungan aktivitas pemasaran yang secara konsisten menjaga merek tersebut.

Konsisten, menurut Kotler, tidak berarti statis tapi cenderung bersifat fleksibel mengikuti perubahan yang terjadi sepanjang waktu—untuk meningkatkan brand awareness, brand association, brand acceptability sampai pada level brand loyalty. Yang jelas, meski merek akan selalu mencari kekuatan sumber-sumber baru yang potensial untuk ekuitas merek, namun prioritas utama tetaplah melindungi dan mempertahankan sumber-sumber ekuitas merek yang telah ada. Idealnya, sumber sumber kunci dari ekuitas merek akan menjadi nilai yang berkelanjutan dan abadi.

PARADIGMA MERK : “BECAUSE, YOU ARE A BRAND”


MENDEFINISIKAN Suatu merk (brand) adalah satu hal. Bagaimana membangun merk adalah hal lain.

Secara lugas dapat dikatakan Brand is…..,‘you’…., You are what you wear, You are what read, You are what you eat, You are what you drive, You are what you dream of, You are what you believe, You are what you promise.

Kalimat sederhana tersebut mengartikan bahwa Anda adalah sebuah merk. Diri Anda adalah sebuah merk yang melekat secara fisik maupun emosional.

Kemanapun Anda pergi, apapun yang Anda pakai, apapun yang Anda baca, apapun yang Anda makan, apapun yang Anda impikan, apapun yang Anda yakini, serta apapun yang Anda janjikan, semuanya adalah merk, merk, merk dan merk.

Jadi, merk bukan sekedar nama, bukan pula logo atau symbol atau bukan juga sekedar visualisasi, namun sudah menjadi jiwa yang melebur dalam produk-produk itu, sehingga nilai-nilai yang terpancarkan dari sebuah produk itu bisa sangat berbeda-beda pada setiap orang.

Anda yang memakai jam tangan Rolex, umpamanya akan memperoleh penilaian berbeda dengan pemakai jam Seiko yang kuno dan klasik. People is a Brand and Brand is a people. Jadi jelas, dalam kompetisi bisnis yang saat ini kita harus menyadari bahwa brand itu penting dan dia tidak jauh kemana-mana.

Brand berada di tengah-tengah kita. Brand adalah value indicator dari apa yang anda tawarkan. Brand adalah payung yang melingkupi produk atau pelayanan, perusahaan, pribadi, atau bahkan Negara..

Brand adalah sebuah ekuitas perusahaan yang menambahkan value pada produk dan pelayanan yang ditawarkan.

Sebagai sebuah asset, brand menciptakan value bagi para konsumen melalui kualitas produk dan kepuasan konsumen. Jadi, apapun yang kita tawarkan perlu kesadaran bahwa merk bukan lagi kata yang hanya di hubungkan dengan produk atau sekumpulan barang. Tetapi juga dengan proses yang meliputi pelayanan dan strategi bisnis kunci.

Merk (Brand) telah menjadi salah satu kata paling populer yang digunakan dalam dunia bisnis saat ini. Merk bukan hanya domain bagi pemilik merk perusahaan besar saja. Untuk menang dalam persaingan, perusahaan besar, menengah, dan kecil harus merubah cara strategi dalam membangun citra merk bagi corporate-nya.

Ada sebuah article yang pernah saya baca “ Membesarkan sebuah produk menjadi Superbrand” merupakan tema yang sangat tepat dan sangat penting dalam menerapkan kemampuan untuk bersaing secara effektif, global, dan local dalam kondisi persaingan bisnis saat ini.

Dalam inti marketing, merk (brand) juga merupakan salah satu dari sembilan element penting selain segmentasi, targeting, positioning, diferensiasi, marketing mix, selling, service and process.

Dan tentunya suatu merk itu bisa berhasil jika perusahaan mampu membangun kesembilan element pemasaran tersebut.

Jika saya bertanya kepada anda, adakah hubungannya antara merk dan pelayanan yang diberikan kepada pelanggan? Tak mudah menjawab pertanyaan ini. Kebanyakan orang menganggap branding hanya berkaitan dengan masalah penanaman produk dan aktifitas promosi.

Aktifitas branding pun seringkali akhirnya hanya berkisar di kedua hal itu. Padahal branding juga menyangkut hal lain. Banyak orang melakukan branding cukup dengan melakukan aktifitas marketing secara rutin saja, atau memasang iklan atau reklame dalam ukuran yang besar dan menonjol, produk yang baik, atau sesuatu yang prestise semata, sementara sisi lain seperti “pelayanan” terlupakan.

Padahal merk sebaiknya harus di cerminkan dalam setiap aspek budaya organisasi perusahaan, terutama ketika terjadi interaksi antar manusia (antara karyawan & pelanggan), yaitu dalam hal pelayanan. Layanan yang di berikan kepada pelanggan harus mampu mendukung dan meningkatkan merk perusahaan atau produk. Dengan menjalankan pelayanan yang baik kepada konsumen merk pun akan menjadi hidup. ***

 

Ringkasan dari diskusi menarik dengan Mr. Jadi Rajagukguk (Marketorial leader di hotel Sahid Pakanbaru tgl : 14 April 2007 jam 10.15 WIB)

“Fighting Brand, Strategi Perang Antarproduk”


Konon kabarnya, dari awal asal-usulnya manusia memang “disetel” untuk tidak pernah puas. Naluri dasar manusia memang akan selalu mencari sesuatu yang lebih dari yang sekarang pernah dicapai atau dimiliki. Tetapi ketidakpuasan tersebut sebenarnya merupakan motivator bagi kita untuk terus berkarya dan menghasilkan pencapaian-pencapaian yang tidak terbayangkan sebelumnya.

Jamaknya, jika orang sudah punya mobil Toyota Avanza umpamanya, maka sedikit banyak pasti kepingin punya Innova atau Altis. Sudah punya rumah seharga Rp500 juta, pasti ada rasa ingin memiliki rumah yang berharga Rp1 miliar. Itu semua normal kan. Begitu juga yang berlaku dalam konteks marketing, kalau brand kita sudah berhasil menjadi leader di kota utama, kita ingin juga melakukan ekspansi ke kota lainnya. Kalau kita sudah punya produk untuk segmen menengah, kita jadi tergoda untuk coba-coba masuk ke segmen upper class.

Namun dalam dunia pemasaran atau marketing, konsepnya bisa terbalik. Jika konsumen selalu menginginkan produk di atas kelas dari barang yang sudah dimilikinya, maka produsen bisa sebaliknya, ingin menggarap pasar yang lebih rendah dibanding pasar yang kini tengah digarapnya.

Banyak kasus terjadi justru pemasar kelas premium melakukan ekspansi dengan meluncurkan produk dan merek kelas menengah. Heran? Tidak perlu! Paling tidak ada dua faktor yang menyebabkan fenomena ini. Pertama adalah keinginan untuk meraih pangsa pasar yang lebih luas.

Seperti yang telah dijelaskan dalam diskusi kita minggu lalu, ada kalanya para pemasar tergoda untuk menjual sebanyak-banyaknya. Repotnya jika produknya adalah produk premium, tentu jumlah segmen pelanggannya relatif kecil bukan. Meraih segmen pelanggan di bawahnya atau kelas menengah adalah cara yang kerap dilakukan dengan memberikan berbagai insentif seperti potongan harga atau bonus agar produknya dapat terserap. Tapi cara ini kurang sehat bagi kelangsungan merek premium dalam jangka panjang.

Faktor yang kedua adalah penetrasi produk subtitusi yang gencar. Bila produk kita pada awalnya begitu dicari karena keistimewaannya walaupun harganya mahal, maka kemunculan produk subtitusi yang memiliki ciri dan karakter yang mirip dengan harga yang berbeda dapat mengganggu penjualan kita. Selain itu, faktor lain yang mendorong munculnya produk subtitusi adalah menurunnya daya beli konsumen.

Maka itu harus dicari semacam alternatif, agar produsen tetap bisa mendapatkan yang terbaik dari semua segmen pasar. Misalnya, dia tetap bisa menjual produk eksklusifnya kepada pasar menengah ke atas, namun sementara itu tetap bisa menjangkau jumlah pelanggan yang sangat banyak dari kalangan menengah ke bawah, tanpa harus membuat produk eksklusifnya kehilangan image istimewa tersebut. Di sinilah fighting brand bisa berperan.

Sesuai dengan namanya, fighting brand memang diciptakan untuk “berantem” dengan produk-produk subtitusi. Selain itu, fighting brand juga dapat digunakan untuk meraih segmen sekunder diluar segmen utama kita (yang jumlahnya dapat saja jauh lebih banyak) selama segmen tersebut dinilai dapat menguntungkan.

salah satu kendala terhadap fighting brand yaitu adanya anggapan bahwa memiliki 2 brand berarti memiliki pengeluaran tambahan, karena biar bagaimana pun setiap brand memerlukan treatment agar dapat diterima oleh konsumen. Tapi dari sisi lain, pengeluaran tambahan itu menjadi tidak seberapa dibandingkan bila kita harus melakukan recovery terhadap merosotnya brand image merek utama kita akibat ikut-ikutan berperang pada segmen di bawahnya. Ingatlah, bahwa selalu lebih sulit untuk mengembalikan kepercayaan dibandingkan dengan meraih atau mempertahankannya.

Ingatkah Anda terhadap Citilink dari Garuda Indonesia? Ya, sejak tahun 2002 Garuda yang saat ini masih dipersepsikan sebagai airline kelas premium untuk level domestik memiliki fighting brand Citilink sebagai fighting brand untuk menghadapi perang harga. Alat-alat musik terkenal juga memainkan strategi ini. Gibson dan Fender, merek gitar elektrik legendaris, saat ini masing-masing memiliki fighting brand Epiphone dan Squire. Hal ini dilakukan untuk mengakomodasi pasar pengguna elektrik gitar pemula, yaitu anak muda yang sedang keranjingan rock n’ roll.

Jadi yakinlah, bahwa yang terbaik adalah selalu fokus kepada inti bisnis Anda, termasuk juga fokus kepada segmen pasar yang Anda tuju. Fighting brand adalah alat yang dapat kita manfaatkan untuk mengantisipasi perkembangan yang ada di pasar. Dengan fighting brand, inti bisnis Anda tidak akan terganggu sementara Anda mengantisipasi perubahan.

