Posts from the ‘Emosi & motivasi’ Category

Dahsyatnya Otak Dan Pikiran Manusia


brainjar_2A.PENDAHULUAN

            Bila diminta membayangkan sosok yang cerdas, siapa yang muncul di benak Anda? Banyak orang akan membayangkan ilmuwan terkenal seperti Albert Einstein atau B.J. Habibie, atau kenalan dan saudarayang punya prestasi cemerlang di sekolah. Gambaran ini tidak salah. Kecerdasan memang identik dengan kemampuan intelektual yang tercermin dalam prestasi dibidang ilmu pengetahuan.

Pertanyaannya,apakah kemampuan intelektual bisa berubah? Kita semua pasti pernah punya temanyang dianggap kurang cerdas, yang kerap kesulitan mengikuti pelajaran disekolah. Atau mungkin kita sendiri pernah dianggap sebagai orang dengan kemampuan intelektual yang kurang. Dapatkah orang seperti ini menjadi lebih cerdas melalui usaha dan proses belajar? Bertambah cerdas di sini bukan hanyabertambah pengetahuan, melainkan benar-benar menjadi punya kemampuanintelektual yang lebih daripada sebelumnya.

Sebagian dari kita mungkin ragu bahwa siswa yang tadinya terseok-seok mencerna pelajaran, di kemudian hari bisa menjadi “berotak encer” dan bersinar di sekolah. Bukankah kecerdasan itu potensi dasar yang terberi, yang ditentukan sejak lahir? Seseorang bisa saja mempelajari hal-hal baru, tapi kapasitas dasarnya untuk belajar itu sendiri tidak akan banyak berubah. Mungkin Anda merasa bahwa kecerdasan adalah semacam bakat untuk bidang akademik. Dan sebagaimana bakat-bakat bidang lain, kecerdasan adalah potensi yang bisa diolah, namun “volumenya” tidak bertambah. Seseorang dengan kecerdasan pas-pasan perlu usaha lebih keras untuk mencapaiprestasi akademik yang baik, dibandingkan seseorang yang memang dari “sononya” sudah cerdas!

Namun apakah asumsi-asumsi ini sejalan dengan hasil penelitian tentang kecerdasan? Untuk menjawabnya, pertama-tama kita perlu menilik dahulu apa yang dimaksud dengan kecerdasan. Dalam ilmu psikologi, istilah yang kerap dikaitkan dengan kecerdasan adalah “inteligensi”. Pada awal abad ke-20, pemerintah Perancis meminta seorang ahli psikologi bernama Alfred Binet membuat tes guna mengidentifikasi siswa yang kemungkinan besar akan mengalami kesulitan mengikuti pelajaran sekolah. Tes buatan Binet ini kemudian disebut sebagai tes inteligensi, dan hasilnya disebut sebagai skor IQ (intelligence quotient).

Setelah Binet, banyak ahli psikologi yang juga mengembangkan tes inteligensi. Pada umumnya, tes-tes inteligensi mengukur kemampuan berpikir secara analitik dengan angka (numerik), kata-kata (verbal), dan/atau visual (ruang dan gambar). Berpikir analitik merujuk pada proses mencari relasi, mengidentifikasi pola, dan menggolong-golongkan objek secara efisien (cepat) dan sistematis. Salah satu cara mengukur kemampuan berpikir analitik adalah memberi seseorang serangkaian bentuk, kemudian memintanya menebak bentuk apa yang secara logis menjadi kelanjutan dari rangkaian tersebut. Cara lain adalah dengan menanyakan kesamaan antara dua konsep, misalnya “pena” dan“pensil”.

Skor IQ memang memprediksi keberhasilan siswa di sekolah. Tampaknya skor IQ juga sulit untuk ditingkatkan secara signifikan. Selain itu, pengaruh faktor keturunan pada skor inteligensi cukup kuat. Kembali ke pertanyaan utama esai ini, apakah berarti kecerdasan kita tidak bisa diubah? Apakah keberhasilan seseorang di sekolah semata-mata masalah “nasib”? Untungnya, jawabannya tidaklah sesuram itu!

Pertama, skor IQ memang memprediksi prestasi sekolah (dan juga prestasi kerja di berbagai bidang), tapi daya prediksinya tidaklah sebesar yang kerap diasumsikan. Untuk prestasi di sekolah, keterampilan belajar seperti cara mencerna bacaan atau kuliah, cara menyiapkan ujian, serta kemampuan menyampaikan gagasan punya andil yang sama atau bahkan lebih besar daripada IQ. Demikian juga untuk prestasi kerja, faktor-faktor seperti seperti kemampuan interpersonal, kemahiran berkomunikasi, dan pengetahuan memiliki sumbangan yang lebih besar daripada IQ

Kedua, skor IQ hanya mencerminkan bagian kecil dari kecerdasan, yakni aspek kecerdasan yang berguna untuk sekolah. Ahli-ahli kognitif seperti Robert Sternberg dan Keith Stanovich menyatakan bahwa aspek-aspek kecerdasan yang berguna dalam kehidupan justru tidak diukur oleh tes IQ. Stanovich menyebutkan dua keterampilan berpikir yang berguna untuk problem solving di banyak konteks, namun tidak diukur oleh IQ.

