Posts tagged ‘budaya organisasi’

Budaya perusahaan


Pengertian Budaya Perusahaan

Menurut Drs.Triguno,DIPL,EC.LLM. (2000:3) “ Suatu falsafah yang didasari oleh pandangan hidup sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan dan kekuatan pendorong, membudaya dalam kehidupan suatu kelompok masyarakat/organisasi, kemudian tercermin dari sikap menjadi prilaku.

Terdapat beberapa definisi budaya perusahaan atau budaya organisasi yang dikemukakan oleh beberapa ahli seperti berikut ini :

Menurut Robbins (dalam Djokosantoso :2003) mendefinisikan bahwa :

“Budaya perusahaan adalah suatu sistem nilai-nilai yang dirasakan maknanya oleh seluruh orang dalam organisasi. Selain dipahami, seluruh jajaran meyakini sistem-sistem nilai tersebut sebagai landasan gerak organisasi”.

Menurut Eugene McKenna dan Nic Beech (2000:18)

“Budaya perusahaan merupakan nilai, kepercayaan, sikap dan perilaku yang dipegang anggota.”

Menurut Djokosantoso (2003 :21) mendefinisikan

“Budaya perusahaan adalah sistem nilai-nilai yang diyakini oleh semua anggota organisasi dan yang dipelajari, diterapkan, serta dikembangkan secara berkesinambungan, berfungsi sebagai sistem paket, dan dapat dijadikan acuan berperilaku dalam organisasi untuk menciptakan tujuan perusahaan yang telah ditetapkan”.

  Elemen-elemen Budaya Perusahaan

Terdapat beberapa elmen dasar budaya perusahaan, Eugene McKenna dan Nic Beech (2000:15) mengelompokan elemen-elmen budaya perusahaan sebagai berikut :

a. Artifacts

Merupakan hal-hal yang dapat dilihat, didengar, dirasakan, jika sesorang berhubungan dengan sebuah kelompok baru dengan budaya yang tidak dikenalnya. Artifacts termasuk struktur organisasi dan proses yang tampak, seperti produk, jasa, dan tingkah laku anggota kelompok

b.    Espoused Values

Yaitu alasan-alasan tentang mengapa orang berkorban demi apa yang dikerjakan. Budaya sebagian besar organisasi dapat melacak nilai-nilai yang didukung kembali kepenemu budaya. Meliputi strategi, sasaran, dan filosofi.

c.   Basic Underlying Assumption

Yaitu keyakinan  yang dianggap sudah ada oleh anggota suatu organisasi. Budaya menetapkan cara yang tepat untuk melakukan sesuatu di organisasi,  seringkali melalui asumsi yang tidak diucapkan namun anggota organisasi meyakini ketepatan tindakan tersebut.

Karakteristik Budaya Perusahaan

Budaya perusahaan merupakan sesuatu hal yang sangat kompleks. Untuk itu budaya perusahaan harus memiliki beberapa karakteristik sebagai wujud nyata keberadaannya. Masing-masing karakteristik tersebut pada penerapannya akan mendukung pencapaian sasaran perusahaan. Menurut Surya Dharma dan Haedar Akib (2004:25) mengemukakan 10 (sepuluh) karakteristik budaya perusahaan sebagai berikut :

  1. Identitas Anggota ; derajat dimana pekerjaan lebih mengindentifikasi organisasi secara menyeluruh daripada dengan tipe pekerjaan atau bidang keahlian profesionalnya.
  2. Penekanan kelompok; derajat dimana aktivitas tugas lebih diorganisir untuk seluruh kelompok dari pada individu.
  3. Fokus orang; derajat dimana keputusan manajemen memperhatikan dampak luaran yang dihasilkan terhadap pekerjaan dalam organisasi.
  4. Penyatuan unit; derajat dimana unit-unit dalam organisasi didorong agar berfungsi dengan cara yang terorganisasi atau bebas.
  5. Pengendalian; derajat dimana peraturan, regulasi dan pengendalian langsung digunakan untuk mengawasi dan pengendalian perilaku pekerja.
  6. Toleransi resiko; derajat dimana pekerja didorong untuk agresif, kreatif, inovatif dan mau mengambil resiko.
  7. Kriteria ganjaran; derajat dimana ganjaran seperti peningkatan pembayaran dan promosi lebih dialokasikan menurut kinerja pekerja daripada senioritas, favoritisme atau faktor non pekerja lainnya.
  8. Toleransi konflik; Derajat dimana pekerja didorong dan diarahkan untuk menunjukkan konflik dan kritik secara terbuka.
  9. Orientasi sarana-tujuan; derajat dimana manajemen lebih terfokus pada hasil atau luaran dari teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai luaran tersebut.
  10. Fokus pada sistem terbuka; derajat dimana organisasi memonitor dan merespon perubahan dalam lingkungan eksternal.

Sedangkan menurut Robbins (2001: 16) menyatakan ada tujuh karakteristik budaya organisasi atau budaya perusahaan sebagai berikut:

  1. Inovasi dan keberanian mengambil resiko (inovation and risk taking)
  2. Perhatian terhadap detail (Attention to detail)
  3. Berorientasi Kepada hasil (Outcome orientation)
  4. Berorientasi kepada manusia (People orientation)
  5. Berorientasi tim ( Team orientation)
  6. Aggresif (Aggressiveness)
  7. Stabil (Stability)

 Faktor-faktor Pembentukan Budaya Perusahaan

Menurut Krisdarto (2001:53) faktor-faktor yang membentuk budaya perusahaan yaitu :

  1. Observed behavioral regularities when people interact

Yaitu bahasa yang digunakan dalam organisasi, kebiasaan dan tradisi yang ada, dan ritual para karyawan dalam menghadapi berbagai macam situasi.

  1. Group Norms Yaitu nilai dan standar baku dalam organisasi.
  2. Exposed Values

Yaitu nilai-nilai dan prinsip-prinsip organisasi yang ingin dicapai, misalnya kualitas produk, dan sebagainya.

  1. Formal Philosophy

Yaitu kebijakan dan prinsip ideologis yang mengarahkan perilaku organisasi terhadap karyawan, pelanggan, dan pemegang saham.

  1. Rules of the Game

Yaitu aturan-aturan dalam perusahaan (the ropes), hal-hal apa saja yang harus dipelajari oleh karyawan baru agar dapat diterima di organisasi tersebut.

  1. Climate

Yaitu Perasaan yang secara eksplisit dapat terasa dari keadaan fisik organisasi dan interaksi antar karyawan, interaksi atasan dengan bawahan, juga interaksi dengan pelanggan atau organisasi lain.

  1. Embedded Skills

Yaitu kompetensi khusus dari anggota organisasi dalam menyelesaikan tugasnya, dan kemampuan menyalurkan keahliannya dari satu generasi ke generasi lainnya.

  1. Habits of thinking, mental models, and/or linguistec paradims

Yaitu adanya suatu kesamaan “frame”  yang mengarahkan pada persepsi (untuk dapat mengurangi adanya perbedaan persepsi), pikiran, dan bahasa yang digunakan oleh para karyawan, dan diajarkan pada karyawan baru pada awal proses sosialisasi.

  1. Shared Meanings

Yaitu rasa saling pengertian yang diciptakan sendiri oleh karyawan dari interaksi sehari-hari.

  1. Root Metaphors or Integrating Symbols

Yaitu ide-ide, perasaan, dan citra organisasi yang dikembangkan sebagai karakteristik organisasi yang secara sadar ataupun tidak sadar tercermin dari bangunan, lay out ruang kerja, dan materi artifacts lainnya. Hal ini merefleksikan respon emosional dan estetika anggota organisasi, disamping kemampuan kognitif atau kemampuan evaluatif anggota organisasi.

 Unsur-unsur Pembentukan Budaya Perusahaan

Beberapa unsur pembentukan budaya perusahaan menurut Atmosoeprapto (2001:71), yaitu :

  1. Lingkungan usaha; lingkungan dimana perusahaan itu beroperasi akan menentukan apa yang harus dikerjakan oleh perusahaan tersebut untuk mencapai kebrhasilan.
  2. Nilai-nilai (values); merupakan konsep dasar dan keyakinan dari suatu organisasi.
  3. Panutan/keteladanan; orang-orang yang menjadi panutan atau teladan karyawan lainnya karena keberhasilannya.
  4. Upacara-upacara (rites dan ritual); acara-acara ritual yang diselenggarakan oleh perusahaan dalam rangka memberikan penghargaan pada karyawannya.
  5.  “Network”; jaringan komunikasi informal di dalam perusahaan yang dapat menjadi sarana penyebaran nilai-nilai dari budaya perusahaan.

 Proses  Terbentuknya Budaya Perusahaan

Eugene McKenna dan Nic Beech (2000:60) membagi budaya organisasi atau budaya perusahaan atas beberapa komponen pembentuk, yaitu :

  1. Filosof, yang menjadi panduan penetapan kebijakan organisasi baik yang berkenaan dengan karyawan ataupun klien.
  2. Nilai-nilai dominan yang dipegang oleh organisasi.
  3. Norma-norma yang diterapkan dalam bekerja.
  4. Aturan main untuk berelasi dengan baik dalam organisasi yang harus dipelajari oleh anggota baru agar dapat diterima oleh organisasi.
  5. Tingkah laku khas tertentu dalam berinteraksi yang rutin dilakukan.Perasaan atau suasana yang diciptakan dalam organisasi.

Dengan menggali komponen-komponen pembentuk ini, diharapkan akan memperoleh gambaran global dari budaya organisasi tertentu. Gambaran ini menjadi dasar organisasi tersebut, bagaimana masalah deselesaikan didalamnya, dan cara para anggota diharapkan berperilaku.

Manajer Puncak

Inplementasi kerja. Orang-orang bertingkah laku tertentu sejalan dengan visi yang telah ditetapkan

Hasil

Kesuksesan yang diraih akan berkesinambungan dari waktu ke waktu.

Budaya Organisasi

Budaya yang tumbuh merefleksikan visi, strategi, dan pengalaman orang-orang yang mengimplementasikan nilai-nilai tersebut.

 Fungsi Budaya Perusahaan

Menurut Veithzal Rivai (2005:430), fungsi budaya perusahaan adalah :

  1. Budaya mempunyai suatu peran menetapkan tapal batas, artinya budaya menciptakan perbedaan yang jels antara suatu organisasi dengan organisasi yang lain.
  2. Budaya memberikan indentitas bagi anggota organisasi.
  3. budaya mempermudah timbulnya komitmen yang lebih luas dari pada kepentingan individu.
  4. Budaya itu mengingkatkan kemantapan sitem sosial.
  5. Budaya sebagai mekanisme pmbuat makna dan kendali yang memandu sera membentuk sikap dan perilaku karyawan.

MANAGING ACROSS CULTURES


Seiring dengan kemajuan ilmu dan pengetahuan yang diwujudkan dalam perkembangan dibidang teknologi, juga ledakan demokrasi di negara-negara yang semula hidup di bawah tekanan kolonialisme, feodalisme maupun berbagai bentuk kediktatoran, membuka kesempatan bagai beratus juta manusia di dunia untuk berpartisipasi secara bebas dalam hubungan internasional.

Peningkatan intensitas secara drastis dalam hubungan internasional, baik hubungan politik, diplomasi, militer, hukum atau ekonomi membawa kosekuensi pada peningkatan intensitas hubungan lintas budaya. Dalam konteks ini, terutama dalam hubungan bisnis, fenomena tersebut memunculkan kebutuhan akan perlunya pemahaman atas manajemen lintas budaya.

Manajemen lintas budaya menyajikan topik bahasan tentang strategi dan kecakapan khusus tentang seluk beluk perbedaan-perbedaan budaya untuk menuju sinergi budaya, baik dalam kepentingan bisnis, ekonomi, politik, maupun kepentingan-kepentingan lainnya. Bagi pihak-pihak yang berkepentingan (terutama para manajer MNC), pemahaman atas manajemen lintas budaya merupakan bekal yang mutlak dikuasai untuk tetap mampu bersaing dalam kompetisi bisnis internasional yang semakin keras dan ketat.