BRAND EQUITY : “Mesti Konsisten dan Fleksibel’


“Merek-merek besar berhubungan dengan emosi. Emosi-emosilah yang
mendorong semua keputusan kita. Merek mampu menjangkau luas karena sebuah
pengalaman yang mengikat kuat. Merek memiliki hubungan yang lebih dari
sekadar sebuah produk.”-Scott Bedbury

 

Dunia pemasaran tidak akan bisa lepas dari yang apa disebut sebagai merek (brand). Segala teori dan praktik dalam marketing selalu berawal dan berujung pada merek. Bahkan, bila suatu perusahaan sedang membangun sebuah brand miliknya bisa diartikan pula bahwa ia sedang membangun jati dirinya. Merek yang kuat akan

menjadi top of mind, selalu muncul pertama dalam benak konsumen. Dan, apabila perusahaan mampu mengembangkan merek hingga menjadi top of mind, bisa dipastikan dia akan mampu mempertahankan diri dari serangan pesaing.

 

Sebelumnya, ada baiknya apabila kita menengok ke belakang mengenai definisi merek. Dan bila mengambil dari pemaparan American Marketing Association, merek adalah nama, istilah, simbol, rancangan, atau kombinasi dari hal-hal tersebut, yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi barang atau jasa dari seorang atau sekelompok penjual dan untuk membedakannya dari produk pesaing.

Pada perkembangannya, merek tidak sekadar sebagai simbol atau pembeda dari merek lain saja. Merek yang unggul juga mampu berperan sebagai asosiatif, yaitu mengasosiasikan kualitas atau jaminan kualitas bagi konsumennya. Bahkan, menjadi asosiasi lain yang mungkin tidak berkaitan langsung dengan produknya. Misalnya, merek yang peduli pada dunia olahraga justru didominasi oleh produk rokok. Contoh lain, Sony akan mudah diasosiasikan berteknologi tinggi dan jaminan mutu, maka hal-hal itulah yang harus diproyeksikan Sony dalam strategi branding-nya.

Merek menjadi lebih dari sekedar simbol karena adanya enam level pengertian yang terkandung di dalamnya, meliputi: atribut, manfaat, nilai, budaya, kepribadian, dan pemakai. Kotler mengatakan, tantangan dalam pemberian merek adalah mengembangkan satu pengumpulan makna yang lebih dalam terhadap merek tersebut. Pemasar harus menentukan pada level mana dia akan menanamkan identitas merek.

Pelanggan Loyal

Merek yang sudah menjadi simbol, berasosiasi pada sesuatu yang positif, dan menjadi top of mind merupakan merek yang sukses. Merek tersebut mengandung banyak value dan kekuatan, atau dianggap memiliki ekuitas merek (brand equity) yang tak ternilai.

Aaker dalam Kotler (2000) menyebutkan bahwa ekuitas merek adalah brand asset dan liability yang berhubungan dengan sebuah merek tertentu. Hal ini berkaitan dengan tingkat pengakuan merek, mutu merek yang diyakini, asosiasi mental dan emosional yang kuat, serta aktiva lain seperti hak paten, merek dagang, dan hubungan saluran distribusi.

Ada banyak langkah untuk mendapatkan ekuitas merek yang bagus. Antara lain meningkatkan brand awarenes, membentuk brand association, menciptakan brand loyalty, membuat brand perceived quality, membangun quality services, dan lainlain. Kesemuanya itu ujung-ujungnya adalah membuat dan mempertahankan pelanggan loyal. Ada lima level sikap pelanggan terhadap merek, mulai dari level terendah sampai tertinggi:

  1. Pelanggan akan mengganti merek terutama karena alasan harga, tidak ada kesetiaan merek.
  2. Pelanggan puas, tidak ada alasan untuk berganti merek.
  3. Pelanggan puas dan merasa rugi bila berganti merek.
  4. Pelanggan menghargai merek itu dan menganggapnya sebagai teman.
  5. Pelanggan terikat kepada merek itu.

Sederhananya, ekuitas merek akan sangat berkaitan dengan seberapa banyak pelanggan berada dalam level 3, 4, dan 5. Merek yang menarik dan mempertahankan pelanggan terbaik bakal lebih mampu men-charge lebih besar, menjual lebih banyak dan lebih sering.

Dengan demikian, brand equity akan mampu memperbaiki margin dan menciptakan tabungan pendapatan di masa depan. Potensi yang diciptakan oleh pelanggan loyal kepada merek inilah yang sering kali dinamakan brand equity. Menurut Kotler, keuntungan kompetitif yang dapat diperoleh dari tingginya ekuitas merek adalah:

  1.  Merek tersebut memberikan pertahanan terhadap persaingan harga yang kompetitif.
  2. Lebih mudah meluncurkan perluasan merek karena kredibilitasnya tinggi.
  3. Mampu menetapkan harga lebih tinggi dari pesaing karena adanya keyakinan konsumen terhadap kredibilitas barang tersebut.
  4. Posisi yang lebih kuat dalam negosiasi dengan distributor dan pengecer sebab pelanggan berharap memiliki merek tersebut.
  5. Menikmati biaya pemasaran yang lebih kecil karena tingkat kesadaran dan kesetiaan merek konsumen tinggi.

Akan tetapi, brand equity tidak bisa tercipta dalam sekejap. Ini merupakan proses yang membutuhkan waktu dan melibatkan semua lini dalam perusahaan. Mulai dari product development, financial, distribution, dan tentu saja tim marketing. Para sales di lapangan, customer services, hingga CEO adalah mesin-mesin yang akan menciptakan brand equity.

Setiap tahap atau proses dalam menciptakan ekuitas merek mesti sesuai dan seirama dengan langkah lainnya. Sehingga, diperlukan sebuah “brand road map” atau tahaptahap pencapaian merek. Dalam setiap tahapan itu harus selalu ada kontrol dan evaluasi.

Supaya pencapaian itu sesuai dengan target, maka peran seorang CEO (yang diibaratkan sebagai dirigen) adalah vital sekali. Seorang top leader harus selalu tahu apakah merek yang ia tangani berjalan sesuai dengan rancangan atau bahkan melenceng. Ia harus menyinergikan peran semua bagian dalam perusahaannya sehingga bisa seirama. Misalnya, meyakinkan bagian financial planning akan pentingnya sebuah program promosi yang tidak terukur (intangible). Di sisi lain, peran para pemegang saham juga penting dalam penciptaan brand equity ini.

Frederick W Smith adalah contoh leader yang sukses menciptakan brand equity. Siapa tidak tahu FedEx? Perusahaan pengiriman tercepat sekarang ini. Ada asosiasi yang kuat antara FedEx dengan kecepatan dan ketepatan. Smith juga mampu mempertahankan ekuitas mereknya dari ancaman pemogokan massal para pilot di perusahaannya. Dia bergerak cepat dan mendapat dukungan dari karyawan lain, sehingga pemogokan batal. Bila benar-benar terjadi, bisa dibayangkan dampak negatifnya pada merek FedEx.

Ketika pada suatu titik merek sudah menjadi kuat, ia tidak akan saja mempengaruhi profit. Tetapi, juga mempengaruhi perilaku semua unsur yang ada di perusahaan tersebut. Sebab proses untuk mencapai brand equity yang tinggi melibatkan unsur emosi dan perilaku semua orang yang mendukung proses tersebut.

Satu lagi contoh merek yang memiliki nilai tertinggi saat ini adalah Google. Tahun 2006 merek ini menghasilkan keuntungan iklan sebesar US$ 10,492 miliar. Wajarlah kalau Microsoft tergiur untuk membeli saham perusahaan search engine ini.

Beberapa tahun terakhir, Google getol mengeluarkan produk-produk baru. Mulai dari Froogle (comparison shopping), Gmail (free email), Google Earth (online mapping), Google Talk (instant messaging), Google Base (classified ads), Google Print (book search), Google Desktop (desktop utilities), Google Spreadsheets (online spreadheets) dan produk-produk baru lainnya. Google juga melakukan sejumlah akuisisi untuk memperluas jalur produknya seperti akuisisi terhadap Picassa (online photo sharing) dan Writely (online word processor).

Google kini sudah tidak bisa lagi disebut sebagai search engine saja. Ia merambah ke banyak bidang lain sehingga boleh dibilang telah melakukan repositioning. Namun, repositioning adalah perangkap berbahaya bila tidak dijalankan dengan benar karena bisa berdampak terhadap runtuhnya brand equity yang sudah terbangun.

Meski melakukan repositioning, Google memilih untuk tidak beranjak terlalu jauh dari asosiasi semula terhadap kata search engine. Pergantian positioning dari search engine ke information organizer masih dalam tahap yang wajar karena konsumen dengan mudah menarik hubungan antara keduanya.

Sebenarnya Google bisa saja mereposisi dirinya menjadi web portal atau web applications. Tetapi, langkah tersebut tidak ditempuh karena Google sadar bahwa repositioning ke arah sana terlalu jauh dan kata web portal sendiri sudah diasosiasikan dengan Yahoo!.

Jadi, perlu ditekankan di sini tentang pentingnya menjaga konsistensi merek dan mengikuti perubahan yang terjadi. Langkah ini sangat penting dalam ekuitas merek. Konsistensi merek menjadi critical dalam menjaga kekuatan dan keunggulan asosiasi merek bagi konsumen. Beberapa pemimpin merek kelas dunia, seperti Coca- Cola dan IBM, berhasil mempertahankan ekuitas mereknya dalam waktu yang tidak singkat. Kunci sukses dalam hal ini adalah adanya dukungan aktivitas pemasaran yang secara konsisten menjaga merek tersebut.

Konsisten, menurut Kotler, tidak berarti statis tapi cenderung bersifat fleksibel mengikuti perubahan yang terjadi sepanjang waktu—untuk meningkatkan brand awareness, brand association, brand acceptability sampai pada level brand loyalty. Yang jelas, meski merek akan selalu mencari kekuatan sumber-sumber baru yang potensial untuk ekuitas merek, namun prioritas utama tetaplah melindungi dan mempertahankan sumber-sumber ekuitas merek yang telah ada. Idealnya, sumber sumber kunci dari ekuitas merek akan menjadi nilai yang berkelanjutan dan abadi.

Ganti logo: Berharap Berubah


Logo memiliki peran yang sentral dalam mengkomunikasikan nilai-nilai perusahaan. Oleh karena itu, ketika nilai-nilai tersebut sudah tidak dapat dikedepankan oleh logo tersebut, mau tidak mau harus diganti.

Betapa tidak enaknya bekerja di perusahaan yang memiliki imej buruk di masyarakat. Sekalipun kita telah bekerja dengan penuh dedikasi, toh masyarakat melihat kita termasuk bagian dari sebuah institusi yang buruk.

Perasaan ini juga yang dirasakan oleh para petinggi BNI. Merasa membawa “kapal” yang berkesan tua dan sarat penyakit di dalam, manajemen BNI akhirnya sepakat untuk melakukan perubahan logo korporat mereka. Apalagi bank yang sedikitnya memiliki 7 juta nasabah ini baru terkena isu tidak sedap soal pembobolan kredit perbankan. Dengan kejadian ini, apa mereka masih sanggup mempergunakan logo kapal layar sebagai simbol kekuatan dan kepercayaan?