Yang pertama adalah kebiasaan mencermati dan mendefinisikan masalah secara menyeluruh dan seksama. Kebanyakan orang, termasuk mereka yang ber-IQ tinggi, kerap terjebak untuk memilih jalan singkat dan cepat untuk menyelesaikan persoalan. Padahal, cara cepat dan singkat itu seringkali tidak optimal. Kecenderungan ini tampak dalam cara orang menyelesaikan problem-problem sederhana seperti ini:

“Dina membeli sepatu dan kaus kaki.Ia membayar $110 untuk kedua hal itu. Harga sepatu $100 lebih mahal daripadakaus kaki. Berapa harga sepatu tersebut?”

Kalau Anda seperti saya dan banyak orang lain, maka jawaban yang terpikir pertama adalah angka $100. Tapi ini keliru. Cobalah pikirkan dengan lebih hati-hati. Poin saya adalah bahwa kekeliruan ini merupakan hasil dari kecenderungan alami manusia untuk tergesa-gesa dalam merumuskan masalah yang dihadapi.

Kedua, aspek kecerdasan yang tidak diukur oleh IQ adalah kemampuan untuk menangguhkan asumsi, preferensi, dan keyakinan personal ketika menghadapi masalah. Kebanyakan orang, termasuk yang ber-IQ sangat tinggi, sering bias dalam mengevaluasi pendapat/situasi dan karena itu kerap mengambil keputusan berdasarkan evaluasi tersebut. Ambil contoh berita yang akhir-akhir marak mengenai korupsi yang melibatkan petinggi sebuah partai politik cukup besar. Banyak simpatisan partai tersebut yang menilai bahwa Komisi PemberantasanKorupsi (KPK) “berlebihan” dalam menyidik yang terlibat, dan lunak pada partai lain yang juga tersandung kasus korupsi. Namun mereka yang bukan simpatisan dapat menilai bahwa KPK sudah bertindak dalam koridor hukum.

Kedua keterampilan berpikir di atas ini tidak berkorelasi (atau berkorelasi lemah) dengan inteligensi (IQ). Berita bagusnya, keduanya dapat dilatih dan ditingkatkan. Dengan demikian, kecerdasan dan prestasi sekolah bukanlah masalah nasib semata!

B. SEJARAH PENGUKURAN KECERDASAN

Orang pertama yang berpikir mengenai kemungkinan dilakukannya pengukuran intelegensi atau kecerdasan adalah Galton, sepupu Darwin. Hal yang mendorongnya untuk memiliki pemikiran demikian adalah karena Galton tertarik pada perbedaan-perbedaan individual dan pada hubungan antara hereditas dan kemapuan mental.

Menurut Galton, ada dua kualitas umum yang membedakan antara orang yang lebih cerdas (more intelligent) dengan orang yang kurang cerdas (less intelligent), yaitu energi dan sensitivitas. Menurutnya orang yang cerdas itu memiliki tingkat energi yang istimewa dan sensitivitas terhadap rangsangan di sekitarnya. Semakin cerdas seseorang maka semakin sensitif terhadap rangsangan di sekitar kita. Pada tahun 1883, Galton mendirikan sebuah laboratorium antropometrik di London. Di Laboratorium inilah Galton mempelajari mengenai perbedaan-perbedaan individual.

Di Amerika Serikat, Cattel adalah orang pertama yang menggunakan istilah mental test. Pada tahun 1890 Cattel menerbitkan Mental Test and Measurement. Tes Cattel menekankan sensoy and perceptual task. Ia juga sering melibatkan perbedaan visual dan auditif. Oleh karena itu, tidak heran jika tes kecerdasan sekarang menekankan sensasi dan persepsi begitu kuat, sebagaimana yang dilakukan oleh psikologi pada pertengahan abad ke-19, terutama untuk penglihatan. Pada tahun 1891, Boas merupakan orang pertama yang berusaha membedakan skor tes dengan perkiraan subjektif yang independen dari kemapuan pribadi. Ia mengetes penglihatan, pendengaran dan hapalan 1.500 anak. Pada tahun 1892, Jastrow menyelenggarakan tes sensori dan hapalan terhadap 1.200 anak. Ia berusaha menghubungkan hasil-hasil tesnya dengan estimasi guru mereka atas kemampuan umum 1.200 anak tersebut.