Analisis Cross Cultural


Analisis ini sering disebut pula comparative management, mulai dikembangkan pada awal dekade tujuhpuluhan, seiring dengan semakin besarnya pengaruh budaya di berbagai negara terhadap perkembangan MNC. Tujuan utama pengembangan analisis ini adalah :
a) Menelaah perbedaan antar berbagai budaya dan dampaknya terhadap proses pengambilan keputusan.
b) Menelaah persamaan antar berbagai budaya yang dapat dipergunakan untuk pengambilan keputusan yang bersifat universal.
Dalam perkembangannya, analisis ini terkategori dalam dua model pemikiran mengenai penjelasan “keberadaan budaya” dalam ilmu manajemen, yaitu model Farmer-Richman (1965) dan model Negandhi-Prasad (1971).

Model Farmer-Richman dikembangkan pada saat berbagai pihak (termasuk MNC yang sudah terbentuk pada saat itu) masih mengabaikan akan perlunya pengkajian atas aspek budaya dalam hubungan internasionalnya. Sedangkan model Negandhi-Prasad muncul pada saat berbagai pihak mulai memperhatikan perlunya analisis budaya.

Pada kedua model tersebut terdapat beberapa perbedaan pendekatan dalam hal menunjukan pentingtidaknya kedudukan budaya dalam manajemen. Model Farmer-Richman menegaskan bahwa budaya merupakan variabel utama dalam menentukan efektifitas manajerial dan organisasional, sedangkan model Negandhi-Prasad menyatakan bahwa philosophy of management adalah merupakan suatu variabel yang bersifat independen dan cenderung tidak terpengaruh secara langsung oleh aspek budaya.
Perbedaan berikutnya adalah dalam menyebut dan mengkategorisir faktor-faktor pembentuk budaya. Kedua model tersebut menunjukan bahwa aspek-aspek pendidikan, sosiologi, politik dan legal membentuk sesuatu yang mereka kategorikan sebagai “budaya”. Dimana Farmer-Richman menyebutnya dengan external costraints, sedangkan Negandhi-Prasad menyebut aspek-aspek tersebut sebagai enviromental factor.
Model Negandhi-Prasad tersebut pada dasarnya adalah merupakan kontra argumen terhadap model Farmer-Richman. Menurut Farmer-Richman, bila faktor budaya dianggap sebagai faktor penentu pokok dalam kemangkusan manajemen, maka kemangkusan di keseluruhan sektor dalam suatu negara (dengan budaya yang sama) akan sama pula. Negandhi-Prasad menyatakan bahwa anggapan pemikiran tersebut adalah merupakan suatu kejanggalan.

Pada dasarnya model-model dalam anasisis cross cultural bertujuan untuk mencari jawaban atas pengaruh (baik yang bersifat langsung atau tidak langsung) terhadap kemangkusan dan kesangkilan manajemen. Pada setiap model ditemukan bahwa bagaimanapun juga pada akhirnya pelaksanaan keseluruhan fungsi manajemen sangat ditentukan oleh pola pikir para pelaksana fungsi-fungsi tersebut, yang secara alamiah telah terbentuk oleh latar belakang budaya mereka.

Kepemimpinan dalam Manajemen Lintas Budaya

Woodrow Sears, seorang konsultan manajemen dari California, menyampaikan suluhannya kepada kliennya bahwa : (Elashmawi, 1996 : 14)
a) “Kepemimpinan” adalah penciptaan struktur yang memungkinkan orang-orang untuk mengambil bagian dalam mencapai tujuan-tujuan yang bernilai.
b) “Manajemen” dapat dirumuskan sebagai “harapan/pengawasan”, yang berarti bahwa para manajer harus mangkus dalam menciptakan dan memperjelas harapan atas pelaksanaan tugas dengan para bawahan atau rekan sekerja, kemudian mereka mengadakan perundingan dan melakukan pengawasan untuk meyakinkan bahwa pekerjaan diseleksaikan dengan baik. Amatlah disayangkan bahwa prasangka, kefanatikan, kebodohan dalam organisasi atau manajemen dibiarkan merongrong sumbangan dan perkembangan maksimal karyawan.

Praktek manajemen lintas budaya berpusat di sekitar kepentingan manusia. Dalam buku Human Side of Enterprise, McGregor mengatakan bahwa selama lebih dari empatpuluh tahun para ilmuwan di bidang perilaku manusia (behavioral) telah menyampaikan pesan itu kepada para manajer, tetapi baru sekarang banyak dari mereka sungguh-sungguh mulai mendengarkan dan menterjemahkan konsep tersebut ke dalam tindakan operasional.

Banyak manajer lokal kembali mempelajari pandangan-pandangan semacam itu pada waktu mereka ke luar negeri dan mengamati manajemen seperti dipraktekkan di dalam budaya-budaya lain. Sebagai contoh, penerapan oleh orang Jepang atas konsep “gugus kendali mutu” (quality circle) yang mula-mula dikemukakan oleh WE Dening, seorang insinyur perindustrian dari Amerika, yang menyebabkan orang-orang senegerinya dengan serius memanfaatkan teknik kelompok ini.

Sebaliknya pada kasus yang lain, para manajer di Amerika pada awal dekade sembilanpuluhan sangat antusias mempelajari lagi tentang pentingnya “modal manusia” dan kerjasama karyawan/manajemen dari rekan-rekan Asia mereka. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Alan Binder sebagai berikut : (Business Week, 11 November 1991, p22)

Orang Jepang agaknya telah berhasil mengatasi “rintangan kami melawan mereka” yang sedemikian merusak hubungan kerja dalam perusahaan-perusahaan Amerika dan Eropa. Mereka melakukannya dengan menciptakan perasaan bahwa karyawan dan manajemen mempunyai nasib yang sama … bahwa lembaga usaha Jepang yang berjalan dengan baik adalah dari oleh dan bagi orang-orangnya.

Maka perusahaan-perusahaan Jepang melatih para karyawannya, menjamin keamanan kerja, dan memberi jalur karier yang leluasa jika perusahaan berkembang. Jarang kalangan CEO Jepang bersikap sebagai diktator; banyak perusahaan terkenal dijalankan dengan konsensus. Pekerjaan diatur oleh tim yang terdiri atas jajaran eksekutif sampai karyawan paling bawah. Konsultasi antara pekerja dan manajemen terjadi disegala tingkat. Para pekerja Jepang bekerjasama dengan manajemen karena kesejahteraan mereka terikat dengan perusahaan. Sedikit banyak hal yang akan membuat orang Amerika pada umumnya terheran-heran adalah bahwa perusahaan-perusahaan Jepang yang besar dijalankan lebih demi kesejahteraan para karyawannya daripada demi para pemegang sahamnya. Ini berarti memberi tunjangan tambahan yang besar, maupun pelatihan dan keamanan. Dalam hal mengelola sumberdaya manusia, menurut hemat saya, orang Amerika dapat belajar banyak dari Jepang.

Pelajaran di sini adalah bahwa para manajer lokal dapat belajar banyak dari cara orang-orang asing memandang praktek manajemen kita, meskipun dari sistim manajemen dari negara-negara lain.

Benturan Budaya pada Joint Venture dengan Mitra dari Negara non Kapitalis
Ketika manajemen dan pekerja merupakan produk ekonomi tersentralisir (komunis, sosialis maupun bentuk lainnya), manajemen dan pekerja dari masyarakat perdagangan bebas dan dermokratis akan langsung merasakan perbedaan-perbedaan yang dramatis dalam sudut pandang pada waktu mereka berusaha melakukan kesepakatan joint venture dengan mereka. Ekonomi sentralistis secara struktural maupun kultural telah dikondisikan pada cara berpikir dan bertindak birokratis; mereka tidak terbiasa dengan konsep-konsep seperti pelayanan kepada konsumen, tanggung jawab perorangan dan keuntungan.

Bahkan ketika pemerintah mengalami peralihan menuju kebentuk yang lebih terbuka dan demokratis, rakyat menanggung dampak dari masa lalu. Warga negara semacam itu mungkin mencari nilai-nilai yang lebih humanistis di tempat kerja, tetapi selama bertahun-tahun mereka telah dipengaruhi oleh sistim yang menuntut bahwa setiap keputusan penting harus disetujui oleh otoritas yang lebih tinggi. Dalam hal ini, sekali keputusan kelompok sudah dibuat, keputusan itu dianggap mutlak sebagai suatu kebenaran dan tidak dapat diganggu gugat.

Kesalahan manajemen dan ketimpangan sumberdaya dalam ekonomi yang tersentralisir menyajikan rintangan yang mengerikan. Pelatihan kembali (retraining), meskipun memerlukan biaya yang cukup besar adalah merupakan kunci keberhasilan, dengan para pekerja berbakat dari masyarakat yang sedang dalam masa transisi.
Dengan demikian pengembangan sumberdaya manusia haruslah dalam hal-hal yang lebih banyak meliputi pelatihan dalam kreatifitas, inovasi, insentif dan ganjaran untuk pengembangan karir, pengambilan resiko dan belajar dari kegagalan. Untuk menghasilkan sinergi budaya dalam joint venture itu, “orang-orang demokrat” yang baru tampil itu merlu mempelajari budaya usaha bebas dan pelayanan kepada konsumen.

Membangun Dialog antar Peradaban (Spektrum Politik)

Di masa depan, pelbagai konflik antar bangsa akan didominasi oleh hegemoni/arogansi peradaban Barat, intoleransi peradaban Islam dan fanatisme peradaban Konfusiusisnisme. Lebih jauh, Huntington (2000) menjelaskan, sedikitnya ada enam alasan mengapa terjadi perang antar peradaban di masa depan. Pertama, perbedaan antar peradaban itu sudah sangat mendasar dan menjadi makin berseberangan karena sejarah, bahasa, budaya, tradisi dan agama. Kedua, dunia sudah semakin menyempit sehingga interaksi antara orang yang berbeda peradaban semakin meningkat. Ketiga, proses modernisasi ekonomi dan perubahan dunia membuat masyarakat tercerabut dari identitas lokal. Negara-bangsa sebagai sumber identitas mereka, sudah makin melemah. Keempat, peran peradaban Barat yang begitu dominan, telah membuat peradaban non-Barat berreaksi kembali ke fenomena asal. Kelima, karakteristik dan perbedaan budaya sudah kurang bisa menyatu. Dan keenam, regionalisme ekonomi semakin meningkat.

Huntington melihat, banyak aspek keagamaan telah menjadi roh dari peradaban. Karena hal itu, maka di masa depan agama akan banyak berperan dalam konflik antar peradaban. Dalam kaitan ini, agama tidak hanya berfungsi sebagai wacana spiritual yang aman dan damai, tetapi juga bisa tampil sebagai sosok yang seram dan menakutkan. Agama bisa meletupkan konflik dan pertikaian ketika diinterprestasikan sesuai dengan kepentingan sepihak umat atau kelompok agama.

Kesadaran akan identitas dan jatidiri keagamaan yang makin mengeras ini, pada akhirnya bukan saja telah menimbulkan konflik antara kelompok sosial dan budaya, tetapi juga memicu pertikaian antar peradaban. Karena itu, dibutuhkan sebuah dialog konstruktif dan pembangunan saling pengertian antara umat beragama dan pelbagai peradaban, agar konflik tersebut dapat dihindari.

Daftar Pustaka


Cattaneo J., 1989, International Management Research : Problems, Challenges, and Opportunities, NUS.

Desatnich R.L. and Benett M.J., The Multinational Enviroment, KUL Course Material.

Elhasmawi F. dan Harris P.R., 1993, Multicultural Management; New Skill for Global Success, Gulf Publishing Company, Houston, Texas.

Hodgetts and Luthans, 1994, International Management, 2nd Edition, International Edition, McGraw-Hill Inc., New York.