Akhirnya, mereka menempuh waktu empat bulan, waktu yang sebenarnya cukup singkat, untuk mengambil tindakan pergantian ini. Logo yang semula bergambar perahu layar dengan warna hijau diganti dengan warna oranye pada kotak tulisan 46 dan hijau pada tulisan BNI.

Perubahan internal dan eksternal pun dilakukan oleh Excelcomindo. Perusahaan telekomunikasi yang memiliki sekitar 4 juta pelanggan selular ini mencoba menampilkan citra pelayanan yang lebih baik dan peningkatan kemampuan teknologi yang dimiliki. Perbaikan tersebut kemudian dikomunikasikan kepada khayalak melalui perubahan logo.

Tidak hanya di Indonesia, pertengahan September lalu Xerox Corporation di AS mengganti logonya yang baru berusia 10 tahun. Menariknya, logo baru ini lebih berkesan tulisan biasa dibandingkan logo lama yang berkesan digital dan high tech. Seperti dilansir di banyak media di sana, Kara Choquette, juru bicara Xerox mengatakan bahwa logo lama Xerox yang bersimbol huruf X ternyata dianggap sudah tidak dapat memperkuat jasa layanan Xerox yang sudah semakin beragam. Untuk kembali memperkuat awareness merek ini sebagai perusahaan konsultan, jasa manajemen dokumen dan teknologi digital, mereka kemudian mengembalikan kata “Xerox” ke dalam logo korporat.

Cermin nilai-nilai baru
Selalu saja yang namanya “baru” menyimpan sebuah optimisme ke depan. Demikian pula dengan penggantian logo perusahaan, terasa ada semangat baru yang ingin dikedepankan. Tidak hanya sign board, kop surat atau tanda-tanda perusahaan lain yang baru. Visi perusahaan pun ikut diubah seiring dengan pergantian tersebut.

Cermin dari pembaharuan itu terlihat dari komponen-komponen logo tersebut seperti warna, bentuk, dan tulisan. Meski banyak orang yang tidak menyadari hubungan antara komponen logo tersebut dengan semangat baru perusahaan, namun kenyataannya sebuah logo seringkali merangsang penglihatan kita untuk mencari tahu apa yang ada di balik logo tersebut. Dalam sebuah literatur pernah ditulis bagaimana 150 orang responden tidak dapat menggambarkan sebuah perusahaan dengan kata-kata, namun kemudian ketika diberikan sebuah logo, ternyata kebanyakan responden dapat mendeskripsikan dengan mudah perusahaan tersebut.

Sayangnya banyak perusahaan juga yang tidak peduli dengan logo. Apalagi untuk perusahaan-perusahaan berskala kecil, logo sekadar menjadi identitas dan penyederhanaan dari merek. Desain logo diserahkan kepada desainer yang tidak memahami nilai-nilai perusahaan dengan baik.

Tidak semua perusahaan memang memahami cara mengembangkan merek dengan baik. Kalaupun mau berkonsultasi dengan pakar, mereka harus keluar biaya yang tidak sedikit. Tidak cukup melalui konsultan lokal, kadang-kadang konsultan luar pun harus dipergunakan untuk sekadar berpikir tentang desain logo. Excelcomindo Pratama misalnya, harus mengelurkan sedikitnya 1 miliar rupiah untuk mengganti logo mereka lewat tangan konsultan asing dari Australia, Cornwell Brand. Prosesnya pun tidak sebentar karena memakan waktu berbulan-bulan.

Bagian dari identitas merek
Apa yang membuat perusahaan-perusahaan tersebut mengeluakan dana yang demikian besar untuk mengganti logo? Apakah sebuah logo mampu menentukan keberhasilan perusahaan?

Memang belum ada penelitian yang mengungkapkan adanya hubungan antara kegagalan perusahaan dengan kesalahan mendesain logo, tetapi apa yang dilakukan oleh BNI ataupun Xerox Corporation menunjukkan kekhawatiran manajemen perusahaan akan dampak jangka panjang yang mungkin bisa terjadi jika mereka mempertahankan logo lama. Xerox Corporation cemas bahwa publik tidak akan mengenali Xerox sebagai perusahaan yang telah mengembangkan berbagai jasa tambahan baru jika tetap mempergunakan logo “X”. BNI merasa logo yang lama kurang dapat memenuhi nilai-nilai baru yang ingin dikembangkan. Akan halnya produk, banyak produk yang mengganti logo sebagai bagian dari upaya relaunching. Hal ini dikarenakan produk mereka sudah sulit bertahan di pasar sehingga dengan menciptakan logo baru diharapkan konsumen merasakan sesuatu yang baru dan membuat produknya tidak jadi mati.

Logo sendiri sebenarnya hanya sebagian dari strategi menciptakan ekuitas merek yang kuat. Seperti dikatakan oleh Jovan Tay, Director Brandz, penciptaan logo sebenarnya hanya sebagian dari upaya penciptaan identitas merek. Konsultan merek yang berlokasi di enam negara di Asia ini kini masuk ke pasar Indonesia dengan pertimbangan bahwa pengembangan merek di Indonesia (termasuk di Asia) terbilang belum canggih. Apalagi jika berkeinginan untuk menjadi merek global. Menurut Jovan, merek tidak bisa dibangun secara sembarangan dan logo sendiri sebenarnya hanya sebagian dari output yang dihasilkan dari kegiatan membangun merek.

Dilihat dari kerangka kerja yang dikembangkan oleh Aaker, identitas merek pada dasarnya terbagi menjadi dua lingkaran. Pertama lingkaran dalam yang disebut sebagai “core identity”. Core identity merupakan esensi dari merek yang bersifat jangka panjang dan konstan. Sekalipun merek masuk ke pasar yang baru atau menciptakan merek yang baru, core identity tidak akan berubah. Ia adalah jiwa, nilai-nilai atau kepercayaan yang dimiliki oleh merek tersebut seperti misalnya kepercayaan, kuat, inovatif, kualitas, dan lain-lain.

Sedangkan yang dimaksud dengan extended Identity adalah elemen-elemen yang memberi gambaran atau cerminan di mana merek tersebut berdiri. Unsur dari extended identity ini bermacam-macam, mulai dari produk, packaging, slogan, karakter, personality sampai dengan logo. Kerangka ini selagi lagi mendukung apa yang dikatakan Jovan bahwa logo hanya sebagian perluasan core identity, atau bisa dibalik bahwa logo merupakan output yang dibangun dari core identity perusahaan. Itulah sebabnya, membuat logo tidak semudah mendesainnya.

Logo memang menanggung beban yang tidak mudah. Sebagai sebuah penyederhanaan dari simbol perusahaan atau produk, logo harus memiliki arti dan dapat diingat. Logo harus dapat menciptakan memory, opini atau rumor. Wing Loke, Founder dari Synzygon, perusahaan konsultan merek, mengatakan bahwa logo itu ibarat kita mengenakan pakaian. Dengan pakaian, kita ingin menampilkan siapa diri kita. Oleh karena itu ketika mempergunakan logo kita mempergunakannya untuk publik dan bukan untuk pribadi.

Logo juga harus dapat mengkomunikasikan apa yang harus dikomunikasikan. Seringkali, logo justru bertolak belakang dengan apa yang harus dikomunikasikan. Misalnya saja, sebuah perusahaan ingin dikenal sebagai perusahaan yang inovatif, tetapi logonya terkesan kuno. Hal ini berakibat sulitnya merek tersebut dipahami oleh orang yang belum mengenalnya.

Keuntungan dengan adanya logo memang bermacam-macam. Logo bisa menyederhanakan nama perusahaan yang panjang. Contohnya adalah Garuda Indonesia yang dilambangkan dengan simbolisasi burung garuda, Bank International Indonesia dengan logo huruf BII atau Integrated Business Machine dengan logo huruf IBM. Di Inggris, National Westminster Bank juga mempergunakan lambang segitiga untuk mewakili nama mereka yang panjang. Logo juga bersifat non verbal sehingga dapat diperbaharui sepanjang waktu, diaplikasikan pada berbagai jenis produk, dan yang penting, diterima oleh berbagai budaya. Lebih hebat lagi, logo bisa berfungsi ketika merek mengalami banyak rintangan. Contohnya ketika rokok dilarang beriklan, perusahaan rokok menyiasatinya dengan menaruh logo mereka di mana-mana.

Salah pengaplikasian
Sayangnya, logo yang telah dibangun dengan susah payah sering tidak berarti banyak ketika sudah diaplikasikan. Budiman Santoso, Dosen IPMI dan juga seorang pengusaha, pernah mengeluh kepada MARKETING tentang sulitnya mempertahankan konsistensi dalam logo di Indonesia. Dia mencontohkan bagaimana sebuah bank memiliki logo yang baik, namun ketika diterapkan pada sejumlah bidang seperti ATM, buku tabungan, iklan dan lain-lain, warnanya bisa berbeda-beda dan tidak keruan. Melihat fenomena semacam ini, Budiman pun siap bermitra dengan konsultan merek dari luar yang juga akan merambah pasar di Indonesia, yakni Brand Nation.

Kenyataan ini menunjukkan sekali lagi bahwa pasar untuk para konsultan merek di Indonesia memang masih sangat besar. Daniel Surya dari Landor memperkirakan ada lebih dari 10 konsultan merek yang muncul di Indonesia. Pemicunya adalah kesadaran perusahaan-perusahaan di Indonesia tentang pentingnya membangun merek. Jadi jangan heran jika beberapa tahun ke depan banyak perusahaan di Indonesia mulai mencoba untuk berganti logo. Seringkali perubahan lingkungan dan tantangan yang harus dihadapi perusahaan membuat perusahaan harus memikirkan ulang strategi merek mereka (termasuk pula logo).

Apakah logo memiliki tren tertentu? Banyak desainer logo, termasuk pula Iwan Ramelan tidak melihat bahwa logo harus mengikuti tren. Namun demikian, memasuki abad 21, sering kita melihat banyak perusahaan cenderung mempergunakan simbol bulat sebagai representasi globalisasi. Dalam buku Strategic Brand Management misalnya, Keller mengatakan bahwa tren logo di awal tahun 80-an cenderung abstrak dan logo-logo kini justru lebih sederhana. Namun demikian, dalam implementasinya, logo yang berbentuk abstrak seringkali kehilangan arti dan kekuatannya.

Penggantian logo korporat sendiri menurut Wing Loke adalah sebuah tren yang muncul dewasa ini. Dahulu merek hanya dilekatkan pada produk, kini perusahaan pun mulai mengembangkan mereknya. Salah satu bentuknya adalah dengan pergantian logo. Seiring dengan proses merger dan akuisisi yang banyak dilakukan, akhirnya juga membuat kebutuhan akan logo baru sangat diperlukan.