Sejak awal abad ke 20 inteligensi disamakan dengan Intelligent Quotient (IQ). Pada tahun 1911, sebagai permintaan dari mentri pendidikan Perancis, Alfred Binet dan Theodore Simon mengembangkan sebuah tes yang mengidentifikasi resiko kegagalan sekolah pada anak. Tes ini bertujuan untuk menentukan siapa siswa yang beresiko mengalami kegagalan, sehingga ia diberi perhatian khusus. Pada tahun 1912, psikolog Jerman Wilhelm Stern mengemukakan tentang Intelligent Quotient atau IQ, yang mewakili rasio usia mental seseorang terhadap usia kronologis seseorang, yang diukur dengan menggunakan tes. Pada tahun 1920 Lewis Terman, seorang ahli psikometri dari Amerika, memperkenalkan Stanford Binet IQ test, merupakan tes pertama yang menggunakan kertas dan pensil, versi tes yang menggunakan kelompok dan teradministrasi dengan baik. Tes inteligensi dengan cepat menjadi bagian standar dari landasan pendidikan di Amerika.

Sejak saat itu orang-orang mengidentifikasikan inteligensi dengan pengukuran IQ. Hasil karya awal tentang IQ, khususnya hasil karya Terman memainkan peran yang signifikan dalam pengembangan dua keyakinan umum tentang inteligensi: bahwa inteligensi secara mendasar diwariskan dan secara umum bersifat statis dan tidak dapat dirubah.

C. DEFINISI KECERDASAN INTELIGENSI (IQ)

Menurut Mahfudin Shalahudin bahwa intelek adalah akal budi atau inteligensi yang berarti kemampuan untuk meletakkan hubungan-hubungan dari proses berpikir. Selanjutnya dikatakan bahwa orang yang intelligent adalah orang yang dapat menyelesaikan persoalan dalam tempo yang lebih singkat, memahami masalah lebih cepat dan cermat, serta mampu bertindak cepat. Menurut English & English dalam bukunya ” A Comprehensive Dictionary of Psichological and Psychoalitical Terms” dalam Sunarto dan Hartono istilah intellect berarti antara lain :

  1. Kekuataan mental dimana manusia dapat berpikir
  2. Suatu rumpun nama untuk proses kognitif, terutama untuk aktivitas yang berkenaan dengan berpikir ( misalnya menghubungkan, menimbang, dan memahami)
  3. Kecakapan, terutama kecakapan yang tinggi untuk berpikir

Menurut kamus Webster New World Dictionary of the American Language, dalam Sunarto dan Hartono istilah intellect berarti:

  1. Kecakapan untuk berpikir, mengamati atau mengerti; kecakapan untuk mengamati hubungan-hubungan, dan sebagainya. Dengan demikian kecakapan berbeda dari kemauan dan perasaan
  2. Kecakapan mental yang besar,sangat intellegence, dan
  3. Pikiran atau inteligensi

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian intelektual yaitu akal budi atau inteligensi yang berarti kemampuan untuk meletakkan hubungan dari proses berpikir, kemampuan untuk melakukan pemikiran yang bersifat abstrak atau tidak bisa di lihat (abstraksi), serta berpikir logis dan cepat sehingga dapat bergerak dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru. Orang yang intelligent adalah orang yang dapat menyelesaikan persoalan dalam waktu yang lebih singkat, memahami masalahnya lebih cepat dan cermat serta mampu bertindak cepat.

Istilah inteligensi, semula berasal dari bahasa Latin “intelligere” yang berarti menghubungkan atau menyatukan satu sama lain. Menurut William Stern salah seorang pelopor dalam penelitian inteligensi, mengatakan bahwa inteligensi adalah kemampuan untuk menggunakan secara tepat segenap alat-alat bantu dan pikiran guna menyesuaikan diri terhadap tuntutan-tuntutan baru. Sedangkan Leis Hedison Terman berpendapat bahwa inteligensi adalah kesangupan untuk belajar secara abstrak. Di sini Terman membedakan antara concret ability yangitu kemampuan yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat konkrit dan abstract ability yaitu kemampuan yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat abstrak. Orang dikatakan inteligent menurut Terman jika orang tersebut mampu berpikir abstrak dengan baik.

Menurut William H Calvin, dalam How Brain Thinks (Bagaimana otak berpikir), Piaget mengatakan, “Intelligence is what you use when you don’t know what to do (Kecerdasan adalah apa yang kita gunakan pada saat kita tidak tahu apa yang harus dilakukan). Sehingga menurut Calvin, seseorang itu dikatakan smart jika ia terampil dalam menemukan jawaban yang benar untuk masalah pilihan hidup.