Huntington, S.P., 2000, Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia, Cet. 1, alih bahasa M. Sadat Ismail, Qalam, Jakarta.

Kelly L. and Northley R., 1981, The Role of Culture in Comprative Management : A Cross Cultural Prespective, Academy of Management Journal, vol. 24, no. 1.

Yun C.K., 1973, Role Conflict of Expatriate Managers, a Construct, Journal of International Business Studies, vol. 6.

Managing Organizational Cultures and Diversity


Pada jaman informasi paska-industri ini, budaya kerja dalam organisasi juga mengalami pergeseran atau bahkan perubahan, baik bentuk maupun sistim nilai/norma-norma yang melingkupinya. Salahsatu norma yang mengalami revolusi adalah “kompetensi”, tanpa memperhatikan ras, warna, kepercayaan maupun asal-usulnya.

Pada kawasan industri berteknologi tinggi, di lingkungan akademis atau laboratorium penelitian dan pengembangan di seluruh dunia sekarang ini berpegawai para pakar workaholic berbagai disiplin ilmu pengetahuan dan teknologi dari beragam bangsa yang dipekerjakan berdasarkan kemampuan ilmiah, tanpa memperhatikan latar belakang budaya. Pada kondisi seperti ini, perusahaan, lingkungan akademis atau laboratorium yang bergerak dalam hitech business akan sanggup bertahan menjadi organisasi yang solid apabila mampu memadukan atau mengaplikasikan budaya organisasi yang sesuai dengan kondisi tersebut.
Kegagalan dalam memadukan budaya organisasi akan membawa konsekuensi pada menurunnya produktifitas kerja, yang tentu saja akan berpengaruh langsung terhadap kemapuan perusahaan untuk berkompetisi.

1. Memadukan Budaya Organisasi
Sebagaimana dikatakan oleh McManus dan Hergert dalam Surviving Mergers and Acquisitions, manakala merger, akuisisi atau joint venture dibentuk, maka dua atau lebih budaya organisasi yang berbeda harus digabungkan. Tidaklah efektif bila salahsatu pihak berusaha memaksakan budayanya sebagai budaya yang berlaku diperusahaan hasil penggabungan tersebut. Yang lebih produktif adalah mencari sinergi antara dan di antara sistim yang ada. Ini bukan merupakan perkara yang mudah, dalam aplikasinya diperlukan kelihaian manajerial budaya organisasi bagi para manajernya.

Keragaman antara berbagai departemen, divisi atau subsidiary yang selalu dijumpai pada MNC, menuntut para manajer untuk menguasai manajemen lintas budaya. Pada kenyataannya, setiap kali tim dikumpulkan, yang terdiri atas ilmu dan bidang keahlian yang berbeda akan membawa konsekuensi pada perbedaan pandangan maupun cara berfikirnya. Para insinyur berpikir secara berbeda dari petugas produksi atau keuangan, yang juga berbeda dengan pandangan orang pemasaran atau hubungan masyarakat. Setiap profesi atau keahlian khusus memiliki sub-budaya yang khas, kerap memecahkan masalah secara berbeda satu sama lain.

Bila kumpulan petugas ditingkatkan ke dalam tim atau satuan tugas (task force), tangtangan yang dihadapi manajemen bahkan semakin besar, karena kemudian berbagai budaya makro atau mikro turut mengambil bagian. Dengan demikian, manajer yang berpengalaman dalam komunikasi dan negoisasi lintas budaya lebih mungkin untuk berhasil.

2. Sinergi dalam Budaya Organisasi
Suatu tantangan penting bagi manajemen lintas budaya yang kerap diabaikan terjadi manakala dua atau lebih sistem dipadukan menjadi satu usaha. Di sektor publik, pengaturan kembali terjadi melalui perubahan dalam administrasi, kebijakan, dan anggaran. Kerap dijumpai seorang pemimpin yang baru dipilih atau studi yang diadakan pemerintah akan menganjurkan perampingan pelayanan publik dan mengurangi biaya dengan jalan menyatukan beberapa departemen yang ada menjadi super agensi yang baru.

Pada sektor partikelir, merger dapat terjadi karena pengambilalihan atau akuisisi oleh lembaga usaha lain, atau sekedar lewat pembentukan suatu joint venture dengan mitra lokal atau asing. Suatu konsorsium dapat dibentuk oleh beberapa perusahaan dalam suatu bidang untuk menciptakan suatu firma yang dimiliki oleh semua (misalnya kasus dimana beberapa pabrikan komputer menggabungkan sumber yang dimiliki untuk mendirikan usaha Riset and Development untuk mengembangkan super komputer). Mega proyek, seperti “super collider” atau terowongan terusan lintas batas akan jauh lebih mangkus dan sangkil bila didahului dengan pembentukan konsorsium yang menyatukan pemerintah, industri dan perguruan tinggi pada negara-negara yang terlibat di dalamnya.
Pada kasus-kasus demikian, setiap pihak tidak hanya membawa serta sejarah organisasional, manajemen maupun keahlian khasnya, tetapi juga budaya yang berbeda. Kerap terjadi dimana para eksekutif yang terlibat dalam usaha-usaha semacam itu hanya memusatkan perhatian pada tugas yang ada namun mengabaikan faktor-faktor tersebut sehingga merugikan diri sendiri.

Kondisi seperti itu tidak mungkin terjadi bila para manajernya memiliki kecakapan manajemen lintas budaya. Mereka akan selalu menyempatkan waktu untuk menganalisis dimensi budaya dari setiap perusahaan yang berperanserta didalamnya, kemudian mengembangkan strategi untuk menjamin keberhasilan pemanduan kekuatan dari masing-masing pihak.

Contoh populer keberhasilan dari pemanduan ini dilakukan dalam industri dirgantara Eropa, dengan penciptaan Airbus Industrie. Pada joint venture yang sinergis itu, lima pemerintahan dan perusahaan mereka berhasil memproduksi inovasi teknologi dalam pesawat terbang jet berbadan lebar yang sukses menembus pasar komersial.

3. Kedudukan Budaya dalam Organisasi MNC

Banyak faktor yang berkaitan dengan budaya yang semestinya dipahami oleh para manajer MNC. Faktor utama adalah bahasa (dalam konteks yang luas). Namun pada kenyataannya (dan mengherankan) adalah hanya ada sedikit upaya para expatriate untuk mempelajari bahasa setempat. Hal ini langsung berakibat pada terhambatnya komunikasi dengan tingkatan yang lebih rendah, terlebih bila sebagian besar anggota organisasi kurang menguasai bahasa Inggris. Bahasa dalam hal ini tidak hanya berarti penguasaan arti harafiah dan pelafalannya, lebih dari itu penguasaan bahasa juga mencakup pengasaan ekspresi dan filosofinya.

Kerap dijumpai di berbagai negara suatu budaya dimana hubungan keluarga dan kronisme sangat erat. Akibatnya banyak ditemukan kasus dimana para pemegang kunci dalam dunia bisnis adalah anggota keluarga atau memiliki hubungan “Ali-Baba” dengan para pemegang kunci pemerintahan. Pola nepotisme dan kronisme ini akan mempengaruhi keputusan-keputusan yang diambil dalam dunia bisnis. Padahal bila hubungan yang bersifat emosional antara dua pihak bersifat sanling mengontrol, akan membentuk suatu sistim lingkungan yang sama sekali berbeda. Suatu hal yang dianggap sebagai nepotisme oleh suatu lingkungan, mungkin merupakan seatu bentuk family loyalty oleh lingkungan lain.

Adalah sangat lumrah bila setiap komunitas mengklaim bahwa pola hidup mereka adalah yang terbaik. Expatriate yang tidak berusaha menyesuaikan diri pada umumnya akan mendapatkan respon negatif dan akan mengalami kesulitan dalam koordinasi. Padangan yang egosentris ini kemudian akan membentuk suatu perilaku yang stereotyping, dimana seseorang akan mudah mencurigai bahwa orang lain yang datang dari ras, negara atau budaya tertentu, pasti akan memiliki perilaku yang khas.

Aspek lain yang perlu diperhatikan adalah pola prioritas yang diberikan kepada kemampuan (ability, skill) dan pendidikan (formal education). Di banyak negara, kemampuan cenderung untuk lebih diperhatikan daripada pendidikan formal. Namun di beberapa negara, pendidikan formal memiliki arti yang sangat penting dan memiliki nilai tinggi. Seorang sarjana akan merasa mengalami degradasi bila ditempatkan pada posisi yang tidak sesuai dengan pendidikannya, meskipun sesuai dengan tingkat kemampuannya. Sehingga pada banyak kasus, MNC dari negara dengan budaya yang berbeda mengalami kesulitan dalam mengisi formasi personalianya.

Pandangan terhadap kedudukan sebagai profesional juga dapat berbeda antara satu budaya dengan budaya lain. Di satu budaya, adalah merupakan suatu kebanggaan apabila seseorang bekerja pada kantor pemerintah atau sebagai tentara, namun tidak memberikan nilai yang tinggi kepada manajer profesional, kecuali bila sebagai owner. Pandangan seperti itu akan berpengaruh atas kualutas individu yang bersedia menerima kedudukan tertentu dalam bisnis.

Dibidang pendidikan, dalam banyak komunitas, menjadi insinyur, lawyer atau dokter kerap menjadi pilihan utama. Sedangkan di komunitas lainnya sekolah bisnis menjadi pilihan pertama.
Aspek-aspek lain yang perlu diindahkan oleh eksekutif dan manajer MNC yaitu :
a) Model pendelegasian wewenang, pengambilan keputusan, disiplin dan pelimpahan tanggung jawab.
b) Komitmen individu terhadap sasaran dan tujuan organisasi.
c) Pola hubungan keluarga dan pekerjaan.
d) Pengaruh agama, keyakinan maupun kepercayaan.

4. Nilai-nilai Budaya

§ Tiga nilai budaya apa saja yang paling dihargai orang Amerika?

§ Tiga nilai budaya apa saja yang paling dihargai orang Jepang?

§ Mengapa ada perbedaan di antara kedua kebudayaan tersebut?

§ Mengapa banyak orang Arab memulai berinteraksi bisnis dengan menunjukan hubungan-hubungan dimasa lampau?

§ Mengapa manajer Jepang pada umumnya kerap menjawab permintaan Anda dengan berkata “ya, ya”?

Marilah mencermati situasi berikut agar kita dapat menunjukan perbedaan-perbedaan dalam nilai-nilai lintas budaya dan pengaruhnya dalam interaksi bisnis sehari-hari.
Scot Thomson, direktur pemasaran untuk firma berteknologi tinggi di California, mengadakan pertemuan antara dirinya, Tuan Noguchi dari Jepang dan Tuan Samir, manajer lokal perusahaan Jepang di Arab Saudi, untuk membicarakan strategi pemasaran baru untuk Global Telephone.

Dalam pertemuan itu, Tuan Thomson bertanya kepada Tuan Noguchi apakah dia setuju dengan jenis produk baru yang ia rancang di California. Tuan Noguchi menjawab : “Ya, jenis produk itu sangat menarik”. “Apakah itu berarti anda menyukainya?” tanya Tuan Thomson. Tuan Noguchi menjawab, sambil memandang para anggota timnya, “Saya harus membicarakannya dengan tim saya”. Sementara Tuan Thomson berusaha mendapatkan jawaban dari Tuan Noguchi, Tuan Samir memotong pembicaraan untuk menengahi konflik antara keduanya. Tuan Samir mengganti topik pembicaraan ke bagian pasar di masa depan dan mengusulkan agar Tuan Thomson dan Tuan Noguchi berkunjung ke Arab Saudi untuk meneliti pasar lebih lanjut.