Memang tidak ada resep yang mengatakan bahwa perusahaan bisa berhasil jika berganti logo. Arthur Andersen ketika berubah menjadi Andersen dan mengganti logo ternyata akhirnya pun collapse. Perubahan logo tidak akan berarti apa-apa apabila perusahaan tidak menjalankan nilai-nilai yang dimiliki perusahaan dengan baik. Tetapi setidaknya para pemasar bisa sepakat bahwa logo memiliki kekuatan sebagai alat komunikasi yang baik bagi target pasar. Oleh karena itu, menciptakan maupun menjaganya adalah suatu kewajiban yang harus dijalankan oleh para pemasar.(Majalah Marketing November 04)

Resume : “MARKETING STRATEGY TOP BRAND INDONESIA


Merek Top Indonesia adalah merek yang dirumuskan oleh Frontier Consulting Group berdasarkan mind share, market share dan commitment share. Mind Share mengindikasikan kekuatan merek di dalam benak konsumen kategori produk bersangkutan. Market  Share menunjukkan kekuatan merk di dalam pasar tertentu dalam hal perilaku pembelian actual dari konsumen. Commitment Share menjelaskan kekuatan merek dalam mendorong konsumen untuk membeli merk terkait di masa mendatang.

  • Definisi pemasaran.

Menurut Philip Kotler, pemasaran adalah proses sosial dan manajerial  seseorang atau kelompok yang dilakukan untuk memperoleh sesuatu yang mereka butuhkan dan inginkan melalui penciptaan dan pertukaran produk dan nilai. Adapun the American Marketing Association mendefinisikan pemasaran sebagai proses perencanaan dan pelaksanaan konsepsi, penetapan harga, promosi dan distribusi ide, barang dan jasa untuk menciptakan pertukaran yang memuaskan tujuan individu dan organisasi. Dengan demikian, manajemen pemasaran dapat didefinisikan sebagai  proses perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi konsepsi, penetapan harga, promosi dan distribusi ide, barang dan jasa untuk menciptakan pertukaran yang memuaskan tujuan individu dan organisasi.

  • Kebutuhan, keinginan dan permintaan

Titik tolak pemasaran terletak pada kebutuhan dan keinginan. Kebutuhan manusia adalah suatu keadaan dirasakannya ketidakpuasan atas dasar tertentu. Orang membutuhkan sandang, pangan, rumah, rasa aman, dicintai, harga diri dan aktualisasi diri untuk hidup.

Keinginan adalah kehendak yang kuat akan kepuasan yang spesifik terhadap kebutuhan-kebutuhan yang lebih mendalam. Orang amerika dan orang Indonesia sama-sama membutuhkan makanan, tetapi keinginan mereka berbeda. Orang amerika menginginkan hamburger, sementara orang Indonesia menginginkan nasi untuk memuaskan kebutuhan mereka akan makanan.

Permintaan adalah keinginan akan produk spesifik yang didukung oleh kemampuan dan kesediaan untuk membelinya. Keinginan menjadi permintaan jika didukung daya beli. Banyak orang menginginkan mobil Volvo, tetapi hanya sedikit yang mampu dan bersedia membelinya.

Produk

Produk adalah segala sesuatu yang dapat ditawarkan untuk memuaskan suatu kebutuhan dan keinginan. Pelanggan memuaskan kebutuhan dan keinginannya lewat produk. Istilah lain produk adalah penawaran atau pemecahan.

Barang Fisik, Jasa dan Gagasan

Perguruan tinggi komputer menawarkan barang fisik (buku, jaket, kartu mahasiswa), jasa (kuliah, konsultasi, praktikurs) dan gagasan (menemukan diri, bekal masa depan, persaudaraan). Adapun hotel menyediakan barang (makanan, minuman), jasa (penyediaan kamar, pelayanan) dan gagasan (tempat istirahat, ketenangan).

Nilai, harga dan manfaat.

Intisari pemasaran adalah menciptakan nilai pelanggan lebih besar daripada yang diciptakan oleh pesaing. Nilai adalah perkiraan pelanggan atas seluruh kemampuan produk untuk memuaskan kebutuhannya. Nilai dapat dirumuskan sebagai berikut:

                NILAI = Manfaat (kepuasan) yang dirasakan

                                                Harga (Biaya)

Dari persamaan di atas, nilai untuk pelanggan dapat dinaikkan dengan memperluas atau memperbaiki manfaat produk atau menurunkan harga (biaya yang dikeluarkan pelanggan) atau gabungan dari keduanya. Perusahaan yang menggunakan harga sebagai senjata untuk bersaing harus mempunyai strategi kepemimpinan biaya dalam menciptakan keunggulan kompetitif yang dapat dipertahankan. Adapun perusahaan yang menggunakan manfaat (keunggulan) produk sebagai senjata untuk bersaing harus mempunyai strategi diferensiasi dalam menciptakan keunggulan kompetitif yang dapat dipertahankan.

Konsep nilai (nilai guna) dalam pemasaran syariah merupakan sebuah konsep yang lebih luas daripada konsep nilai guna dalam persamaan di atas. Nilai di atas hanya mempertimbangkan material semata. Nilai guna dalam pemasaran syariah dikenal dengan sebuah maslahah, yang dikemukakan oleh Malik bin Anas. Subyek ini diperjelas oleh Ghazali, Ibnu Qayyim, Shatibi, Tufi, Izzudin Ibn Abdussalam dan Quraf. Ternyata konsep Maliki ini serupa dengan hamanalisis nilai guna (utility) dari filosof barat seperti Jeremy Bentham dan J.S.Mill (Shiddig, 1982). Bisa jadi Jeremy Bentham dan J.S Mill terinspirasi oleh Malik Bin Anas. Bentuk maslahah merujuk pada kesejahteraan yang luas dari manusia. Menurut Al-Shatibi, maslahah merupakan kepemilikan atau kekuatan produk yang menguasai elemen dasar dan sasaran kehidupan manusia di dunia. Ada lima elemen dasar kehidupan di dunia, yaitu kehidupan (al-nafs), kepemilikan (al-mal), kebenaran (ad-din), kecerdasan (al-aql) dan keturunan (al-nasl). Semua produk yang mempunyai kekuatan untuk menaikkan lima elemen dasar ini yang dikatakan mempunyai maslahah dan produk yang mempunyai maslahah akan dinyatakan sebagai kebutuhan. Keinginan dalam ekonomi konvensional ditentukan oleh konsep nilai guna, sementara kebutuhan dalam pemasaran syariah ditentukan oleh konsep maslahah (Khan, 1989). Konsep produk juga berbeda dalam pemasaran syariah. Dalam pemasaran syariah, produk merupakan karunia yang terbaik dari Tuhan pada manusia. Menurut Al-Qur’an, produk konsumsi adalah produk yang melambangkan nilai moral dan ideology mereka (manusia).

Dalam Al-Qur’an, produk dinyatakan dalam dua istilah, yaitu al-tayyibat dan al-rizq. Kata al-tayyibat digunakan 18 kali, sedangkan kata al-rizq digunakan 120 kali dalam Al-Qur;an. Al-tayyibat merujuk pada sesuatu yang baik, sesuatu yang murni dan baik, sesuatu yang bersih dan murni, sesuatu yang baik dan menyeluruh serta makanan yang terbaik. Al-rizq merujuk pada makanan yang diberkahi  Tuhan, pemberian yang menyenangkan dan ketetapan Tuhan (Ali, 1975). Menurut pemasaran syariah, produk konsumen adalah berdaya guna, materi yang dapat dikonsumsi yang bermanfaat, yang bernilai guna, yang menghasilkan perbaikan material, moral, spiritual bagi pelanggan. Sesuatu yang tidak berdaya guna dan dilarang dalam pemasaran islam bukan merupakan produk dalam pengertian pemasaran syariah. Produk dalam pemasaran konvensional adalah produk yang dapat ditukarkan. Akan tetapi, produk dalam pemasaran syariah adalah produk yang dapat ditukarkan dan berdaya guna secara moral.

Ketika Brand adalah Segalanya


Oleh : Teguh Poeradisastra

Di era ekonomi citra sekarang ini, brand menjadi aset terpenting yang memukau konsumen dan menentukan sukses atau gagalnya perusahaan. Tak heran, brand-brand kuat menjadi rebutan pebisnis dan diperjualbelikan sebagai jalan pintas meraih sukses. Namun, mengapa banyak perusahaan kita yang masih setengah hati membangun brand-nya?