Para ahli psikologi lebih suka memusatkan perhatiannya pada masalah perilaku inteligen (intelligence behavior), daripada membicarakan batasan inteligensi. Mereka beranggapan bahwa inteligensi merupakan status mental yang tidak memerlukan definisi, sedangkan perilaku inteligen lebih konkret batasan dan ciri-cirinya sehingga lebih mudah untuk dipelajari. Dengan mengidentifikasi ciri dan indikator perilaku inteligen, maka dengan sendirinya definisi inteligensi akan terkandung didalamnya. Diantara ciri-ciri perilaku yang secara tidak langsung telah disepakati sebagai tanda telah dimilikinya inteligensi yang tinggi, antara lain adalah :

  1. Adanya kemapuan untuk memahami dan menyelesaikan problem mental dengan cepat
  2. Kemampuan mengingat
  3. Kreativitas yang tinggi
  4. Imajinasi yang berkembang

Sebaliknya perilaku yang lamban, tidak cepat mengerti, kurang mampu menyelesaikan problem mental yang sederhana, dan semacamnya, dianggap sebagai indikasi tidak dimilikinya inteligensi yang baik.

Hagenhan dan Oslo menjelaskan bahwa inteligensi merupakan suatu tindakan yang menyebabkan terjadinya perhitungan atas kondisi-kondisi yang secara optimal bagi organisme dapat hidup berhubungan dengan lingkungan secara efektif. Sebagai suatu tindakan, inteligensi selalu cenderung menciptakan kondisi-kondisi yang optimal bagi organisme untuk bertahan hidup dalam kondisi yang ada.

Feldam mendefinisikan kecerdasan sebagai kemampuan memahami dunia, berpikir secara rasional, dan menggunakan sumber-sumber secara efektif pada saat diharapkan dengan tantangan. Dalam pengertian ini kecerdasan terkait dengan kemampuan memahami lingkungan atau alam sekitar, kemampuan penalaran atau berpikir logis, dan sikap bertahan hidup dengan menggunakan sarana dan sumber-sumber yang ada. Sedangkan Henmon mendefinisiakn inteligensi sebagai daya atau kemapuan untuk memahami. Wechsler mendefinisikan inteligensi sebagai totalitas kemampuan seseorang untuk bertindak dengan tujuan tertentu, berpikir secara rasional, serta menghadapi lingkungan dengan efektif.

D. PERAN KECERDASAN INTELIGENSI DALAM BELAJAR

Menurut Nickerson dalam Agus Efendi, diantara pendahulu tes kecerdasan adalah Binet. Hasil tes yang dilakukan oleh Alfred Binet dan koleganya menemukan bahwa peran kecerdasan intelegensi dalam belajar adalah sebagai berikut:

  1. Kecerdasan intelegensi berperan dalam keberhasilan seorang anak dalam proses belajar di sekolah. Anak dengan kemampuan intelegensi yang rendah akan mengalami kesulitan dalam belajar sebaliknya anak dengan kemampuan intelegensi yang tinggi akan mudah dalam mengikuti proses belajar. Sesuai dengan tujuan awal dari tes intelegensi yang dilakukan oleh Alfred Binet adalah untuk mengetahui siswa yang kemungkinan mengalami kegagalan dalam belajar sehingga mereka perlu mendapatkan perhatian khusus.
  2. Kecerdasan intelegensi berperan sebagai direction. Menurut Binet directionmelibatkan pengetahuan mengenai apa yang harus dilakukan dan bagaimana cara melakukannya. Sehingga siswa dengan kemapuan inteleginsi yang tinggi dapat dengan cepat mengetahui apa yang harus dilakukan dan bagaimana cara melakukannya. Ketika guru memberikan suatu tugas tertentu ia dapat dengan cepat mengetahui tindakan apa yang harus ia lakukan.
  3. Kecerdasan sebagai Menurut Binet adaptationmengacu pada upaya membangun strategi untuk melakukan sebuah tugas, lalu berusaha untuk tetap berada dalam strategi tersebut dan mengadaptasinya saat mengimplementasikannya.
  4. Kecerdasan sebagai criticism. Menurut Binet criticismadalah kemampuan untuk mengkritisi pikiran dan tindakan sendiri. Sehingga siswa yang cerdas dapat berpikir kritis dan lebih aktif dalam proses belajar.
  5. Kecerdasan intelegensi berperan dalam memberikan kesempatan belajar bagi anak yang berasal dari keluarga miskin. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh Binet terhadap anak-anak miskin, betapapun pandainya merka, namun mereka tidak pernah diberi kemudahan untuk mendapatkan pendidikan lanjutan. Binet berpikir bahwa lewat tes IQ anak-anak miskin mampu membuktikan mereka lebih cerdas daripada rata-rata anak kebanyakan. Karenanya, seharusnya, mereka bisa memperoleh pendidikan lanjutan, tanpa menghiraukan kedudukan sosial mereka.