Skenario itu merupakan benturan bisnis linas budaya yang terjadi di antara pihak-pihak yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda. Apa yang ada dalam “tas” budaya Tuan Thomson yang mempengaruhinya selama interaksi singkat itu : keselarasan kelompok, sikap langsung atau privasi? Pada kenyataannya, Tuan Thomson telah menerapkan nilai orientasi keterbukaan, langsung dan tindakan. Bagaimana halnya dengan Tuan Naoguchi? Mengapa ia enggan meberikan jawaban langsung kepada Tuan Thomson? Apa yang mempengaruhinya : senioritas, formalitas, reputasi atau konsensus kelompok? Keselarasan dan kesepakatan kelompok penting bagi Tuan Noguchi dan dengan demikian ia pantang memberi jawaban sebelum membicarakannya dengan tim Jepangnya. Mengapa Tuan Samir menyela dengan menyarankan untuk berkunjung ke negerinya? Apakah karena “tas” kebudayaannya menghargai persaingan, kompromi, ambil resiko atau keramahtamahan? Hubungan dan kompromi penting bagi Tuan Samir dan dengan demikian ia berusaha untuk menengahi situasi untuk menghindari kehilangan muka.

Pada umumnya, interaksi dalam hidup didasarkan pada beberapa parangkat nilai budaya yang dikembangkan sejak kecil. Perangkat nilai itu telah dikumpulkan, diberi ganjaran dan ditekankan oleh keluarga, komunitas, perusahaan dan bangsanya. Nilai-nilai itu berbeda dari satu negara ke negara lain, bahkan dalam satu negara, perusahaan, dan pada akhirnya tiap-tiap individu.

Marilah kita membahas hal-hal berikut :
– Apa yang paling dihargai oleh orang Amerika?
– Apa yang paling dihargai oleh orang Jepang?
– Apa yang paling dihargai oleh orang Malaisia?
– Apa yang paling dihargai oleh orang Cina?
– Apa yang paling dihargai oleh orang Arab?

Selama pelatihan pengembangan kecakapan manajemen lintas budaya bagi para manajer bisnis, kami minta kepada para peserta untuk mendaftar beberapa nilai penting dalam masyarakat mereka, dan nilai-nilai apa yang menurut mereka dihargai oleh masyarakat-masyarakat lain. Tabel berikut mendaftar beberapa jawaban yang kami peroleh dari kelompok Jepang dan Malaysia yang secara terpisah ditanya nilai-nilai apasaja yang dianggap penting oleh orang Jepang.

Keputusan kelompok

Sebagaimana terlihat pada tabel di atas, orang Jepang mempunyai gagasan-gagasan tertentu tentang apa yang mereka hargai, dan orang Malaysia menyebut beberapa nilai yang sama. Tetapi orang Malaysia juga menyebut beberapa nilai lain pada orang Jepang yang tidak ada dalam daftar yang disusun oleh orang Jepang.

Pada kondisi demikian pebisnis Jepang akan lebih banyak mengalami hambatan bila berhubungan dengan mitra dari Cina maupun Arab dibandingkan dengan bila berhubungan dengan mitra dari Amerika. Apalagi bila mereka menerapkan nilai-nilai budaya Amerika terhadap mitranya dari Cina maupun Arab. Sedangkan terhadap Arab, pandangannya hampir seluruhnya terbatas pada agama. Hal tersebut menunjukan sangat terbatasnya pemahaman mereka terhadap nilai-nilai budaya Arab.

5. Prioritas Nilai-nilai Budaya
Benar atau Salah
…. 1. Dalam interaksi sehari-hari, orang Amerika pada umumnya menyukai formalitas serta ritual.
…. 2. Mara manajer Jepang cenderung memberi ganjaran pada prestasi perorangan daripada kelompok.
…. 3. Agama mempunyai dampak dalam hampir segala-galanya dalam kebudayaan Arab.
…. 4. Banyak orang Cina suka menangani masalah dengan langsung dan terus terang.

Jawaban yang paling cocok adalah 1-S, 2-S, 3-B, 4-S.

Untuk menilai prioritas nilai-nilai budaya tersebut, di bawah ini tersedia 20 nilai yang banyak dimiliki oleh berbagai kebudayaan, tetapi prioritasnya berbeda di antara orang, kelompok atau bangsa tertentu. Nilai-nilai yang tercantum di bawah ini tidak disusun/diurutkan berdasarkan tingkat penting maupun prioritasnya.
a) Keselarasan Kelompok
b) Persaingan
c) Senioritas
d) Kerjasama
e) Privasi
f) Keterbukaan
g) Kesamaan
h) Formalitas
i) Ambil resiko
j) Reputasi
k) Kebebasan
l) Keamanan keluarga
m) Hubungan
n) Mengandalkan diri
o) Waktu
p) Kesepakatan kelompok
q) Otoritas
r) Harta milik
s) Penerangan rohani
t) Prestasi kelompok

Daftar tersebut disodorkan kepada peserta pelatihan bisnis dari berbagai ragam budaya untuk memilih nilai yang paling penting (atau paling tidak penting) dari daftar di atas. Tabel berikut menyajikan hasil yang diperoleh dari orang-orang Malaysia, Jepang dan Amerika, dengan nomor 1 menyatakan nilai yang paling penting hingga nomor 20 sebagai nilai yang paling tidak penting.

Tabel 3 : Prioritas Nilai-nilai Kebudayaan
Jepang Amerika Malaysia
1. Hubungan
2. Keselarasan
3. Keamanan keluarga
4. Kebebasan
5. Kerjasama
6. Kesapakatan kelompok
7. Prestasi kelompok
8. Privasi
9. Kesamaan
10. Formalitas
11. Spiritualitas
12. Persaingan
13. Senioritas
14. Harta milik
15. Mengandalkan diri
16. Otoritas
17. Waktu
18. Keterbukaan
19. Ambil resiko
20. Nama baik 1. Kesamaan
2. Kebebasan kelompok
3. Keterbukaan
4. Mengandalkan diri
5. Kerjasama
6. Keamanan keluarga
7. Hubungan
8. Privasi
9. Keselarasan kelompok
10. Niama baik
11. Waktu
12. Persaingan
13. Prestasi kelompok
14. Spiritualitas
15. Ambil resiko
16. Otoritas
17. Harta milik
18. Formalitas
19. Kesepakatan kelompok
20. Senioritas 1. Keamanan Keluarga
2. Keselarasan kelompok
3. Kerjasama
4. Hubungan
5. Spiritualitas
6. Kebebasan
7. Keterbukaan
8. Mengandalkan diri
9. Waktu
10. Nama baik
11. Prestasi kelompok
12. Kesamaan
13. Otoritas
14. Harta milik
15. Persaingan
16. Kesepakatan kelompok
17. Senioritas
18. Privasi
19. Formalitas
20. Ambil resiko

Pada kolom Amerika, tampak bahwa kesamaan, kebebasan, keterbukaan, keterandalan dan kerjasama mempunyai prioritas yang lebih tinggi dibandingkan dengan otoritas, formalitas, kesepakatan kelompok atau senioritas. Sementara untuk kelompok Jepang menunjukan bahwa mereka lebih menghargai hubungan, keselarasan kelompok dan keamanan keluarga daripada keterbukaan, nama baik atau pengambilan resiko. Sedangkan pada kolom Malaysia, keamanan, kerjasama, spiritualitas di atas kesepakatan, privasi atau pengambilan resiko.

Dalam konteks perbedaan prioritas tersebut, nilai kesamaan dan keterbukaan Amerika merupakan kunci kuat bagi kemungkinan terjadinya benturan budaya. Bila melakukan hubungan bisnis dengan mitra dari Jepang maupun Malaysia, eksekutif Amerika kerap terlihat canggung menghadapi nilai-nilai yang paling dihargai oleh mitra bisnisnya, terutama dalam hal keselarasan kelompok, kerjasama atau keeratan hubungan.
Selain pembedaan antar budaya, prioritas nilai-nilai budaya juga dapat diaplikasikan dalam perbandingan antar generasi, tabel berikut menunjukan perbedaan prioritas nilai di Jepang yang dilakukan pada tahun 1990 dengan pembedaan generasi angkatan baru (umur 25 sampai dengan 25 tahun) dibandingkan dengan generasi tradisional (mereka yang lebih tua).

Tabel 4 :
Prioritas Nilai-nilai Kebudayaan antar generasi di Jepang
Tradisional Angkatan Baru
1. Keselarasan kelompok
2. Prestasi kelompok
3. Kesepakatan kelompok
4. Hubungan
5. Senioritas
6. Keamanan keluarga
7. kerjasama 1. Kebebasan
2. Hubungan
3. Keamanan keluarga
4. Kesamaan
5. Mengandalkan diri
6. Privasi
7. Keselarasan kelompok

Tabel tersebut jelas menggambarkan adanya pergeseran pada prioritas nilai, dimana generasi angkatan baru lebih menghargai kebebasan, namun masih cukup menghargai nilai keselarasan kelompok, hubungan dan kemanan keluarga.

Peringkat prioritas nilai-nilai budaya menggambarkan stereotype dari masyarakat yang bersangkutan. Setiap indicvidu membawa “tas” budayanya sendiri, yang mencerminkan nilai-nilai bangsanya, kelompoknya dan pribadinya. Semakin dekat kita berinteraksi dengan individu dari beragam latar belakang kebudayaan, kita semakin mengetahui prioritas nilai-nilai budaya mereka.

Daftar Pustaka


Cattaneo J., 1989, International Management Research : Problems, Challenges, and Opportunities, NUS.
Desatnich R.L. and Benett M.J., The Multinational Enviroment, KUL Course Material.
Elhasmawi F. dan Harris P.R., 1993, Multicultural Management; New Skill for Global Success, Gulf Publishing Company, Houston, Texas.
Hodgetts and Luthans, 1994, International Management, 2nd Edition, International Edition, McGraw-Hill Inc., New York.
Huntington, S.P., 2000, Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia, Cet. 1, alih bahasa M. Sadat Ismail, Qalam, Jakarta.
Kelly L. and Northley R., 1981, The Role of Culture in Comprative Management : A Cross Cultural Prespective, Academy of Management Journal, vol. 24, no. 1.
Yun C.K., 1973, Role Conflict of Expatriate Managers, a Construct, Journal of International Business Studies, vol. 6.

Menumbuhkan Benih-Benih Budaya di Perusahaan



Oleh: Alex Denni

Tanamlah pikiran, engkau dapatkan tindakan; tanamlah tindakan, engkau dapatkan kebiasaan; tanamlah kebiasaan, engkau dapatkan karakter; dan tanamlah karakter, engkau dapatkan nasib.

Samuel Smiles

Betapa dalamnya makna yang terkandung dalam ungkapan yang disampaikan oleh Samuel Smiles, seorang dokter yang juga politikus Inggris, satu setengah abad yang lalu, dalam menggambarkan proses menumbuhkan benih-benih budaya. Prosesnya berjalan begitu sederhana, perlahan, dan terus-menerus mengalir seperti air. Meskipun demikian, perjalanan panjang tersebut akan berakhir pada pencapaian yang paling bermakna bagi siapa pun juga, yaitu “perubahan” pada nasib sendiri!

Apa yang dikatakan Samuel Smiles itu berpangkal dari pikiran dan berujung pada nasib. Jika kita tiba pada suatu keadaan atau nasib, dan kita bertanya mengapa kita tiba di sesuatu nasib, maka jawabannya adalah marilah kita telusuri kembali apa saja yang telah kita lakukan selama ini.

Nasib, berarti diperoleh dari karakter yang kita miliki. Mengapa kita memiliki karakter seperti ini, berarti itu adalah buah dari kebiasaan yang kita lakukan. Mengapa kita melakukan kebiasaan seperti yang kita lakukan, itu berarti buah dari pikiran yang kita pilih dan anut.

Kita dapat mengambil contoh konkret dari keadaan (atau nasib) sebuah perusahaan yang telah memasuki masa jenuh sebagai akibat lamanya fase kemapanan. Ciri-ciri perusahaan seperti ini adalah: produk yang dihasilkan adalah produk kelas premium, memiliki konsumen yang loyal, biaya operasional relatif tinggi, memiliki pertumbuhan yang positif, dan para karyawan yang loyal. Itu semua menandakan perusahaan kian “menua”.