”What is in a name?” begitu penggalan ucapan William Shakespeare yang paling banyak dikutip. ”Mawar tetaplah harum meski namanya diganti dengan apa pun,” lanjut pujangga Inggris ini. William keliru besar. Mawar memang tetap harum seandainya namanya diganti. Namun, yang dicari orang adalah mawar – bukan bunga yang beraroma harum, berwarna indah, dan memiliki kelopak berlapis-lapis. Mawar sudah menjadi representasi dan asosiasi dari keharuman dan keindahan itu sendiri. Jika namanya diganti, para pecintanya akan menampik dan berpaling darinya.
Nama, brand atau merek adalah representasi dan asosiasi sebuah produk – baik mutu, harga, nilai, maupun gengsinya. Sepotong nama ini bisa berarti banyak. Brand adalah pukau, daya pikat, pesona sekaligus pembeda produk yang satu dari yang lain. Brand inilah yang memikat orang hingga mengagumi, memburu dan membeli sebuah produk atau karya. Tanpa brand yang menancap kuat di benak konsumen, sebuah produk hanyalah komoditas yang dihargai rendah meski mungkin dari sisi fungsional manfaatnya sama. Namun dengan brand yang kuat, harga produk yang sama tadi bisa menjadi berlipat ganda – bahkan priceless. Inilah yang membuat Kent Wertime dalam buku larisnya Building Brands & Believers menyebut di era ekonomi citra (the image economy) kini, peranan brand sebagai aset terpenting perusahaan akan kian berlipat ganda.
Stephen King, CEO WPP Group, London, mendefinisikan produk sebagai barang yang dihasilkan pabrik, sementara merek adalah sesuatu yang dicari pembeli. “Produk amat mudah ditiru, sementara merek selalu memiliki keunikan dan nilai tambah yang sangat signifikan. Produk cepat usang, sementara merek yang sukses akan bertahan sepanjang zaman,” katanya.
Simak saja brand GE (General Electric) dan Coca-Cola. Kedua merek ini bisa bertahan hingga ratusan tahun. Bahkan ketika tulang-belulang Dr. Thomas Alva Edison (pendiri GE) dan Dr. John S. Pemberton (pendiri Coca-Cola), telah memutih bahkan menyatu dengan tanah, kedua brand ini justru makin belia dan menguasai dunia.
Toh, untuk membangun brand yang kokoh dan mampu menggerakkan pembeli dengan suka rela mengeluarkan uangnya tidak mudah. Perlu usaha keras dan waktu relatif panjang untuk membuktikan keperkasaan merek, dan menjadikannya sebagai itik bertelur emas, yang terus-menerus menghasilkan keuntungan bagi pemiliknya. Alhasil, untuk memperoleh merek yang bagus, orang tak ragu membeli merek itu; mengakuisisi seluruh atau sebagian besar saham perusahaan; atau menjalin kemitraan dengan pemilik merek cemerlang tadi. Ketiga pola ini banyak diterapkan perusahaan yang ingin menguasai atau turut merasakan sawab merek ini.
Pola pertama dilakukan The Coca-Cola Company ketika membeli brand AdeS, air minum dalam kemasan (AMDK) yang saat itu (tahun 2000) menduduki peringkat kedua pangsa pasar AMDK. Perusahaan ini rela menggerojokkan dana US$ 19,9 juta untuk mengambil alih brand AdeS dan beberapa merek lainnya (Desca, Desta dan Vica) di bawah PT Ades Alfindo Putra Setia. Pola ini juga dilakukan Unilever pada Sariwangi.
Pola kedua dilakukan Danone ketika mengakuisisi sebagian saham PT Aqua Golden Mississippi. Ketika itu, tahun 1999, produsen AMDK bermerek Aqua ini sedang kesulitan keuangan akibat krisis moneter yang melambungkan harga patokan eceran tertinggi kemasan AMDK, yang harus diimpor.
Pola ketiga juga bisa kita lihat pada kasus Aqua-Danone. Bermitra dengan perusahaan asal Prancis ini, merek Aqua ikut terkatrol. Danone adalah pemilik merek Evian, Ferarele, Volvic; Danone menguasai pasar lapisan atas, tengah hingga bawah; serta menjadi penguasa pasar di banyak belahan dunia. Evian, Ferarele dan Danone berjaya di pasar Eropa. Adapun di Amerika Serikat ia berkibar dengan bendera Danon (bukan Danone). Dengan menggandeng Danone dan melakukan co-branding, Aqua bisa lebih mudah menembus pasar ekspor. Sebaliknya, dengan bendera Aqua, Danone bisa menembus pasar Indonesia (yang sangat besar dan potensial), serta negara jiran seperti Brunei Darussalam, Malaysia dan Singapura. Berkat gandengan ini Aqua menjadi merek tunggal terbesar dengan volume penjualan terbesar di seluruh dunia.
Akuisisi merek – atau perusahaan pemilik merek – memang merupakan jalan pintas dalam strategi pertumbuhan anorganik. Ketimbang harus menunggu bagian riset dan pengembangan mengembangkan produk baru, meluncurkannya ke pasar, menggadang-gadangnya hingga kinclong dan menjadi jagoan, akan jauh lebih cepat dan kurang berisiko jika mengakuisisi merek yang telah mumpuni dan memiliki pasar yang loyal. Apalagi kita masih ingat sejumlah kegagalan meluncurkan merek. Bahkan raksasa sekaliber Unilever yang begitu berpengalaman dan tebal koceknya pun pernah tersandung ketika meluncurkan Tara Nasiku (1999)
Maka, logislah bila yang diakuisisi adalah merek-merek yang berkibar, seperti: Aqua oleh Danone; AdeS oleh Coca-Cola; kecap Bango, teh Sariwangi, snack Taro, jus Buavita dan Go-Go oleh Unilever; ABC oleh Heinz; kopi Tugu Luwak dan kecap Piring Lombok oleh Indofood; dan sebagainya. Konsekuensinya, tentu harganya tinggi. Pasalnya, ke dalam perhitungan harga ini termasuk pula nilai merek di mata konsumen, pangsa pasar, loyalitas konsumen, dan potensinya merebut konsumen masa depan, serta tentu saja goodwill-nya.
Pertanyaannya, jika memang merek itu kinclong dan merupakan itik bertelur emas yang terus-menerus menghasilkan untung, mengapa sang pemilik merek mau menjualnya. Ada banyak alasan. Mulai yang karena terjadi konflik di dalam keluarga pemilik merek seperti kasus kecap Bango; kekurangan modal atau terjepit posisi keuangannya (Aqua); membutuhkan mitra strategis (ABC, dan Aqua); hingga yang pemiliknya ingin beralih ke bisnis yang sama sekali berbeda (Sampoerna).
Apa pun alasannya, kita tentunya berharap agar akuisisi brand ini bersifat win-win, kedua pihak sama-sama puas dan meraih untung. Untuk itu kedua pihak harus terbuka dan memikirkannya masak-masak. Pemilik brand harus mengalkulasi apakah imbalan yang diterima cukup layak sebagai pengganti itik bertelur emasnya, dan apakah ia telah siap dengan bisnis penggantinya – baik dari sisi dana maupun kompetensi. Jika harus bermitra, harus ditelisik apakah mitra yang bakal disanding itu memang strategis untuk memperkuat bisnisnya, serta mampu menyumbang lebih banyak manfaat ketimbang mudarat. Begitu pula, pembeli merek pun perlu berhitung agar tak menyesal karena merasa membeli kucing dalam karung, bukan itik bertelur emas.

Sumber : http://www.swa.co.id/sekunder/kolom/pemasaran/branding/details.php?cid=2&id=252

 

 

 

7 STRATEGI PEMASARAN YANG MERENDAHKAN CITRA PRODUK DAN JASA ANDA


7 Strategi pemasaran berikut kerap digunakan oleh pakar pemasaran di seluruh dunia. Konon, 7 strategi pemasaran yang akan penulis paparkan tersebut sangat ampuh untuk mendongkrak angka penjualan produk dan jasa. Meskipun tampak benar, 7 strategi pemasaran tersebut sebenarnya tidak baik digunakan untuk jangka panjang:

1. Sex Appeal
Penggunaan ‘sex appeal’ yang berlebihan dalam pemasaran produk dan jasa Anda dapat merendahkan citra produk dan jasa tersebut. Menggunakan jasa model yang cantik mungkin dapat menarik perhatian dari calon pembeli terhadap produk dan jasa yang sedang Anda tawarkan namun untuk sampai ke dalam tahap pembelian dibutuhkan skill pemasaran yang handal.

2. SPAM e-mail
Penggunaan SPAM sebagai metode pemasaran produk dan jasa Anda tidak hanya kuno namun juga tidak efektif. Anda mungkin berharap dari 1000 SPAM yang Anda kirim, 100 orang akan berminat membeli produk dan jasa Anda. Andaikan hal tersebut terealisasi, tahukah Anda bahwa ada 900 orang di luar sana yang mungkin akan mengatakan hal buruk mengenai produk dan jasa Anda atau betapa terganggunya mereka dengan SPAM yang Anda kirimkan?

3. Telemarketing
Sama halnya dengan SPAM, penggunaan telemarketing secara berlebihan di mana telemarketer ini dengan gencarnya menelpon para calon pembeli dapat merendahkan citra produk dan jasa yang Anda tawarkan. Hal ini bisa lebih parah apabila seorang calon pembeli ditelpon lebih dari dua kali.

4. Marketing Bait (Umpan)
Penggunaan marketing bait dalam bentuk gift untuk menarik calon pembeli ke tempat produk dan jasa Anda juga bukan merupakan strategi pemasaran yang jitu. Kombinasi antara salesman dengan marketing bait ini hanya akan membuat calon pembeli menjadi risih.

5. Abusive Customer Care
Ada suatu pendapat bahwa seorang calon pembeli sebaiknya bisa ditemani oleh seorang staff pemasaran ketika hendak membeli produk dan jasa Anda. Terkadang staff pemasaran ini langsung mendekati si calon pembeli ketika ia hendak melihat-lihat produk dan jasa Anda. Meskipun hal ini tampak baik, namun kenyataannya adalah banyak calon pembeli yang malah menjadi risih. Sebaiknya sediakan tempat tersendiri untuk staff pemasaran Anda ini dan biarkan calon pembeli yang mendekati mereka apabila si calon pembeli tertarik dan memutuskan untuk mengetahui lebih banyak mengenai produk dan jasa Anda.

6. Undelivered Promise
Ada kalanya staff pemasaran mengutarakan hal-hal manis mengenai produk dan jasa Anda. Apabila hal-hal manis tersebut tidak terbukti, yakinlah bahwa pembeli dari produk dan jasa Anda akan mengutarakan ‘penipuan’ tersebut ke teman-temannya yang lain.

7. Multilevel Marketing (MLM)
Multilevel Marketing meskipun tidak seburuk yang diketahui oleh masyarakat awam namun berpotensi merendahkan citra dari produk dan jasa Anda apabila tidak dikelola dengan baik. Perusahaan yang menerapkan MLM cenderung menyerahkan penjualan produk dan jasa mereka ke masyarakat umum yang notabene tidak seterlatih staff pemasaran Anda. Pada awal implementasi MLM ini, mungkin produk dan jasa Anda akan mendapatkan momentum nya namun lambat laun akan menghilang dari pasaran.

Blackberry, facebook dan hancurnya peradaban membaca


Hari-hari ini masyarakat kelas menengah di tanah air – terutama di kota-kota besar – tengah menggandrungi dua digital medium yang amat populer : Blackberry dan Facebook. Dua medium ini tampaknya kian merasuk menjadi life style baru bagi para generasi digital kota metropolitan. Barangkali ia juga sekaligus menjadi simbol kemutakhiran masa kini.

Namun bagi para pecandu buku seperti saya, kehadiran gadget semacam Blackberry dan media semacam Facebook selalu merupakan sebuah distraction. Kehadiran medium digital semacam itu selalu “memaksa” kita untuk always on dan always connected, dan diam-diam itu artinya merasampas waktu berharga kita untuk melakukan “permenungan”, melakukan kontemplasi, melakukan proses membaca buku yang membutuhkan kedalaman dan keheningan.

Kehadiran gadget keren semacam Blackberry dan sejenisnya pada akhirnya mungkin tergelincir hanya menjadi sekedar simbol status. Ia menjadi penanda penting yang mencoba menjelaskan status sosial kita. Tak lebih tak kurang. Di negara yang peradaban pengetahuannya lebih maju, pendanda status sosial itu adalah buku. You ARE what you READ. Buku dan tradisi membaca yang kuat selalu menjadi elemen penting bagi hadirnya sebuah peradaban yang digdaya. Disini, kredibilitas orang dilihat dari seberapa luas pengetahuan mereka, sebapa banyak buku yang telah direngkuh, dan seberapa mendalam wawasan berpikir mereka.