E. MULTIPLE INTELLIGENCES(MI)

 Teori Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligences)

Howard Gardner memperkenalkan teori multiple intelligences (MI) untuk menentang pendapat tentang IQ, yang dianggapnya tidak memadai untuk menjelaskan tentang kecerdasan. Teori multiple intelligencesmenggambarkan inteligensi sebagai sesuatu yang plural sebagai penyelesaian masalah, sebagai ukuran kualitatif dan bukan hanya ukuran kuantitatif, yang berbeda antara satu individu dengan yang lain. Sementara dari sudup pandang IQ menanyakan seberapa pintar anda? (How smart are you?), dan teori MI menanyakan Bagaimana anda pintar? (How are you smart?.

Penelitian Gardner telah menguak rumpun kecerdasan manusia yang lebih luas dari pada kepercayaan manusia sebelumnya serta menghasilkan konsep kecerdasan yang sungguh pragmatis. Gardner tidak memandang kecerdasan manusia berdasarkan skor tes standar semata. Gardner menjelaskan kecerdasan sebagai: (1) kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang terjadi dalam kehidupan manusia; (2) kemampuan untuk menghasilkan persoalan-persoalan baru untuk diselesaikan; (3) kemampuan untuk menciptakan sesuatu atau menawarkan jasa yang akan menimbulkan penghargaan dalam budaya seseorang.

Pada awalnya Gardner pada awalnya mengembangkan tujuah kecerdasan independen dan pada tahun 1995 ia memperkenalkan kecerdasan yang ke delapan yaitu naturalis. Kedelapan kecerdasan tersebut adalah sebagai berikut:

  • Kecerdasan musik (musical intelligence)
  • Kecerdasan gerakan-badan (bodily-kinesthetic intelligence)
  • Kecerdasan logika matematika (logical mathematical intelligence)
  • Kecerdasan linguistik (linguistic intelligence)
  • Kecerdasan ruang (spatial intelligence)
  • Kecerdasan antarpribadi (interpersonal intelligence)
  • Kecerdasan intra pribadi (intrapersonal intelligence)
  • Kecerdasan alami (naturalist intelligence)

Lebih lanjut, kecerdasan tersebut dijelaskan dengan rinci oleh Thomas Amstrong.

  1. Linguistic intelligence adalah kemampuan untuk menggunakan kata-kata secara efektif, baik secara lisan maupun tulisan.
  2. Logical mathematical Intelligenceadalah kemampuan untuk menggunakan angka-angka secara efektif, misalnya penggunaan dalam pekerjaan matematika, statistik, akuntansi, perpajakan, dan pemrograman komputer.
  3. Spatial intelligenceadalah kemampuan untuk menangkap dunia ruang pandang (visual spatial world) secara akurat, misalnya untuk menampilkan visi seorang dekorator dan arsitek.
  4. Bodily Kinestetic Intelligence adalah kemampuan menggunakan gerakan badan dalam hal menyampaikan pemikiran dan perasaan.
  5. Musical Intelligenceadalah kemampuan untuk menangkap melalui mata hatinya misalnya musik, dan keahlian musik pada umumnya.
  6. Interpersonal Intelligenceadalah kemampuan untuk menangkap dan membuat perbedaan dalam suasana hati, keinginan, motivasi, dan perasaan orang lain.
  7. Intrapersonal Intelligenceadalah kemampuan untuk membuat gambaran yang akurat tentang diri sendiri (kekuatan dan kelemahan diri sendiri).
  8. Naturalist intelligenceadalah kemampuan untuk memahami alam, melihat bagaimana pola-pola yang terjadi di alam dan mengklasifikasi segala sesuatu tentang alam .

F. PERAN KECERDASAN MAJEMUK (MULTIPLE INTELLIGENCES) DALAM BELAJAR

  1. Kecerdasan Verbal/Linguistik

Kecerdasan linguistik antara lain ditunjukkan oleh kepekaan akan makna dan urutan kata, serta kemampuan membuat beragam pengguaan bahasa. Kemampuan alamiah yang berkenaan dalam kecapakan ini adalah percakapan spontan, dongen, humor, kelakar, membujuk orang untuk mengikuti tindakan, memberi penjelasan atau mengajar. Contoh orang yang memiliki kecerdasan ini adalah Herman Melville, penulis novel Mobby Dick, J.K Rowling penulis buku cerita Harry Potter. Sedangkan di Indonesia terdapat Gunawan Muhammad, Emha Ainun Najib, Taufik Ismail, Andrea Hirata dan lain-lain.

Dalam proses belajar kecerdasan ini sangat berperan terutama sekali dalam pelajaran bahasa. Sedangkan dalam bidang pelajaran lainnya kecerdasan ini sangat dibutuhkan dalam proses belajar seperti dalam kegiatan diskusi. Setiap siswa dalam diskusi harus mampu menyampaikan pendapatnya ataupun menjawab pertanyaan dari siswa lainnya.