Tanda-tanda lain adalah makin banyaknya pesaing baru yang sudah tidak bisa lagi dipandang enteng yang menggunakan inovasi teknologi dan informasi yang makin canggih, serta teknik pemasaran lawan bisnis yang tidak bisa lagi dipandang sebelah mata. Akibat dari ini adalah cara-cara lama yang sudah dilakukan perusahaan dengan sukses kini sudah menjadi usang.

Pikiran-pikiran lalu mengisi benak manajemen. Adakah sesuatu yang salah dengan perusahaan ini? Hal-hal apa yang kira-kira tidak berjalan dengan baik? Bukankah kita dulunya adalah perusahaan terbaik, dan sukar dicarikan tandingannya?

Rasa gamang ini kemudian dijawab oleh manajemen untuk menggawangi programRevitalisasi Budaya Perusahaan”. Melalui media komunikasi yang tersedia di perusahaan, dipilihlah tema-tema kecil revitalisasi budaya perusahaan agar seluruh jajaran perusahaan dapat memahami dan dapat menerima (buy in) ide dari manajemen ini.

Langkah-langkah yang dilakukan oleh perusahaan ini bisa diibaratkan sebagai suatu langkah permulaan sebagaimana disebut oleh Samuel Smiles di atas, yaitu pikiran. Pasalnya, dalam menciptakan perubahan-perubahan harus selalu dimulai dari dalam (diri). Dan, di dalam memulainya berupa sebentuk niat/pikiran baik untuk “berubah”. Pikiran-pikiran baik yang mulai terbina kemudian dipupuk terus hingga menjadi sebuah “tindakan”. Tindakan yang mestinya juga baik karena dimotori oleh niat yang baik.

Perusahaan kemudian memilih siapa-siapa yang dapat direkrut menjadi “agen perubahan” bagi budaya perusahaan. Agen-agen ini akan menyuarakan “tema-tema” dari revitalisasi budaya perusahaan dalam bentuk contoh-contoh nyata sikap/tindakan, pada divisi di mana agen-agen tersebut ditempatkan. Peran agen perubahan ini sangat penting bagi proses menumbuhkan sikap dan tindakan yang menjadi benih-benih budaya perusahaan. Mereka adalah tokoh-tokoh sentral penggerak dan penentu berhasil-tidaknya proses ini.

Awalnya, penempatan agen tersebut akan tidak mudah karena menimbulkan kecurigaan (terhadap kapasitas, tugas, dan kewajiban agen tersebut) dan ketidakpastian (bagi masa depan karyawan dan hasil yang diinginkan oleh manajemen). Hal ini dapat dimaklumi karena ini adalah konsekuensi dari adanya “perubahan”.

Hari demi hari berganti, agen-agen tersebut tanpa kenal lelah mempromosikan hal-hal atau sikap dan tindakan baru bagi perusahaan. Mereka mendatangi karyawan hingga ke bagian/unit terkecil, mengajak para karyawan untuk berdialog, bertukar pikiran, memperlihatkan kebiasaan mana yang harus tetap dipelihara (kebiasaan baik) dan kebiasaan apa yang harus segera ditinggalkan oleh jajaran karyawan (kebiasaan buruk). Meskipun pada awalnya sangat sulit, karena harus meninggalkan kebiasaan lama, tetapi perbaikan akan dapat dirasakan meskipun sedikit.

Masing-masing agen bersama manajemen tidak kenal lelah untuk terus meyakinkan bahwa perubahan akan menimbulkan perbaikan bagi perusahaan, dan hal ini memang membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Di sisi lain, manajemen mulai membenahi subsistem manajemen SDM yang menjadi sumber permasalahan di perusahaan. Pasalnya, sebaik apa pun budaya yang diterapkan di dalam perusahaan, tidak akan berhasil baik tanpa adanya sistem yang menjamin keberlangsungan budaya perusahaan. Perbaikan dan pembenahan “Sistem Remunerasi Perusahaan” menjadi pilihan manajemen perusahaan ini.

Inilah langkah-langkah akhir mendekati matangnya budaya perusahaan: Perusahaan telah menumbuhkan dan memelihara kebiasaan-kebiasaan yang baik. Jajaran perusahaan tanpa ragu-ragu lagi menjalankan nilai-nilai perusahaan, serta tidak lupa saling mengingatkan teman-teman/rekanannya untuk tetap konsisten. Agen-agen yang telah direkrut pun tumbuh makin banyak. Bahkan, tanpa diminta, mereka merekrut lebih banyak lagi agen baru. Kebiasaan-kebiasaan baik telah terpupuk dan terpelihara dengan baik hingga menjadi nilai-nilai yang berakar kuat; dan menjadi karakter yang mudah sekali ditemui/dikenali bilamana kita bertegur sapa dengan karyawan perusahaan tersebut. Tentu saja hal ini tidak terlepas dari kerja keras para agen, manajemen, dan karyawan yang ingin berubah.

Dengan kebiasaan dan karakter semua insan di dalamnya, dengan segala sesuatunya sudah baik, dengan rantai yang rusak/hilang telah diperbaiki, maka para penerus perusahaan dibekali atau diwarisi budaya yang solid serta karakter yang kuat. Sebab, hal itulah yang merupakan semangat yang menumbuhkan dan menggerakkan perusahaan. Perusahaan pun dapat berharap memiliki karakter organisasi yang diinginkan. Dan, dengan itu, maka hanya persoalan waktu sajalah nasib baik datang kepada mereka.

Kembali, kata-kata Samuel Smiles menutup perjumpaan kita ini:Sow a thought, reap an action; sow an action, reap a habit; sow a habit, reap a character; and sow a character, reap a destiny”.

Penulis adalah Associate Partner Dunamis Organization Services.

Sumber : http://www.wartaekonomi.com

Budaya Organisasi (1)


Pendahuluan

Sebagian para ahli seperti Stephen P. Robbins, Gary Dessler (1992) dalam bukunya yang berjudul “Organizational Theory” (1990), memasukan budaya organisasi kedalam teori organisasi. Sementara Budaya perusahaan merupakan aplikasi dari budaya organisasi dan apabila diterapkan dilingkungan manajemen akan melahirkan budaya manajemen. Budaya organisasi dengan budaya perusahan sering disalingtukarkan sehingga terkadang dianggap sama, padahal berbeda dalam penerapannya.

Kita tinjau Pengertian budaya itu sendiri menurut : “The International Encyclopedia of the Social Science” (1972) dpat dilihat menurut dua pendekatan yaitu pendekatan proses (process-pattern theory, culture pattern as basic) didukung oleh Franz Boas (1858-1942) dan Alfred Louis Kroeber (1876-1960). Bisa juga melalui pendekatan structural-fungsional (structural-functional theory, social structure as abasic) yang dikembangkan oleh Bonislaw Mallllinowski (1884-1942) dan Radclife-Brown yang kemudians dari dua pendekatan itu Edward Burnett Tylor (1832-1917 secara luas mendefinisikan budaya sebagai :”…culture or civilization, taken in its wide ethnographic ense, is that complex whole wich includes knowledge,belief, art, morals, law, custom and any other capabilities and habits acquired by man as a memmmber of society atau Budaya juga dapat diartikan sebagai : “Seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan miliknya melalui proses belajar(Koentjaraningrat, 2001: 72 ) sesuai dengan kekhasan etnik, profesi dan kedaerahan”(Danim, 2003:148).

Akan tetapi dalam kehidupan sehari-hari kita lebih memahami budaya dari sudut sosiologi dan ilmu budaya, padahal ternyata ilmu budaya bisa mempengaruhi terhadap perkembangan ilmu lainnya seperti ilmu Manajemen Sumber Daya Manusia (SDM). Sehingga ada beberapa istilah lain dari istilah budaya seperti budaya organisasi (organization culture) atau budaya kerja (work culture) ataupun biasa lebih dikenal lebih spesifik lagi dengan istilah budaya perusahaan (corporate culture). Sedangkan dalam dunia pendidikan dikenal dengan istilah kultur pembelajaran sekolah (school learning culture) atau Kultur akademis (Academic culture)

Dalam dunia pendidikan mengistilahkan budaya organisasi dengan istilah Kultur akademis yang pada intinya mengatur para pendidik agar mereka memahami bagaimana seharusnya bersikap terhadap profesinya, beradaptasi terhadap rekan kerja dan lingkungan kerjanya serta berlaku reaktif terhadap kebijakan pimpinannya, sehingga terbentuklah sebuah sistem nilai, kebiasaan (habits), citra akademis, ethos kerja yang terinternalisasikan dalam kehidupannya sehingga mendorong adanya apresiasi dirinya terhadap peningkatan prestasi kerja baik terbentuk oleh lingkungan organisasi itu sendiri maupun dikuatkan secara organisatoris oleh pimpinan akademis yang mengeluarkan sebuah kebijakan yang diterima ketika seseorang masuk organisasi tersebut.

Fungsi pimpinan sebagai pembentuk Kultur akademis diungkapkan oleh Peter, Dobin dan Johnson (1996) bahwa :

Para pimpinan sekolah khususnya dalam kapasitasnya menjalankan fungsinya sangat berperan penting dalam dua hal yaitu : a). Mengkonsepsitualisasikan visi dan perubahan dan b). Memiliki pengetahuan, keterampilan dan pemahaman untuk mengtransformasikan visi menjadi etos dan kultur akademis kedalam aksi riil (Danim, Ibid., P.74).

Jadi terbentuknya Kultur akademis bisa dicapai melalui proses tranformasi dan perubahan tersebut sebagai metamorfosis institusi akademis menuju kultur akademis yang ideal. Budaya itu sendiri masuk dan terbentuk dalam pribadi seorang dosen itu melalui adanya adaptasi dengan lingkungan, pembiasaan tatanan yang sudah ada dalam etika pendidikan ataupun dengan membawa sistem nilai sebelumnya yang kemudian masuk dan diterima oleh institusi tersebut yang akhirnya terbentuklah sebuah budaya akademis dalam sebuah organisasi.

Pola pembiasaan dalam sebuah budaya sebagai sebuah nilai yang diakuinya bisa membentuk sebuah pola prilaku dalam hal ini Ferdinand Tonnies membagi kebiasaan kedalam beberapa pengertian antara lain :

a) Kebiasaan sebagai suatu kenyataan objektif sehari-hari yang merupakan sebuah kelajiman baik dalam sikap maupun dalam penampilan sehari-hari. Seorang pendidik sebagai profesionalis biasa berpenampilan rapi, berdasi dan berkemeja dan bersikap formal, sangat lain dengan melihat penampilan dosen institut seni yang melawan patokan formal yang berlaku didunia pendidikan dengan berpakaian kaos dan berambut panjang.

b) Kebiasaan sebagai Kaidah yang diciptakan dirinya sendiri yaitu kebiasaan yang lahir dari diri pendidik itu sendiri yang kemudian menjadi ciri khas yang membedakan dengan yang lainnya.

c) Kebiasaan sebagai perwujudan kemauan untuk berbuat sesuatu yaitu kebiasaan yang lahir dari motivasi dan inisatif yang mencerminkan adanya prestasi pribadi.

( Soekanto, loc.cit, P. 174)

Pengertian budaya yang penulis teliti lebih banyak berhubungan dengan kepribadian dan sikap dosen dalam menyikapi pekerjaannya (profesionality), rekan kerjanya, kepemimpinan dan peningkatan karakter internal (maturity character) terhadap lembaganya baik dilihat dari sudut psikologis maupun sudut biologis seseorang. Dimana budaya akademis secara aplikatif dapat dilihat ketika para anggota civitas akademika sudah mempraktikan seluruh nilai dan sistem yang berlaku di perguruan tinggi dalam pribadinya secara konsisten.