Di tanah air yang terjadi adalah parodi : kredibilitas kita acap ditentukan oleh seberapa canggih gadget yang kita miliki, dan seberapa keren merek smartphone yang kita tenteng. Bagi saya ini adalah sebuah parodi yang penuh petaka. Sebab anak muda yang selalu menenteng Blackberry-nya kemana-mana sebagai simbol status, namun hampir tak pernah mau membaca buku, bagi saya sama primitifnya dengan orang udik di pedalaman nun jauh disana. Secara fisik mereka mungkin lebih keren (iya sih, pake Blackberry kan keren!), namun tanpa disertai dengan budaya membaca membaca yang kuat, level pengetahuan dan wawasan mereka mungkin sama dangkalnya dengan penjual kambing di pinggir jalananan…..

Facebook juga sama. Oke, mungkin disini kita bisa menjalin silaturahmi dengan teman-teman lama kita (atau mungkin juga dengan bekas pacar semasa kita sekolah SMA dulu). Tapi selebihnya, yang ada di Facebook adalah kedangkalan. Yang ada melulu celotehan-celotehan pendek nan dangkal dan bising. Disana kita jarang menemukan kedalaman yang bisa mendorong kita untuk melakukan proses berpikir secara kontemplatif (karena itu bagi Anda yang belum memiliki akun di FB, silakan untuk tidak mendaftarnya; kecuali jika Anda hanya ingin wasting your time).

Pada akhirnya, Facebook mungkin sama sekali tak berbeda dengan kerumunan di pasar Gunungkidul atau terminal bis Pulogadung : sebuah tempat dimana orang saling ngobrol ngalor ngidul tanpa jelas juntrungannya. Medianya saja kelihatannya keren (wah hari gini, di jaman digital begini, elo belum jadi member facebook, begitu kata seorang teman), namun esensi Facebook sebenarnya tak lebih beda dengan terminal bis Pulogadung : bising, penuh celoteh dangkal, dan disana kita kita tak menemukan keheningan yang mengajak kita berpikir secara mendalam.

Begitulah, kehadiran dua media digital ini – Blackberry dan Facebook – mungkin diam-diam telah merampas waktu berharga kita untuk membaca buku dengan penuh ketekunan. Tanpa terasa kita mungkin telah menjadi addicted dengan kedua medium itu. Kita rela menghabiskan berjam-jam waktu kita untuk ber-blackberry atau ber-facebook-ria. Kita mencurahkan begitu banyak waktu untuk mengulik gadget Blackberry kesayangan kita, atau juga berceloteh dengan friends kita di belantara Facebook. Dan diam-diam, kita kian lupa dengan buku-buku bermutu yang teronggok tak berdaya…..

Kebesaran sebuah bangsa selalu ditopang oleh peradaban membaca yang kuat dan tekun. Ikhtiar kita untuk membangun tradisi membaca yang kokoh seperti pecah berkeping-keping dihempas oleh kehadiran “blackberry and facebook culture” yang penuh kedangkalan. Kedua medium ini telah merenggut waktu dan gairah dari jutaan kaum muda di tanah air untuk tekun membaca deretan buku bermutu.

Dan dengan itu, Blackberry dan Facebook sejatinya telah melakukan apa yang saya sebut sebagai “digital colonization” : diam-diam mereka telah menjajah pikiran kita, dan secara perlahan mereka telah membunuh gairah masyarakat tanah air untuk membangun tradisi membaca yang tangguh dan penuh ketekunan.

Sumber : http://strategimanajemen.net/

Strategi merek


Merek adalah suatu nama, simbol, tanda, desain atau gabungan di antaranya untuk dipakai sebagai identitas suatu perorangan, organisasi atau perusahaan pada barang dan jasa yang dimiliki untuk membedakan dengan produk jasa lainnya.

Merek yang kuat ditandai dengan dikenalnya suatu merek dalam masyarakat, asosiasi merek yang tinggi pada suatu produk, persepsi positif dari pasar dan kesetiaan konsumen terhadap merek yang tinggi. Dengan adanya merek yang membuat produk yang satu beda dengan yang lian diharapkan akan memudahkan konsumen dalam menentukan produk yang akan dikonsumsinya berdasarkan berbagai pertimbangan serta menimbulkan kesetiaan terhadap suatu merek (brand loyalty).

Kesetiaan konsumen terhadap suatu merek atau brand yaitu dari pengenalan, pilihan dan kepatuhan pada suatu merek. Merek dapat dipahami lebih dalam pada tiga hal berikut ini :

  1. Brand name (nama) : nintendo, aqua, bata, rinso, kfc, acer, windows, toyota, zyrex, sugus, gery, bagus, mister baso, gucci, c59, dan lain sebagainya.
  2. merek (simbol) : gambar atau simbol sayap pada motor honda, gambar jendela pada windows, gambar kereta kuda pada california fried chicken (cfc), simbol orang tua berjenggot pada brand orang tua (ot) dan kentucky friend chicken (kfc), simbol bulatan hijau pada sony ericsson, dan masih banyak contoh-contoh lainnya yang dapat kita temui di kehidupan sehari-hari.
  3. Trade character (karakter dagang) : ronald mcdonald pada restoran mcdonalds, si domar pada indomaret, burung dan kucing pada produk makanan gery, dan lain sebagainya.

Jenis-Jenis

  1. Manufacturer Brand Manufacturer brand atau merek perusahaan adalah merek yang dimiliki oleh suatu perusahaan yang memproduksi produk atau jasa. Contohnya seperti soffel, capilanos, ultraflu, so klin, philips, tessa, benq, faster, nintendo wii, vit, vitacharm, vitacimin, dan lain-lain.
  2. Private brand atau merek pribadi adalah merek yang dimiliki oleh distributor atau pedagang dari produk atau jasa seperti zyrex ubud yang menjual laptop cloud everex, hipermarket giant yang menjual kapas merek giant, carrefour yang menjual produk elektrinik dengan merek bluesky, supermarket hero yang menjual gula dengan merek hero, dan lain sebagainya.

Ada juga produk generik yang merupakan produk barang atau jasa yang dipasarkan tanpa menggunakan merek atau identitas yang membedakan dengan produk lain baik dari produsen maupun pedagang. Contoh seperti sayur-mayur, minyak goreng curah, abu gosok, buah-buahan, gula pasir curah, bunga, tanaman, dan lain sebagainya.

Strategi Merek / Merk (Brand Strategies) Produsen, distributor atau pedagang pengecer dapat melakukan strategi merek sebagai berikut di bawah ini :

  1. Individual Branding / Merek Individu Individual branding adalah memberi merek berbeda pada produk baru seperti pada deterjen surf dan rinso dari unilever untuk membidik segmen pasar yang berbeda seperti halnya pada wings yang memproduksi deterjen merek so klin dan daia untuk segmen pasar yang beda.
  2. Family Branding / Merek Keluarga Family branding adalah memberi merek yang sama pada beberapa produk dengan alasan mendompleng merek yang sudah ada dan dikenal mesyarakat. Contoh famili branding yakni seperti merek gery yang merupakan grup dari garudafood yang mengeluarkan banyak produk berbeda dengan merek utama gery seperti gery saluut, gery soes, gery toya toya, dan lain sebagainya. Contoh lain misalnya yaitu seperti motor suzuki yang mengeluarkan varian motor suzuki smash, suzuki sky wave, suzuki spin, suzuki thunder, suzuki arashi, suzuki shodun ,suzuki satria, dan lain-lain.

Sepuluh Langkah Mengevaluasi Merek


Pertempuran pasar adalah sebuah pertempuran merek, persaingan merek sangatlah dominan. Bisnis dan investor akan memandang merek sebagai aset perusahaan yang paling berharga. Sebuah merek adalah unik. Membangun dan mengelola ekuitas merek telah menjadi sebuah prioritas bagi perusahaan apapun, di semua tipe industri, dan di semua tipe pasar. Membangun dan mengelola dengan baik akan meningkatkan loyalitas konsumen dan keuntungan. Sebuah bisnis yang berorientasi pasar dimana telah mensegmenkan target pasarnya dan melacak perilaku konsumen melalui segmentasi berada dalam posisi terbaik untuk membangun sebuah merek yang sukses. Langkah pertama dalam membangun sebuah identitas merek adalah menentukan positioning produk yang diharapkan dan preposisi nilai (value preposition) untuk target pasar yang spesifik. Tanpa spesifikasi ini, proses penentuan identitas merek akan dengan cepat kabur dan hanya terjebak pada mengembangkan fitur produk daripada manfaat untuk konsumen. Strategi pengelolaan merek mutlak dibutuhkan agar supaya terbentuk sebuah taktikal yang lebih sistematik dan terencana. Gambar 1. Strategi Pengelolaan Merek (Craven, 2003) Setiap initiatif pengelolaan merek yang terlihat pada gambar 1 bisa mempunyai dampak negatif atau positif pada nilai sebuah merek. Ekuitas merek menekankan pentingnya nilai merek dan mengidentifikasi kunci dari dimensi ekuitas. Tujuanya adalah untuk membangun ekuitas merek dari waktu ke waktu. Analisis strategi merek memberikan informasi penting untuk memutuskan masalah pada tiap aktivitas pengelolaan merek. Analisis meliputi pasar, perilaku konsumen, pesaing, dan informasi merek.Setelah semua kegiatan strategi pengelolaan merek dilakukan kemudian perlu adanya evaluasi strategi dalam bentuk pelacakan kinerja merek. Evaluasi produk dalam sistem merek (portfolio) memerlukan pelacakan kinerja tiap produk. Manajemen harus mempunyai sebuah tujuan pengukuran kinerja dan acuan ukuran kinerja produk. Sebuah metode kualitatif yang dikenal sebagai brand score card membantu manajer untuk mengukur kinerja merek secara sistematis. Metode ini menggunakan sepuluh ciri merek terkuat. Ciri-ciri ini akan dijadikan acuan dalam menilai kinerja merek. Metode kualitatif diharapkan dapat menjadi dasar untuk memutuskan sesuatu yang berkenaan dengan mengevaluasi merek dan juga memantau merek dari waktu ke waktu. Penentuan skor setiap item berdasarkan persepsi anda. Dengan menggunakan skala 0 sampai 20 (sangat buruk sampai sangat baik) kemudian gambarlah dalam bentuk bar chart untuk mempermudah analisis. Gunakan bar chart untuk mengarahkan diskusi dengan associate brand management. Cara demikian akan membantu untuk mengidentifikasi area mana yang membutuhkan perbaikan, area mana yang unggul, dan mempelajari lebih mendalam bagaimana sebenarnya gambaran merek sebuah produk atau dalam portfolio. Untuk membantu menentukan skor, di bawah ini merupakan panduan bagi manajer atau associate brand management untuk memberikan skor pada tiap item.