  1. Kecerdasan logis matematik

Mereka yang memiliki kecerdasan ini adalah mereka yang bekerja dengan simbol-simbol abstrak dan bisa melihat koneksi antara potongan-potongan informasi yang mungkin terlewatkan oleh orang lain. Para ahli matematika, sains, programer komputer dan akuntan, adalah diantara mereka yang juga tersebut dalam wilayah-wilayah kecerdasan ini.

Peran kecerdasan ini dalam belajar terutama sekali dalam mata pelajaran hitungan seperti Matematika dan mata pelajaran sains seperti Fisika, Kimia, Akuntansi yang semuanya membutuhkan kemampuan logis matematik.

  1. Kecerdasan Spasial

Kecerdasan spasial adalah kecerdasan yang dapat digunakan untuk mengenali objek dan pemandangan di lingkungan aslinya. Kecerdasan ini juga digunakan ketika seseorang membuat lukisan grafis atau simbol-simbol lain seperti peta, diagram, atau bentuk-bentuk geometrik. Dunia lukisan dan ukiran telah menunjukkan sensitivitas terhadap dunia visual dan spasial dengan sangat jelas seperti lukisan Affandi, Leonardo da Vinci, Michael Angelo, dan Picasso.

Dalam belajar kecerdasan spasial ini berperan dalam mempelajari bentuk-bentuk visual dan mengekspresikannya seperti dalam pelajaran menggambar dan mata pelajaran desain grafis pada komputer seperti menggunakan aplikasi corel draw, photo shop dan sebagainya.

4. Kecerdasan Musikal/Ritmis

Kecerdasan musikal adalah kecerdasan yang terkait dengan sensitivitas yang dimiliki seseorang terhadap susunan suara dan kemampuan merespon pola-pola suara ini secara emosional. Dalam proses belajar kecerdasan ini berperan jika siswa diizinkan untuk menciptakan dan menggunakan lagu, ketokan, sorak-sorai, syair dan sajak.

5. Kecerdasan Tubuh/Kinestetik

Kecerdasan tubuh/kinestesis memungkinkan orang untuk mengontrol dan menafsirkan aneka gerak tubuh dan membentuk harmoni pikiran dan tubuh. Contoh orang-orang yang memiliki kecerdasan tubuh yang sangat bagus adalah para atlit di arena olahragara. Seperti para pemain basket dan sepak bola yang begitu lincah memainkan bola dii lapangan.

Dalam proses belajar kecerdasan tubuh ini berperan dalam pelajaran olah raga dan pelajaran lain selama membutuhkan aktivitas fisik. Seorang individu yang kuat dalam kecerdasan tubuh/kinestetis mampu melakukan keterampilan motorik kecil dengan baik dan bisa melakukan aktivitas-aktivitas seperti menyusun, memahat, membongkar, dan mengumpulkan kembali dengan mudah.

6. Kecerdasan Intrapersonal

Merupakan kemampuan untuk mengetahui diri sendiri dan mengambil tanggungjawab atas kehidupan dan proses belajar seseorang. Para siswa dengan keterampilan interpersonal yang kuat mengenali berbagai kekuatan dan keterbatasan mereka dan menantang diri mereka sendiri supaya bisa menjadi jauh lebih baik.

Dalam belajar kecerdasan intrapersonal ini berperan bagi para siswa dalam membuat suatu orientasi pada tujuan, reflektif, dan melihat kesuksesannya sebagai hasil langsung dari perencanaan, usaha, dan ketekunannya sendiri. Aktivitas-aktivitas yang merangsang kecerdasan interpersonal ini di ruang kelas diantaranya adalah kesempatan untuk memecahkan masalah, melatih konsentrasi, menetapkan tujuan, dan menulis dalam catatan-catatan harian pribadi.

7. Kecerdasan Interpersonal

Kecerdasan interpersonal adalah kemampuan untuk memahami dan berinteraksi dengan baik dengan orang lain. Kemampuan ini melibatkan penggunakan berbagai keterampilan seperti kemampuan kerjasama, manajemen konflik, strategi membangun konsensus, kempampuan untuk menghormati, memimpin dan memotivasi orang lian.

Dalam proses belajar kecerdasan ini berperan ketika siswa diberikan kesempatan untuk bekerjasama dimana mereka dapat menjadi sosial, merencanakan secara bersama dan bekerja dengan orang lain demi keuntungan timbal balik.

8. Kecerdasan Naturalis

Merupakan kemampuan menggunakan input sensorik dari alam untuk menafsirkan lingkungan seseorang. Dalam belajar kecerdasan berperan dalam kegiatan menyelidiki, mengklasifikasi, dan mengoleksi berbagai unsur di alam, melakukan berbagai eksperimen ilmiah, dan meneliti solusi-solusi bagi berbagai masalah lingkungan. Semua aktivitas yang membantu para siswa untuk dapat mengklasifikasi kehidupan tanaman dan menyelidiki habitat benda-benda hidup juga dapat menignkatkan kecerdasan naturalis.