Budaya dan kepribadian

Oleh karena budaya secara individu itu berkorelasi dengan kepribadian, sehingga budaya berhubungan dengan pola prilaku seseorang ketika berhadapan dengan sebuah masalah hidup dan sikap terhadap pekerjaanya. Didalamnya ada sikap reaktif seorang pendidik terhadap perubahan kebijakan pemerintah dalam otonomi kampus sebagaimana yang terjadi, dimana dengan adanya komersialisasi kampus bisakah berpengaruh terhadap perubahan kultur akademis penididik dalam sehari-harinya.

Dilihat dari unsur perbedaan budaya juga menyangkut ciri khas yang membedakan antara individu yang satu dengan individu yang lain ataupun yang membedakaan antara profesi yang satu dengan profesi yang lain. Seperti perbedaan budaya seorang dokter dengan seorang dosen, seorang akuntan dengan seorang spesialis, seorang professional dengan seorang amatiran.

Ciri khas ini bisa diambil dari hasil internalisasi individu dalam organisasi ataupun juga sebagai hasil adopsi dari organisasi yang mempengaruhi pencitraan sehingga dianggap sebagai kultur sendiri yang ternyata pengertiannya masih relatif dan bersifat abstrak. Kita lihat pengertian budaya yang diungkapkan oleh Prof. Dr. Soerjono Soekanto mendefinisikan budaya sebagai : “Sebuah system nilai yang dianut seseorang pendukung budaya tersebut yang mencakup konsepsi abstrak tentang baik dan buruk. atau secara institusi nilai yang dianut oleh suatu organisasi yang diadopsi dari organisasi lain baik melalui reinventing maupun re-organizing”(Ibid, Soerjono Soekanto, P. 174)

Budaya juga tercipta karena adanya adopsi dari organisasi lainnya baik nilai, jargon, visi dan misi maupun pola hidup dan citra organisasi yang dimanefestasikan oleh anggotanya. Seorang pendidik sebagai pelaku organisasi jelas berperan sangat penting dalam pencitraan kampus jauh lebih cepat karena secara langsung berhadapan dengan mahasiswa yang bertindak sebagai promotor pencitraan di masyarakat sementara nilai pencitraan sebuah organisasi diambil melalui adanya pembaharuan maupun pola reduksi langsung dari organisasi sejenis yang berpengaruh dalam dunia pendidikan.

Sebuah nilai budaya yang merupakan sebuah sistem bisa menjadi sebuah asumsi dasar sebuah organisasi untuk bergerak didalam meningkatkan sebuah kinerjanya yang salah satunya terbentuknya budaya yang kuat yang bisa mempengaruhi. McKenna dan Beech berpendapat bahwa : „Budaya yang kuat mendasari aspek kunci pelaksaan fungsi organisasi dalam hal efisiensi, inovasi, kualitas serta mendukung reaksi yang tepat untuk membiasakan mereka terhadap kejadian-kejadian, karena etos yang berlaku mengakomodasikan ketahanan“( McKenna, etal, Terj. Toto Budi Santoso , 2002: 19)

Sedang menurut Talizuduhu Ndraha mengungkapkan bahwa “Budaya kuat juga bisa dimaknakan sebagai budaya yang dipegang secara intensif, secara luas dianut dan semakin jelas disosialisasikan dan diwariskan dan berpengaruh terhadap lingkungan dan prilaku manusia”( Ndraha, 2003:123).

Budaya yang kuat akan mendukung terciptanya sebuah prestasi yang positif bagi anggotanya dalam hal ini budaya yang diinternalisasikan pihak pimpinan akan berpengaruh terhadap sistem prilaku para pendidik dan staf dibawahnya baik didalam organisasi maupun diluar organisasi.

Sekali lagi kalau Budaya hanya sebuah asumsi penting yang terkadang jarang diungkapkan secara resmi tetapi sudah teradopsi dari masukan internal anggota organisasi lainnya. Vijay Sathe mendefinisikan budaya sebagai “The sets of important assumption (opten unstated) that member of a community share in common” ( Sathe, 1985: 18) Begitu juga budaya sebagai sebuah asumsi dasar dalam pembentukan karakter individu baik dalam beradaptasi keluar maupun berintegrasi kedalam organisasi lebih luas diungkapkan oleh Edgar H. Schein bahwa budaya bisa didefinisikan sebagai :

A pattern of share basic assumption that the group learner as it solved its problems of external adaptation anda internal integration, that has worked well enough to be considered valid and therefore, to be taught to new members as the correct way to perceive, think and feel in relation to these problems”.
( Schein
, 1992:16)

Secara lengkap Budaya bisa merupakan nilai, konsep, kebiasaan, perasaan yang diambil dari asumsi dasar sebuah organiasasi yang kemudian diinternalisasikan oleh anggotanya. Bisa berupa prilaku langsung apabila menghadapi permasalahan maupun berupa karakter khas yang merupakan sebuah citra akademik yang bisa mendukung rasa bangga terhadap profesi dirinya sebagai dosen, perasaan memiliki dan ikut menerapkan seluruh kebijakan pimpinan dalam pola komunikasi dengan lingkungannya internal dan eksternal belajar. Lingkungan pembelajaran itu sendiri mendukung terhadap pencitraan diluar organisasi, sehingga dapat terlihat sebuah budaya akan mempengaruhi terhadap maju mundurnya sebuah organisasi. Seorang professional yang berkarakter dan kuat kulturnya akan meningkatkan kinerjanya dalam organisasi dan secara sekaligus meningkatkan citra dirinya.

Budaya Organisasi (2)


Organisasi dan budaya

Membahas budaya, jelas tidak bisa lepas dari pengertian organisasi itu sendiri dan dapat kita lihat beberapa pendapat tentang organisasi yang salah satunya diungkapkan Stephen P. Robbins yang mendefinisikan organisasi sebagai “…A consciously coordinated social entity, with a relatively identifiable boundary that function or relatively continous basis to achieve a common goal or set of goal”. ( Robbins, 1990: 4) Sedangkan Waren B. Brown dan Dennis J. Moberg mendefinisikan organisasi sebagai “…. A relatively permanent social entities characterized by goal oriented behavior, specialization and structure”(Brown,etal,1980:6) Begitu juga pendapat dari Chester I. Bernard dari kutipan Etzioni dimana organisasi diartikan sebagai “Cooperation of two or more persons, a system of conciously coordinated personell activities or forces”( Etzioni, 1961:14.)

Sehingga organisasi diatas pada dasarnya apabila dilihat dari bentuknya, organisasi merupakan sebuah masukan (input) dan luaran (output) serta bisa juga dilihat sebagai living organism yang memiliki tubuh dan kepribadian, sehingga terkadang sebuah organisasi bisa dalam kondisi sakit (when an organization gets sick). Sehingga organisasi dianggap Sebagai suatu output (luaran) memiliki sebuah struktur (aspek anatomic), pola kehidupan (aspek fisiologis) dan system budaya (aspek kultur) yang berlaku dan ditaati oleh anggotanya.

Dari pengertian Organisasi sebagai output (luaran) inilah melahirkan istilah budaya organisasi atau budaya kerja ataupun lebih dikenal didunia pendidikan sebagai budaya akademis. Untuk lebih menyesuaikan dengan spesifikasi penelitian penulis mengistilahkan budaya organisasi dengan istilah budaya akademis.

Menurut Umar Nimran mendefinisikan budaya organisasi sebagai “Suatu sistem makna yang dimiliki bersama oleh suatu organisasi yang membedakannya dengan organisasi lain”(Umar Nimran, 1996: 11)

Sedangkan Griffin dan Ebbert (Ibid, 1996:11) dari kutipan Umar Nimran Budaya organisasi atau bisa diartikan sebagai “Pengalaman, sejarah, keyakinan dan norma-norma bersama yang menjadi ciri perusahaan/organisasi Sementara Taliziduhu Ndraha Mengartikan Budaya organisasi sebagai “Potret atau rekaman hasil proses budaya yang berlangsung dalam suatu organisasi atau perusahaan pada saat ini”( op.cit , Ndraha, P. 102) Lebih luas lagi definisi yang diungkapkan oleh Piti Sithi-Amnuai (1989) dalam bukunya “How to built a corporate culture mengartikan budaya organisasi sebagai :

A set of basic assumption and beliefs that are shared by members of an organization, being developed as they learn to cope with problems of external adaptation and internal integration.( Pithi Amnuai dari kutipan Ndraha, p.102)

(Seperangkat asumsi dan keyakinan dasar yang dterima anggota dari sebuah organisasi yang dikembangkan melalui proses belajar dari masalah penyesuaian dari luar dan integarasi dari dalam)

Hal yang sama diungkapkan oleh Edgar H. Schein (1992) dalam bukunya “Organizational Culture and Leadershif” mangartikan budaya organisasi lebih luas sebagai :

“ …A patern of shared basic assumptions that the group learned as it solved its problems of external adaptation and internal integration, that has worked well enough to be considered valid and, therefore, to be taught to new members as the correct way to perceive, think and feel in relation to these problems.( loc.cit, Schein, P.16)

(“… Suatu pola sumsi dasar yang ditemukan, digali dan dikembangkan oleh sekelompok orang sebagai pengalaman memecahkan permasalahan, penyesuaian terhadap faktor ekstern maupun integrasi intern yang berjalan dengan penuh makna, sehingga perlu untuk diajarkan kepada para anggota baru agar mereka mempunyai persepsi, pemikiran maupun perasaan yang tepat dalam mengahdapi problema organisasi tersebut).

Sedangkan menurut Moorhead dan Griffin (1992) budaya organisasi diartikan sebagai :

Seperangkat nilai yang diterima selalu benar, yang membantu seseorang dalam organisasi untuk memahami tindakan-tindakan mana yang dapat diterima dan tindakan mana yang tidak dapat diterima dan nilai-nilai tersebut dikomunikasikan melalui cerita dan cara-cara simbolis lainnya(McKenna,etal, op.cit P.63).

Amnuai (1989) membatasi pengertian budaya organisasi sebagai pola asumsi dasar dan keyakinan yang dianut oleh anggota sebuah organisasi dari hasil proses belajar adaptasi terhadap permasalahan ekternal dan integrasi permasalahan internal.

Organisasi memiliki kultur melalui proses belajar, pewarisan, hasil adaptasi dan pembuktian terhadap nilai yang dianut atau diistilahkan Schein (1992) dengan considered valid yaitu nilai yang terbukti manfaatnya. selain itu juga bisa melalui sikap kepemimpinan sebagai teaching by example atau menurut Amnuai (1989) sebagai “through the leader him or herself yaitu pendirian, sikap dan prilaku nyata bukan sekedar ucapan, pesona ataupun kharisma.

Dari pengertian diatas bisa disimpulkan bahwa budaya organisasi diartikan sebagai kristalisasi dari nilai-nilai serta merupakan kepercayaan maupun harapan bersama para anggota organisasi dalam hal ini dosen di STIMIK Bani Saleh yang diajarkan dari generasi yang satu kegenerasi yang lain dimana didalamnya ada perumusan norma yang disepakati para anggota organisasi, mempunyai asumsi, persepsi atau pandangan yang sama dalam menghadapi berbagai permasalahan dalam organisasi.


Hal-hal yang mempengaruhi budaya organisasi

Menurut Piti Sithi-Amnuai bahwa : “being developed as they learn to cope with problems of external adaptation anda internal integration (Pembentukan budaya organisasi terjadi tatkala anggota organisasi belajar menghadapi masalah, baik masalah-masalah yang menyangkut perubahan eksternal maupun masalah internal yang menyangkut persatuan dan keutuhan organisasi).( Opcit Ndraha, P.76).