  1. Merek mampu memberikan manfaat yang benar-benar dibutuhkan konsumen. Sudah pernahkan anda mencoba untuk mengobservasi keinginan dan keperluan konsumen yang belum bisa terpenuhi?Melalui metode apa?Apakah anda tidak menaruh perhatian pada pengalaman konsumen terhadap produk dan jasa yang ditawarkan?Apakah anda memiliki sistem dimana konsumen bisa memberikan komentar tentang pengalaman menggunakan produk dan jasa?.
  2. Merek masih relevan. Apakah anda telah berinvestasi untuk meningkatkan produk guna menambah nilai untuk konsumen?Apakah anda mengetahui secara persis selera konsumen?pada kondisi pasar saat ini?Apakah segala keputusan pemasaran anda berdasarkan hal-hal tersebut?
  3. Strategi harga berdasarkan nilai yang dipersepsikan konsumen. Apakah perusahaan telah mengoptimalkan harga, biaya, dan kualitas untuk memenuhi bahkan melebihi apa yang diharapkan konsumen?Apakah anda mempunyai sebuah system untuk memonitor perubahan persepsi nilai merek anda?Apakah anda memperkirakan seberapa besar konsumen anda percaya terhadap merek produk anda?
  4. Merek diposisikan dengan tepat. Apakah anda telah mempunyai hal yang dibutuhkan sebagai dasar pembeda untuk berkompetisi dengan pesaing anda?Apakah point of different telah berhasil dimengerti oleh konsumen sebagai kesadaran mereka terhadap produk di pasar?
  5. Konsistensi merek.Apakah program pemasaran tidak menimbulkan pesan yang membingungkan dan tidak pernah terjadi selama ini?Sebaliknya,apakah ada penyesuaian program dengan keadaan terkini?
  6. Portofolio dan hirarki merek masuk akal.Dapatkah merek perusahaan menciptakan sebuah payung untuk seluruh merek dalam portfolio?Apakah setiap merek dalam portfolio memiliki peran terpisah?Seberapa ekstensifnya overlap antar merek?Di area mana?sebaliknya, apakah merek sudah mencakup pasar secara maksimal?Apakah anda memiliki hirarki merek dimana tidak mudah diperhatikan dan dapat dimengerti dengan baik?
  7. Merek menggunakan dan mengkoordinasikan seluruh daftar aktivitas pemasaran untuk membangun ekuitas merek.Apakah anda telah memilih dan mendesain nama merek, logo, symbol, slogan, kemasan, dan lain sebagainya untuk memaksimalkan brand awarness?Apakah anda telah memadukan aktivitas pemasaran pull dan push untuk menjangkau baik distribusi maupun konsumen?Apakah seluruh aktivitas pemasaran dapat dipahami dengan baik?Apakah pelaksana mengelola setiap aktivitas dan mengetahui antara aktivitas yang satu dengan lainnya?Apakah anda telah mengkapitalisasi kemampuan yang unik dalam pemilihan komunikasi yang tidak akan menghilangkan arti dari sebuah merek yang ditampilkan?
  8. Brand manager memahami apa arti merek bagi konsumen.Apakah anda mengetahui apa yang disukai dan tidak disukai oleh konsumen dari merek anda?apakah anda mengenal seluruh anggota tim pemasaran dan apa yang telah dilakukannya terhadap merek, baik yang berasal dari perusahaan maupun luar perusahaan?Apakah anda telah membuat batas-batas skema berdasarkan perilaku konsumen untuk perluasan merek dan acuan untuk program pemasaran?.
  9. Merek mendapatkan dukungan yang semestinya dan dipertahankan dalam jangka panjang. Apakah kesuksesan dan kegagalan dari program pemasaran dapat dimengerti sebelum program tersebut dirubah?Apakah R&D kurang memberikan dukunganya?Sudah pernahkah menghindari keinginan untuk mengurangi dukungan pemasaran sebagai reaksi terhadap melemahnya pasar atau jatuhnya angka penjualan?
  10. Perusahaan melakukan pemantauan sumber-sumber ekuitas merek. Apakah anda mengadakan sebuah audit untuk menilai kinerja merek dan untuk merancang tujuan strategis?apakah anda secara rutin mengadakan kajian untuk mengevaluasi keadaan pasar terkini?apakah anda secara regular mendistribusikan laporan ekuitas merek yang dirangkum di seluruh penelitian dan informasi yang relevan untuk membantu pemasar dalam memutuskan sesuatu?Apakah anda telah menugaskan secara jelas tanggungjawab untuk memonitor dan mempertahankan ekuitas merek?

Pada akhirnya, kekuatan merek terletak di pikiran konsumen, dimana mereka merasakannya dan mempelajari tentang merek dari waktu ke waktu. Pengetahuan konsumen merupakan “hati” ekuitas merek. Realisasi ini mempunyai dampak manajerial yang penting. Secara imajinatif, ekuitas merek membantu pemasar dalam menjembatani strategi terdahulu dan masa datang. Sehingga, berapapun uang yang telah dikeluarkan jangan dipandang sebagai sebuah pengeluaran tapi investasi-investasi agar konsumen mengetahui, merasakan, mengingat, mempercayai,dan berpikir tentang merek-untuk itu konsumen akan memutuskan, berdasarkan kepercayaan dan sikap mereka terhadap merek. Pemasar yang membangun merek kuat telah mengetahui konsep dan menggunakannya untuk memperjelas, mengimplementasikan, dan mengkomunikasikan strategi pemasaran mereka.

REFERENCES Aaker, D. A.(1991), Managing Brand Equity. Capitalizing on The Value of A Brand Name, The Free Press. New York Best, R. J. (2005), Market-Based Management: Strategies for Growing Customer Value and Profitability, 4th ed., Pearson Education, Inc, Upper Saddle River, NJ Cravens, D. W. and N. F. Piercy (2003), Strategic Marketing, 7th ed., McGraw-Hill/Irwin, New York Keller, L.K.,(2001), The Brand Report Card, Harvard Business Review on Marketing, Harvard Business School Publishing, Boston

MERUBAH MEREK, MERUBAH PERSEPSI


A. B. Susanto*


Merek tidak berada dikemasan produk, atau bahkan di dalam produk itu sendiri. Merek berada di dalam persepsi konsumen. Misalnya industri otomotif sekarang sedang ramai dengan perbincangan kemunculan Daihatsu Xenia dan Toyota Avanza. Keduanya berkolaborasi untuk menembus pasar mobil yang paling gemuk di Indonesia dengan karakteristik yang sebenarnya sudah diketahui dengan baik oleh para pemasar.

Pertama, orang Indonesia yang secara kultural berbasis extended family menyukai sarana transportasi yang dapat mengangkut mereka rame-rame. Fakta ini ditunjukkan oleh angka penjualan Toyota, Suzuki, Daihatsu, Isuzu, yang semuanya ditunjang oleh penjualan mini bus mereka, yang sebenarnya berbasis mobil niaga ketimbang mobil penumpang.

Kedua, harga yang terjangkau oleh konsumen Indonesia. Cerminannya adalah angka-angka penjualan mobil di bawah seratus juta, yang baru maupun yang bekas. Fenomena city car dengan daya angkut terbatas yang cukup laris itu, belum tentu mencerminkan kebutuhan konsumen yang sebenarnya terhadap mobil bentuk ini, tetapi merupakan langkah kompromi konsumen terhadap keterjangkauan harga. Jika mereka diberi alternatif dengan harga yang sama tetapi mendapatkan passenger car yang dapat memuat banyak orang dan leluasa mengangkut barang, barangkali sebagian besar dari mereka akan memilih yang terakhir.

Sebenarnya hampir semua pemasar memahami kebutuhan ini, tetapi mereka belum dapat menyediakan mobil seperti kijang yang harganya di bawah seratus juta rupiah. Kehadiran Avanza dan Xenia tentu akan mampu menyedot perhatian konsumen : mampu memuat tujuh penumpang, mempunyai hidung (bonnet), dan modelnya pun oke.

Toyota Motor Corp dan Daihatsu Motor Corp membenamkan investasi sebesar 90 juta dolar AS untuk mengembangkan mobil yang memenuhi kebutuhan konsumen di Indonesia dengan harga terjangkau. Dan lahirlah saudara kemabar Toyota Avanza dan Daihatsu Xenia dengan harga di bawah 100 juta rupiah. Kedua mobil ini diproduksi oleh pabrik yang sama, dan didistribusikan oleh PT Astra International Tbk awal tahun 2004 ini. Angka penjualan yang diharapkan sebesar 2.400 unit untuk Toyota dan 1.200 unit untuk Daihatsu dengan asumsi pertumbuhan pasar sebesar 10% untuk tahun 2004. Target pasarnya adalah first time buyer dan mereka yang terpaksa puas menggunakan mobil bekas.

Kerjasama ini bukanlah yang pertama kali. Bahkan proyek ini merupakan kerjasama yang ketiga setelah kerjasama mereka di Pakistan dan Venezuela. Kerjasama seperti ini akan terus berlanjut, mengingat Toyota telah menggenggam 51,1 % saham Daihatsu.

Karakteristik kedua pembuat mobil ini memang saling melengkapi. Bisa dibilang Toyota kuat karena efisien dalam operasinya (mempelopori JIT-Just In Time dan produktivitas tenaga kerja yang tinggi), cepat dan berhasil dalam pengembangan kendaraan baru, serta masuk dalam banyak segmen pasar dengan jaringan distribusi yang luas. Sementara, Daihatsu telah sukses menekuni spesialisasi dalam menciptakan mobil kecil, efisien, dan murah, serta mempunyai jaringan distribusi yang luas.

Sayang, brand image Daihatsu kurang bagus. Daihatsu dianggap sebagai second grade Japanese car. Harga yang rendah menjadi salah satu penyebab perceived quality ikut terpengaruh. Kelemahan ini dapat ditanggulangi jika melakukan aliansi strategis dengan Toyota. Merek Toyota di belakang Daihatsu dapat mengangkat brand image Daihatsu. Berbagai aktivitas PR mereka menjelaskan, bahwa Daihatsu merupakan bagian dari Toyota yang khusus memproduksi mobil-mobil kecil, efisien dan murah.

Bagi Toyota, ini merupakan pilihan yang sangat menarik. Dengan melayani segmen yang sangat luas, termasuk melalui Lexus yang menangani pasar premium, bermain di segmen terlalu bawah tentu sangat berbahaya. Brand image Toyota akan ketarik oleh merek yang digunakan di kelas bawah. Padahal segmen ini terlalu sayang untuk ditinggalkan begitu saja, terutama di negara-negara berkembang. Selain gemuk, pasar terus berkembang.