G. KECERDASAN EMOSIONAL

  1. Definisi Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosional merupakan kemampuan seperti kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi; mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan; mengatur suasanan hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, dan berempati. Menurut Steven J Stein dan Howard E. Book kecerdasan emosional adalah serangkaian kemampuan, kompetensi, dan kecakapan nonkognitif yang memengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan.

Keterampilan kecerdasan emosi bekerja secara sinergi dengan keterampilan kognitif. Makin kompleks pekerjaan, makin penting kecerdasan emosi. Emosi yang lepas kendali dapat membuat orang pandai menjadi bodoh. Tanpa kecerdasan emosi, orang tidak akan mampu menggunakan kemampuan kognitif mereka sesuai dengan potensi yang maksimum. Penyebab manusia tidak mencapai potensi maksimum adalah ketidakterampilan emosi.

Kecerdasan emosional mulai diperhatikan secara meluas setelah publikasi hasil karya Daniel Goleman pada tahun 1995 yang berjudul “Emotional Intelligence: Why it Can Matter More Than IQ”. Menurut Goleman tes IQ hanya berhubungan dengan kemampuan verbal dan matematika, dan mengabaikan kemungkinan yang lain seperti hubungan antara pikiran dan perasaan, yang merupakan hubungan ataran aspek intelektual dan emosional. Para ahli terus mengingatkan bahwa proses pendidikan jangan hanya memfokuskan kepada faktor intelektual seperti yang dikemukakan krishnamurti dalam Carol Hall:

Terdapat sesuatu yang lebih tinggi dan lebih luas pengaruhnya terhadap kehidupan, nilai yang belum kita temukan dalam pendidikan kita? Kita mungkin berpendidikan tinggi, akan tetapi jika tidak memiliki ikatan yang kuat antara pikiran dan perasaan kita, kehidupan kita tidak lengkap, terdapat kontradiksi dan tersobek dengan banyak ketakutan, selama pendidikan tidak menggali pandangan yang menyeluruh tentang kehdupan, pengaruhnya akan sangat sedikit.

Seseorang yang memiliki IQ saja belum cukup, yang ideal adalah IQ yang dibarengi dengan EQ yang seimbang. Pemahaman yang didukung oleh Goleman yang dikutip oleh Patton, bahwa para ahli psikologi sepakat akalu IQ hanya mendukung sekitar 20 persen faktor yang menentukan keberhasilan, sedangkan 80 persen sisanya berasal dari faktor lain termasuk kecerdasan emosional.

 2. Bentuk Emosi

Daniel Goleman yang merupakan pakar “kecerdasan emosional” memaknai emosi sebagai setiap keadaan mental yang hebat dan meluap-luap. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa emosi merujuk kepada suatu perasaan dan pikiran-pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak.

Sementara itu Chaplin dalam “Dictionary of Psychology” mendefinisikan emosi sebagai suatu keadaan yang terangsang dari organisme mencakup perubahan-perubahan yang disadar, yang mendalam sifatnya dari perubahan perilaku. Dengan demikian emosi adalah suatu respon terhadap suatu perangsang yang menyebabkan perubahan fisiologis disertai perasaan yang kuat dan biasanya mengandung kemungkinan untuk meletus. Respon demikian terjadi baik terhadap perangsang-perangsang eksternal maupun internal.

Menurut Daniel Goleman sesungguhnya ada ratusan emosi dengan berbagai variasi, campuran dan nuansanya sehingga makna yang dikandungnya lebih banyak, lebih kompleks, dan lebih halus daripada kata yang digunakan untuk menjelaskan emosi. Meskipun emosi itu sedemikian kompleksnya, namun ia mengidentifikasi sejumlah kelompok emosi, yaitu:

  1. Amarah; didalamnya meliputi beringas, mengamuk, benci, marah besar, jengkel, kesal hati, terganggu, rasa pahit, berang, tersinggung, bermusuhan, tindak kekerasan dan kebencian patologis.
  2. Kesedihan; di dalamnya meliputi pedih, sedih, muram, suram, mengasihani diri, kesepian, ditolak, putus asa dan depresi.
  3. Rasa Takut; di dalamnya meliputi cemas, takut, gugup, khawatir, was-was, tidak tenang, ngeri, kecut, panik dan pobia.
  4. Kenikmatan; di dalamnya meliputi bahagia, gembira, puas, riang, senang, terhibur, bangga, kenikmatan inderawi, takjub, terpesona, puas, girang, senang sekali dan mania.
  5. Cinta; di dalamnya meliputi penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat, dan kasih sayang.
  6. Terkejut; di dalamnya meliputi terkesiap, takjub dan terpana.
  7. Jengkel; didalamnya meliputi hina, jijik, muak, mual, benci, tidak suka, dan mau muntah.
  8. Malu; di dalamnya meliputi rasa bersalah, malu hati, kesal hati, menyesal, hina, aib, dan hati hancur lebur.