Pembentukan budaya akademisi dalam organisasi diawali oleh para pendiri (founder) institusi melalui tahapan-tahapan sebagai berikut :

1. Seseorang mempunyai gagasan untuk mendirikan organisasi.

2. Ia menggali dan mengarahkan sumber-sumber baik orang yang sepaham dan setujuan dengan dia (SDM), biaya dan teknologi.

3. Mereka meletakan dasar organisasi berupa susunan organisasi dan tata kerja.

Menurut Vijay Sathe dengan melihat asumsi dasar yang diterapkan dalam suatu organisasi yang membagi “Sharing Assumption”( loc.cit Vijay Sathe, p. 18) Sharing berarti berbagi nilai yang sama atau nilai yang sama dianut oleh sebanyak mungkin warga organisasi. Asumsi nilai yang berlaku sama ini dianggap sebagai faktor-faktor yang membentuk budaya organisasi yang dapat dibagi menjadi :

a). Share thing, misalnya pakaian seragam seperti pakaian Korpri untuk PNS, batik PGRI yang menjadi ciri khas organisasi tersebut.

b). Share saying, misalnya ungkapan-ungkapan bersayap, ungkapan slogan, pemeo seprti didunia pendidikan terdapat istilah Tut wuri handayani, Baldatun thoyibatun wa robbun ghoffur diperguruan muhammadiyah.

c). Share doing, misalnya pertemuan, kerja bakti, kegiatan sosial sebagai bentuk aktifitas rutin yang menjadi ciri khas suatu organisasi seperti istilah mapalus di Sulawesi, nguopin di Bali.

d). Share feeling, turut bela sungkawa, aniversary, ucapan selamat, acara wisuda mahasiswa dan lain sebagainya.


Sedangkan menurut pendapat dari Dr. Bennet Silalahi bahwa budaya organisasi harus diarahkan pada penciptaan nilai (Values) yang pada intinya faktor yang terkandung dalam budaya organisasi.( Silalahi,2004:8) harus mencakup faktor-faktor antara lain : Keyakinan, Nilai, Norma, Gaya, Kredo dan Keyakinan terhadap kemampuan pekerja

Untuk mewujudkan tertanamnya budaya organisasi tersebut harus didahului oleh adanya integrasi atau kesatuan pandangan barulah pendekatan manajerial (Bennet, loc.cit, p.43)

bisa dilaksanakan antara lain berupa :

a) Menciptakan bahasa yang sama dan warna konsep yang muncul.

b) Menentukan batas-batas antar kelompok.

c) Distribusi wewenang dan status.

d) Mengembangkan syariat, tharekat dan ma’rifat yang mendukung norma kebersamaan.

e) Menentukan imbalan dan ganjaran

f) Menjelaskan perbedaan agama dan ideologi.


Selain share assumption dari Sathe, faktor value dan integrasi dari Bennet ada beberapa faktor pembentuk budaya organisasi lainnya dari hasil penelitian David Drennan selama sepuluh tahun telah ditemukan dua belas faktor pembentuk budaya organisasi /perusahaan/budaya kerja/budaya akdemis ( Republika, 27 Juli 1994:8) yaitu :

1) Pengaruh dari pimpinan /pihak yayasan yang dominan

2) Sejarah dan tradisi organisasi yang cukup lama.

3) Teknologi, produksi dan jasa

4) Industri dan kompetisinya/ persaingan antar perguruan tinggi.

5) Pelanggan/stakehoulder akademis

6) Harapan perusahaan/organisasi

7) Sistem informasi dan kontrol

8) Peraturan dan lingkungan perusahaan

9) Prosedur dan kebijakan

10) Sistem imbalan dan pengukuran

11) Organisasi dan sumber daya

12) Tujuan, nilai dan motto.


Budaya dengan profesionalisme

Dalam perkembangan berikutnya dapat kita lihat ada keterkaitan antara budaya dengan disain organisasi atau hubungan budaya dengan keberhasilan suatu perguruan tinggi sesuai dengan design culture yang akan diterapkan. Untuk memahami disain organisasi tersebut, Harrison ( McKenna, etal, 2002: 65) membagi empat tipe budaya organisasi :

1. Budaya kekuasaan (Power culture).

Budaya ini lebih mempokuskan sejumlah kecil pimpinan menggunakan kekuasaan yang lebih banyak dalam cara memerintah. Budaya kekuasaan juga dibutuhkan dengan syarat mengikuti esepsi dan keinginan anggota suatu organisasi.

Seorang dosen, seorang guru dan seorang karyawan butuh adanya peraturan dan pemimpin yang tegas dan benar dalam menetapkan seluruh perintah dan kebijakannya. Kerena hal ini menyangkut kepercayaan dan sikap mental tegas untuk memajukan institusi organisasi. Kelajiman diinstitusi pendidikan yang masih meenganut manajemen keluarga, peranan pemilik institusi begitu dominan dalam pengendalian sebuah kebijakan institusi akademis, terkadang melupakan nilai profesionalisme yang justru hal inilah salah satu penyebab jatuh dan mundurnya sebuah perguruan tinggi.

2. Budaya peran (Role culture)

Budaya ini ada kaitannya dengan prosedur birokratis, seperti peraturan organisasi dan peran/jabatan/posisi spesifik yang jelas karena diyakini bahwa hal ini akan mengastabilkan sistem. Keyakinan dan asumsi dasar tentang kejelasan status/posisi/peranan yang jelas inilah akan mendorong terbentuknya budaya positif yang jelas akan membantu mengstabilkan suatu organisasi. Bagi seorang dosen tetap jauh lebih cepat menerima seluruh kebijakan akademis daripada dosen terbang yang hanya sewaktu-waktu hadir sesuai dengan jadwal perkuliahan. Hampir semua orang menginginkan suatu peranan dan status yang jelas dalam organisasi.

Bentuk budaya ini kalau diterapkan dalam budaya akademis dapat dilihat dari sejauhmana peran dosen dalam merancang, merencanakan dan memberikan masukan (input) terhadap pembentukan suatu nilai budaya kerja tanpa adanya birokarasi dari pihak pimpinan. Jelas masukan dari bawah lebih independen dan dapat diterima karena sudah menyangkut masalah personal dan bisa didukung oleh berbagai pihak melalui adanya perjanjian psikologis antara pimpinan dengan dosen yang dibawahnya. Budaya peran yang diberdayakan secara jelas juga akan membentuk terciptanya profesionalisme kerja seorang dosen dan rasa memiliki yang kuat terhadap peran sosialnya di kampus serta aktifitasnya diluar keegiatan akademis dan kegiatan penelitian.

3. Budaya pendukung (Support culture)

Budaya dimana didalamnya ada kelompok atau komunitas yang mendukung seseorang yang mengusahakan terjadinya integrasi dan seperangkat nilai bersama dalam organisasi tersebut. Selain budaya peran dalam menginternalisasikan suatu budaya perlu adanya budaya pendukung yang disesuaikan dengan kredo dan keyakinan anggota dibawah. Budaya pendukung telah ditentukan oleh pihak pimpinan ketika organisasi/institusi tersebut didirikan oleh pendirinya yang dituangkan dalam visi dan misi organisasi tersebut. Jelas didalamnya ada keselaran antara struktur, strategi dan budaya itu sendiri. Dan suatu waktu bisa terjadi adanya perubahan dengan menanamkan budaya untuk belajar terus menerus (longlife education)

4. Budaya prestasi (Achievement culture)

Budaya yang didasarkan pada dorongan individu dalam organisasi dalam suasana yang mendorong eksepsi diri dan usaha keras untuk adanya independensi dan tekananya ada pada keberhasilan dan prestasi kerja. Budaya ini sudah berlaku dikalangan akademisi tentang independensi dalam pengajaran, penelitian dan pengabdian serta dengan pemberlakuan otonomi kampus yang lebih menekankan terciptanya tenaga akademisi yang profesional, mandiri dan berprestasi dalam melaksanakan tugasnya.

Dari empat tipe budaya diatas cukup mengena dalam kaitannya dengan pengaruh budaya terhadap kinerja seorang dosen dapat dilihat dari budaya prestasi atau lebih tepat sebagai bentuk profesionalisme seorang dosen dalam perannya, dimana Handi (1985) menyebutnya dengan istilah budaya pribadi (person culture)

Istilah profesionalisme dalam dunia kependidikan bukanlah hal yang baru. Penulis beranggapan bahwa profesionalisme itulah sebagian dari apilikasi budaya organisasi secara person culture dalam hal ini dapat dilihat dari karakter dosen dalam mengaplikasikan budaya akademis yang sudah disampaikan oleh pihak institusi kampus.

Dalam rangka peningkatan culture akademis dan profesionalisme kerja perlu adanya pengelolaan dosen (Sufyarma, 2004:.183). antara lain :

a) Meningkatkan kualitas komitmen dosen terhadap pengembangan ilmu yang sejalan dengan tugas pendidikan dan pengabdian pada masyarakat.

b) Menumbuhkan budaya akademik yang kondusif untuk meningkatkan aktifitas intelektual.

c) Mengusahakan pendidikan lanjut dan program pengembangan lain yang sesuai dengan prioritas program studi.

d) Menata ulang penempatan dosen yang sesuai dengan keahlian yang dimilikinya agar profesionalisme dan efisiensi dapat ditingkatkan.

e) Melakukan pemutakhiran pengetahuan dosen secara terus menerus dan berkesinambungan.

Sehingga perguruan tinggi harus dikelola dengan professional memiliki dua faktor sebagai bentuk penerapan budaya akademis yang kuat yaitu :

1. Profesional personal.

Adapun profesional personal ini memiliki karakteristik antara lain :

a) Bangga atas pekerjaannya sebagai dosen dengan komitmen pribadi yang kuat atas kreatifitas.

b) Memiliki tanggungjawab yang besar, antisipatif dan penuh inisatif.

c) Ingin selalu mengerjakan pekerjaan dengan tuntas dan ikut terlibat dalam berbagai tugas diluar yang ditugaskan kepadanya.

d) Ingin terus belajar untuk meningkatkan kemampuan kerja dan kemampuan melayani.

e) Mendengarkan kebutuhan mahasiswa dan dapat bekerja denga baik dalam tim.

f) Dapat dipercaya, jujur, terus terang dan loyal.

g) Terbuka terhadap kritik yang bersifat konstruktif serta siap untuk meningkatkan dan menyempurnakan dirinya.

2. Professional institusional.

Adapun karakteristik profesional institusional dapat dilihat dalam karakteristik sebagai berikut :

a) Perkuliahan berjalan lancar, dinamis dan dialogis.

b) Masa studi mahasiswa tidak lama dan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan dan memperoleh indeks prestasi yang tinggi.

c) Minat masyarakat yang memasuki perguruan tuinggi adalah besar, karena perguruan tinggi yang bersangkutan adalah legitimate dan credible.

d) Memiliki staf pengajar yang telah lulus studi lanjut (S2 dan S3) dan

e) Aktif dalam Pertemuan ilmiah serta produktif dalam karya ilmiah.

f) Pengelolaan perguruan tinggi yang memiliki visi yang jauh kedepan, otonom, fleksible serta birokrasi yang singkat dan jelas.

g) Program perguruan tinggi, baik akademik maupun administratif harus disusun secara sistematis, sistemik dan berkelanjutan.

h) Kampus harus dibenahi secara bersih, hijau dan sejuk.

i). Alumni perguruan tinggi harus mampu bersaing secara kompetitif, baik secaranasional maupun global.

Sedangkan Mahfud MD (1998:4) antara lain menunjukan beberapa karakteristik budaya akademis yang berpengaruh terhadap profesionalisme dosen sebagai berikut :

1) Bangga atas pekerjaannya sebagai dosen dengan komitmen pribadi yang kuat dan berkualitas.

2). Memiliki tanggungjawab yang besar, antisipatif dan penuh inisiatif.

3). Ingin selalu menegrjakan pekerjaan dengan tuntas dan ikut terlibat dalam berbagai peran diluar pekerjaannya.

4) Ingin terus belajar untuk meningkatkan kemampuan kerja dan kemampuan melayani.

5). Mendengar kebutuhan pelanggan dan dapat bekerja dengan baik dalam suatu tim.

6). Dapat dipercaya, jujur, terus terang dan loyal.

7) Terbuka terhadap kritik yang bersifat konstruktif serta selalu siap untuk meningkatkan dan menyempurnakan dirinya.