Kembali ke Avanza dan Xenia. Boleh saja di tingkat strategis kolaborasi berjalan mulus. Tetapi di lapangan timbul kerancuan dalam persepsi konsumen. Konsumen seolah-olah tidak dapat menerima produk yang sama tetapi mempunyai dua merek. Karena perceived quality konsumen antara Toyota dan Daihatsu sangatlah berbeda. Toyota memiliki perceived quality yang tinggi jauh di atas Daihatsu. Daihatsu yang di Indonesia dipersepsi sebagai produsen mobil murah, acap mendapatkan perceived quality yang rendah. Sehingga terjadi semacam cognitive dissonance. Kebingungan konsumen inilah yang mendatangkan kreativitas salesman Toyota, yang mengatakan bahwa mesin Avanza didatangkan dari Thailand dan Xenia dibuat di pabrik Daihatsu di Indonesia. Justifikasi yang dilontarkan oleh salesman berdasarkan kenyataan yang mereka hadapi di lapangan, ketika konsumen menyatakan apa bedanya antara Avanza yang dari Toyota dan Xenia yang dari Daihatsu. Mungkin pertanyaan ini lebih sulit dijawab oleh salesman Toyota yang menjual dengan harga lebih tinggi. Perbedaan features saja, seperti AC double blower dianggap kurang memadai sebagai daya pembeda. Masih diperlukan justifikasi lebih lanjut yang meringankan para petugas di garda depan dalam menjelaskan kepada konsumen.

Pengalaman penggantian merek mengatakan bukanlah sesuatu yang mudah. Ketika Datsun berubah nama menjadi Nissan dibutuhkan sosialisasi secara bertahun-tahun agar dapat diterima oleh konsumen. Di dalam negeri kita sempat menyaksikan bagaimana hebohnya ketika KIA Sephia ditempeli merek Timor. Kita juga menyaksikan bagaimana Blazer yang aslinya memakai merek Chevrolet masuk ke Indonesia memakai merek Opel. Kemudian beberapa waktu yang lalu dikembalikan lagi menjadi Chevrolet. Juga Chevrolet Spark yang pernah masuk ke Indonesia dengan merek Daewoo Matis. Adapula KIA Visto yang modelnya lebih bagus dari Hyundai A to Z, tetapi mesinnya Hyundai.

Merek memang tidak sama dengan produk. Merek adalah sebuah nama atau simbol yang diasosiasikan dengan suatu produk atau jasa dan menimbulkan arti psikologis atau asosiasi. Inilah yang membedakan antara produk dan merek. Sebuah produk adalah sesuatu yang dibuat di dalam pabrik tetapi mereklah yang sesungguhnya dibeli oleh pelanggan. Merek bukan hanya apa yang tercetak di dalam produk atau kemasannya, tetapi apa yang ada di benak konsumen dan bagaimana konsumen mengasosiasikannya.

Memang pada awalnya merek hanyalah sebuah nama untuk membedakan yang pada saat ini hanya dianggap sebagai nama merek (brand name). Pada perkembangan selanjutnya merek adalah sebuah nama yang dianggap mewakili sebuah obyek. Dalam perkembangannya merek dianggap sebagai sebuah simbol, dan kemudian menjadi image. Dan akhirnya merek berkembang sebagai gejala perubahan internal maupun eksternal.

Merek bukanlah sekedar brand name, tetapi sudah berkembang lebih jauh. Knapp menyatakan terdapat tiga sifat fundamental yang membedakan suatu merek sejati dalam pikiran konsumen: internalisasi kesan-kesan, posisi khusus dalam mata pikiran konsumen, serta manfaat emosional dan fungsional yang dirasakan. Pada akhirnya merek bukan apa yang dibuat di pabrik, tercetak di dalam kemasan atau apa yang diiklankan oleh pemasar, tetapi apa yang ada di dalam pikiran konsumen.<MAJALAH EKSEKUTIF >


* Managing Partner The Jakarta Consulting Group

Brand Management & Strategic Consistency


A.B. Susanto*


Brand management ternyata mempunyai aspek yang luas, mungkin lebih luas dari dugaan kita.  Cerita dari bagian General Affairs di kantor kami dapat menggambarkan salah satu sudut  pengelolaan merek, yang sering terluput dari perhatian kita. Bagian pembelian kantor kami dahulu berlangganan sebuah merek AMDK  (Air Minum Dalam Kemasan) “terkenal”, karena merasa sangat yakin terhadap kualitasnya walaupun harganya lebih mahal daripada merek lainnya.    Benefit yang diperoleh   dianggap lebih tinggi daripada pengorbanan uang (monetary sacrifice), sehingga perceived valuenya tinggi dan muncul keputusan untuk memilihnya.

Selama berlangganan kualitas produknya tidak pernah menimbulkan keluhan dan sesuai dengan harapan. Harapan yang terbentuk oleh brand image – bahwa AMDK tersebut melalui proses pengelolaan yang higienis dan terjaga kualitasnya – terpenuhi sehingga kepuasan terhadap produk tinggi. Ingat, konsumen sebenarnya tidak melakukan pengujian kualitas dalam arti yang sesungguhnya, tetapi lebih berdasarkan opini mereka, alias berdasarkan  perceived quality.

Namun tidak demikian dengan kualitas layanannya. Para pengirimnya  tampak ogah-ogahan karena harus menaikkan ke kantor kami yang pada waktu itu berada di  lantai sebelas.  Beberapa lama kemudian pasokan dari mereka mulai mengalami keterlambatan, sehingga bagian general affairs kelabakan dan  harus membeli AMDK botol untuk mengatasinya. Kejadian ini berlangsung beberapa kali, dan puncaknya terjadi ketika ada karyawan penagihan perusahan itu ‘menilep’ beberapa galon, dengan menagih lebih dari  pembelian yang seharusnya.

Tentu ini sangat mengecewakan, dan bagian GA pun memutuskan pindah ke merek lain, sebuah merek yang ‘tidak terkenal’, dengan harapan karena pelanggannya sedikit mereka dapat lebih care terhadap pelanggan. Dan ternyata benar, perusahaan kecil yang mereknya tidak terkenal  ini dapat memberikan layanan yang lebih baik, dan tidak pernah sekalipun terlambat.

Tetapi apa yang terjadi beberapa tahun kemudian ? Ketika ruang meeting diberi dispenser agar para peserta meeting langsung bisa menyeduh sendiri minumannya, merek AMDK yang ‘tidak terkenal’ ini digusur karena kurang bergengsi, kurang representif untuk ‘mejeng’ di depan  tamu alias tidak memiliki brand image yang layak. Bagian GA pun akhirnya kembali kepada merek ‘terkenal’ dengan harapan layanannya sudah membaik, apalagi  menurut informasi telah terjadi pembenahan manajemen.

Dari cerita di atas kita dapat menarik dua hal, yaitu merek terkenal – tapi   layanannya kurang bagus – dan kedua merek “tidak terkenal” yang layanannya bagus, tapi kurang  memiliki brand awareness..

Sebagai pemilik merek “terkenal“ yang memiliki brand image yang bagus, mereka dapat menjual dengan harga premium (premium price) dan menarik manfaat price premium sebagai bagian dari brand equity.  Price premium adalah ambang batas selisih harga, sebuah titik ketika  konsumen merasakan selisih harga tetentu akan mengubah keputusannya  dan berpindah ke merek lain yang lebih murah. Misalnya,  Intel selalu melakukan price premium measurement ini. Setiap minggu pewawancara Intel  mendatangi toko-toko  komputer untuk menanyai pengunjung berapa besar diskon yang harus diberikan kepada sebuah komputer  agar pembeli  berpindah untuk membeli komputer lain tanpa label “Intel Inside”. Kita tahu,  AMD sebagai kompetitor terberat Intel menawarkan harga yang lebih murah hingga 39 persen.   Dengan harga lebih tinggi dari kompetitor karena ‘kesaktian merek’ pemilik merek yang kuat, mempunyai potensi untuk mengeruk laba yang lebih tinggi, yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas produk dan layanannya.

Sayang sebagai pemilik merek AMDK terkenal mereka kurang berhasil membangun brand-customer relationship yang baik. Padahal di sinilah  proses pemeliharaan hubungan dengan pelanggan, agar pelanggan tidak lari kepada kompetitor. Seperti kasus AMDK ini, ketidakpuasan konsumen bukan terhadap produknya, tetapi lebih kepada layanan dalam menghantarkan value kepada pelanggan.  Dalam menyediakan layanan ini, ‘mesin produksinya‘ adalah manusia dan ‘produknya’ adalah perilaku dalam berhubungan dengan para pelanggan.  Jadi sangat tergantung bagiamana mengelola manusia agar dapat ‘memproduksi’ perilaku tertentu untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Yang ‘dijual’ bukan hanya air dalam botol saja, tetapi juga menjual sejumlah ‘perilaku’ yang disebut layanan pendukung.

Disinilah letak pendekatan holistik dalam pengelolaan merek mesti diletakkan. Mengelola merek bukan  masalah iklan doang, atau masalah komunikasi pemasaran belaka. Di belakang brand image yang telah dibentuk dengan susah payah melalui kegiatan komunikasi pemasaran, harus ada ‘pasukan’ yang kompak bertindak seia-sekata dalam memenuhi janji  yang telah melekat di benak konsumen. Sebuah bentuk komunikasi ‘nyata’ berupa interaksi dalam memenuhi harapan konsumen. Sistem kerja lintas fungsional harus berjalan untuk mendukung brand-customer relationship. Dan  sebagai konsekuensi dari pendekatan lintas fungsional tersebut harus disertai konsistensi yang tinggi, sehingga anggota organisasi tidak melakukan berdasar interpretasinya sendiri-sendiri. Apalagi berdasar kepentingannya sendiri-sendiri yang dapat merusak brand image yang terbentuk.

Pada kasus merek ‘tidak terkenal’ yang mempunyai kualitas layanan baik, unsur komunikasi pemasaran menjadi kelemahannya. Seberapa bagus kualitas produk dan layannya, jika tidak disertai komunikasi pemasaran yang bagus, upaya ini menjadi sia-sia. Komunikasi kepada kepada para pelanggan harus bulat, sehingga para pelanggan  juga menerima secara bulat. Inilah yang disebut sebagai strategic consistency, seperti pernah dilakukan Pepsi dalam Project’s Blue untuk memerangi ketidakkonsistenan.  Gerakan “its image is all over the map” bertujuan menyeragamkan warna dan nada Pepsi yang beragam.

Dalam pelaksanaannya, strategic consistency harus dilandasi oleh  budaya perusahaan yang berlandaskan falsafah customer driven. Dalam budaya perusahaan tertuang nilai-nilai yang menyatukan gerak anggota organisasi, sehingga secara konsisten akan membawa dampak pada product & services performance. <Market>

*Managing Partner The Jakarta Consulting Group