Selain itu kita lihat ada lima diskursus professional ( Danim, 2003:.126-127) yang berbeda diseputar profesionalisme keguruan yaitu antara lain :

1) Profesionalisme material (Material professionalism) merujuk pada kemampuan professional guru atau tenaga pengembang lain dilihat dari prespektif penguasaan material bahan ajar yang harus ditransformasikan dikelas ataupun diluar kelas.

2) Profesionalime metodologikal (Methodological professionalism) merujuk pada penguasaan metode dan strategi serta seni mendidik dan mengajar sehingga memudahkan proses belajar mengajar.

3) Profesionalisme sosial (Social professionalism) merujuk pada kedudukan guru dan tenaga pengembang lain sebagai manusia biasa dan sebagai anggota masyarakat dengan tidak kehilangan identitas budaya sebagai pendidik oleh karena bisa diajdikan contoh dan referensi prilaku dalam kehidupan masyarakat.

4) Profesionalisme demokratis (democratic professionalism) merujuk pada tugas pokok dan fungsi yang ditampilkan oleh guru dan tenaga pengembang lainnya harus beranjak dari, oleh dan untuk peserta didiknya sehingga mencerminkan miniature demokrasi masyarakat.

5) Profesionalisme manajerial (managerial professionalism) merujuk pada kedudukan guru bukanlah orang yang secara serta merta mentransmisikan bahan ajar saja tapi juga bertindak sebagai direktur, manajer atau fasilaitastor belajar.


Karakteristik budaya organisasi.

Untuk menentukan indikator secara pasti mengenai budaya organisasi jauh lebih sulit tetapi penulis mengambil dari beberapa pendapat para ahli mengenai indikator yang menentukan budaya organisasi.

Khun Chin Sophonpanich memasukan budaya pribadi ke dalam Bank Bangkok 50 tahun yang lalu dengan beberapa indikator antara lain :

a). Ketekunan (dilligency),

b). Ketulusan (sincerity),

c). Kesabaran (patience) dan

d). Kewirausahaan (entrepreneurship).

Sedangkan Amnuai dan Schien membagi budaya organisasi kedalam beberapa indikator yaitu antara lain

a). Aspek kualitatif (basic)

b). Aspek kuantitatif (shared) dan aspek terbentuknya

c).. Aspek komponen (assumption dan beliefs),

d). Aspek adaptasi eksternal (eksternal adaptation)

e). Aspek Integrasi internal (internal integration) sebagai proses penyatuan budaya melalui asimilasi dari budaya organisasi yang masuk dan berpengaruh terhadap karakter anggota.

Selangkah lebih maju tinjauan dari Dr.Bennet Silalahi yang melihat budaya kerja dapat dilihat dari sudut teologi dan deontology (Silalahi, 2004:25-32) seperti pandangan filsafat Konfutse, etika Kristen dan prinsip agama Islam. Kita tidak memungkiri pengaruh tiga agama ini dalam percaturan peradaban dunia timur bahkan manajemen barat sudah mulai memperhitungkannya sebagai manajemen alternatif yang didifusikan ke manajemen barat setelah melihat kekuatan ekonomi Negara kuning seperti Cina, Jepang dan Korea sangat kuat. Perimbangan kekuatan ras kuning Asia yang diwakili Jepang, Korea dan Cina tentu saja tidak bisa melupakan potensi kekuatan ekonomi negara-negara Islam yang dari jumlah penduduknya cukup menjanjikan untuk menjadi pangsa pasar mereka.

Tinjauan ajaran Islam membagi budaya kerja kedalam beberapa indikator antara lain :

a) Adanya kerja keras dan kerjasama (QS. Al-Insyiqoq : 6, Al-Mulk : 15, An-Naba : 11 dan At-taubah : 105))

b) Dalam setiap pekerjaan harus unggul/professional/menjadi khalifah (An-Nahl : 93. Az-Zumar : 9, Al-An’am : 165)

c) Harus mendayagunakan hikmah ilahi (Al-Baqoroh : 13)

d) Harus jujur, tidak saling menipu, harus bekerjasama saling menguntungkan.

e) Kelemah lembutan.

f) Kebersihan

g) Tidak mengotak-kotakan diri/ukhuwah

h) Menentang permusuhan.

Sedangkan menurut ajaran konghucu budaya kerja ditinjau dari budaya Ren yang terdiri dari lima sifat mulia manusia antara lain :

a) Ren (hubungan industrial supaya mengutamakan keterbatasan, kebutuhan dan kualitas hidup manusia)

b) Yi (tipu muslihat, timbangan yang tidak benar, kualitas barang dan jasa supaya disngkirkan atau dibenarkan agar tidak merugikan para stakehoulder)

c) Li (Instruksi kerja, penilaian unjuk kerja, peranan manajemen harus dilandaskan pada kesopanan dan kesantunan)

d) Zhi (kearifan dan kebijaksanaan dituntut dalam perencanaan, pengambilan keputusan dan ketatalaksanaan kerja, khususnya dalam perencanaan strategi dan kebijakan)

e) Xing (setiap manajer dan karyawan harus saling dapat dipercaya)

Lebih jelas lagi diungkapkan oleh Desmond graves (1986:126) mencatat sepuluh item research tool (dimensi kriteria, indikator) budaya organisasi yaitu :

1. Jaminan diri (Self assurance)

2. Ketegasan dalam bersikap (Decisiveness)

3. Kemampuan dalam pengawasan (Supervisory ability)

4. Kecerdasan emosi (Intelegence)

5. Inisatif (Initiative)

6. Kebutuhan akan pencapaian prestasi (Need for achievement)

7. Kebutuhan akan aktualisasi diri (Need for self actualization)

8. Kebutuhan akan jabatan/posisi (Need for power)

9. Kebutuhan akan penghargaan (Need for reward)

10. Kebutuhan akan rasa aman (Need for security).

Penutup

Dari uraian diatas bahwa peningkatan kualitas kinerja seorang penididik bisa dilakukan dengan memperhatikan kepuasan kerja secara intensif baik kepuasan intrinsik maupun kepuasan ekstrinsik dan memperbaiki budaya organisasi yang hanya berorientasi tugas semata dengan menerapkan budaya kerja yang berorientasi kinerja, persaingan, yang di sinergiskan dengan upaya re-inveting organisasi dan pengembangan jenjang karier secara berkala atau memperbaiki budaya organisasi yang berpola paternalistik dengan budaya organisasi berpola profesionalisme.

Sehingga para pendidik memiliki kemampuan untuk mengkomunikasikan secara langsung kepada rekan kerja ataupun kepada pihak pimpinan mengenai hal-hal yang menjadi hambatan psikologis dan komunikasi yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan baik instrinsik maupun ekstrinsik dan pihak pimpinan senantiasa memperhatikan dan memegang teguh prinsip keadilan dan humanitas dalam pengembangan diri dimasa yang akan datang.

Agar membentuk kesadaran untuk tetap meningkatkan semangat dan budaya kerja yang inisiatif, kreatif dan penuh inovasi dan pihak pimpinan akademisi atau institusi dapat mengembangkan budaya terbuka dan dorongan terhadap seluruh aktifitas akademis yang didukung oleh adanya penghargaan, pengakuan dan bersifat reaktif dan pro-aktif terhadap permasalahan akademis maupun non-akademis yang terjadi dikalangan pendidik yang sebenarnya bisa berakibat menurunnya citra dan semangat kekeluargaan antara pendidik dengan pihak pimpinan akademisi..

Peningkatan kepuasan kerja berupa materi maupun non-materi untuk meningkatkan kesejahteraan dosen, kemudian tingkatkan budaya akademisi yang berbasis pada peningkatan penelitian, pengembangan jenjang pendidikan dosen yang diseimbangkan dengan ketegasan dan control sehingga tercipta budaya akdemisi yang kondusif. Serta Tingkatkan profesionalisme kerja dalam pemberian jenjang jabatan tanpa menghilangkan budaya kekeluargaan yang kuat dan didasari adanya control dan penghargaan serta pengakuan yang proforsional.


Referensi :

1. Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi (Jakarta : Rineka Cipta, 2001) P. 72
2 Soerjono Soekanto, Sosiologi suatu Pengantar, (Jakarta : Grafindo, 2003), P. 174
3 Sudarwan Danim, Menjadi Komunitas Pembelajar, (Jakarta : Bumi Aksara, 2003), P.148.
4 Sudarwan Danim, Ibid., P.74.
5 Soerjono Soekanto, loc.cit, P. 174
6 Ibid, Soerjono Soekanto, P. 174
7 Eugene McKenna dan Nic Beec, The Essence of : Manajemen Sumber Daya Manusia,Terj. Toto Budi Santoso, (Yogjakarta : Penerbit Andi, 2002) P. 19
8 Taliziduhu Ndraha, Budaya organisasi, (Jakarta : Rineka Cipta, 2003) p.123.
9 Vijay Sathe, Culture and Related corporate Realities, (Homewood : Richard D. Irwin, Inc., 1985) p. 18
10 Edgar H. Schein, Organizational Culture and Leadershif, (San Fransisco : Josseybass Publ, 1992) p.16.
11 Stephen P. Robbins,Organizational Theory: Structure Design and Aplication (New Jersey : Prentice Hall, Inc., 1990), P.4
12 Waren B.Brown dan Denis J. Moberg, Organization Theory and Mangement: A Macro Approach, (New York : John Wiley & Sons,1980), P. 6.
13 Amitai Etzioni, Complex Organization : A Sociological Reader, (New York : Rine Hart & Winston, 1961) P.14.
14 Umar Nimran, Kebijakan Perusahaan, (Jakarta : Karunika UT, 1996), P. 11.
15 Umar Nimran, Ibid, P.11.
16 Op.cit , Ndraha, P. 102
17 Ibid, pendapat Pithi Amnuai dari kutipan Ndraha, p.102
18 loc.cit, Schein, P.16. dapat kita lihat pendapat ini pada hal. 32 diatas.
19 Eugene McKenna & Nic Beech, op.cit P.63.
20 Opcit Pendapat Amnuai dari kutipan Ndraha, P.76.
21 loc.cit Vijay Sathe, p. 18
22 Prof. Dr. Bennet Silalahi, Corporate Culture and Performance Appraisal, (Jakarta : Al-Hambra, 2004), P. 8.
23 Bennet, loc.cit, p.43.
24 Kutipan Republika, 27 JUli 1994:8
25 Harisson R., Understanding your Organization’s Character, (Harvard Business Review, May-June1972 : 119-128). dikutif langsung (atau tidak langsung) oleh Eugene McKenna dan Nic Beec, The essence of : Mannajemen Sumber Daya Manusia,Trj. Toto Budi Santoso, (Yogjakarta : Penerbit Andi, 2002) P. 65
26 C. Handy, Understanding Organizations, (London : Penguin, 1985), dikutip langsung oleh Eugene McKenna dan Nic Beec, The Essence of : Manajemen Sumber Daya Manusia,Trj. Toto Budi Santoso, (Yogjakarta : Penerbit Andi, 2002) P. 66
27 Sufyarma, Kapita selekta : Manajemen Pendidikan, (Bandung : Alfabeta, 2004), P.183.
28 Ibid, P.128-129.
29 Mohammad Mahfud M.D., Workshop Nasional : Relevansi Peraturan Perundang-undangan dalam Menyongsong Perguruan Tinggi di Indonesia pada abad ke 21, (Yogyakarta : Kerjasama UII dan Untar, 1998), P. 4.
30 Sudarwan Danim, Menjadi Komunitas Pembelajaran, (Jakarta ; Bumi Aksara, 2003), p.126-127.
31 Ndraha, opcit. P.63
32 Ndraha, Ibid.63
33 Bennet Silalahi, Corporate Culture & Performance Apparaisal, (Jakarta : Al-Hambra, 2004), p.25-32
34 Bennet, Ibid, P.21
35 Desmond graves, Corporate Culture : Diagnosis and Change Auditing and Changing the Culture of Organization, (London : Frances Pinter Publishing, 1986) P.126.