Sumber :

The Mind & The Brain Dahsyatnya Otak Dan Pikiran Manusia, Alfred Binet, Indoliterasi, Jakarta,  2017,  Iv+188

Manajemen marah — Anger Management


Marah1 Tertarik setelah nonton film Anger Management beberapa jam yang lalu di salah satu tv swasta. Sekedar refleksi ternyata apa yang selama ini saya lakukan untuk mengendalikan amarah kurang tepat juga, “lebih baik diam” juga ternyata kurang tepat. Kesimpulan itu muncul setelah membaca beberapa tulisan di Human Medicine dan beberapa tulisan lain di beberapa situs.

LECTURE RESUME – Sekedar untuk berbagi beberapa hal saya sampaikan disini : Amarah manusia muncul karena adanya dorongan agresif yang lazim disebut dengan istilah human agressive. Dorongan rasa marah ini bisa saja muncul karena sesuatu terjadi di luar dugaan atau di luar perhitungan. Harapan yang tinggi sementara kenyataannya tidak demikian juga bisa menyebabkan kekecewaan dan dapat memicu rasa marah.
Secara garis besar dorongan marah itu disebabkan oleh dua faktor. Pertama, faktor internal (dari dalam diri). Ada konflik internal yang tidak bisa terselesaikan dan akhirnya keluar dalam bentuk marah. Misalnya Anda merasa gusar karena tak bisa bangun pagi sehingga selalu terlambat rapat dengan klien. Kedua, faktor eksternal. Misalnya, ada provokasi dari luar.

Apapun penyebabnya, internal atau eksternal, marah merupakan emosi yang tersalur melalui sinyal pengantar syaraf atau neurotransmitter, pada sel-sel syarat pusat otak. Sinyal ini diteruskan ke kelenjar endokrin suprarenalis penghasil hormon adrenalin. Akibatnya tekanan darah naik. Mukanya menjadi merah, jantung berdebar-debar kencang mengikuti peningkatan hormon adrenalin tadi.

Biasanya dorongan untuk marah muncul untuk survival, atau mempertahankan hidup. Orang tidak akan diam saja manakala dirinya diserang atau diperlakukan tidak adil oleh pihak lain. Secara refleks akan timbul sikap mempertahankan diri, atau yang kita sebut defense mechanism.

Marah sering dianggap sebagai emosi yang negatif sebab marah membangkitkan toksin yang meracuni emosi, dan dapat memunculkan tindakan yang berdampak negatif, seperti melukai orang lain. Tapi marah tidak selalu itu buruk. Bila seseorang diperlakukan tidak baik, dan dia menunjukkan reaksi marah, itu dianggap sebagai hal yang wajar. Marah bisa dinilai positif ketika perasaan itu muncul saat melihat seseorang diperlakukan tidak adil, atau menimbulkan rasa ingin menolong. Artinya rasa marah itu bisa mendorong seseorang melakukan hal yang positif atau yang dianggap baik.

Ketika amarah diekspresikan secara destruktif (memaki, memukul, atau merusak barang), maka marah menjadi emosi yang buruk. Lepas kendali dapat memicu perasaan frustasi, bingung, dan tidak berdaya. Banyak gangguan fisik, emosional, dan mental yang disebabkan oleh marah yang tidak terkendali. Hasilnya antara lain ketegangan di lingkungan kerja atau kekerasan dalam rumah tangga. Ekspresi marah ini juga dituding memicu kriminalitas, bahkan konflik internasional.

marah akan berdampak buruk bila diungkapkan secara agresif dan berlebihan. Lebih buruk lagi bila yang bersangkutan tidak menyadari dirinya melakukan hal yang negatif. Karena itu ia menyarankan sebaiknya amarah dikeluarkan dengan syarat:

  1. Marah haruslah karena alasan yang tepat, bukan karena faktor subyektif. Banyak kasus kemarahan timbul di lingkungan keluarga. Misalkan suami marah secara berlebihan karena merasa tidak dihargai oleh istrinya, padahal hanyalah pandangan subyektif sang suami.
  2. Marah haruslah terkendali. Marah yang membabi buta, bisa merugikan diri sendiri dan orang lain.

Marah juga bisa berdampak negatif pada diri sendiri atau pada diri orang lain ketika yang bersangkutan tidak secara jujur mengakui rasa marahnya, atau memendam amarah. Marah yang tidak dikeluarkan bisa menyebabkan sakit kepala, nyeri punggung, mual, bahkan depresi. Mereka yang suka meremehkan, mengkritik, dan berkomentar sinis terhadap orang lain biasanya adalah orang yang tidak terbiasa mengekspresikan kemarahannya.

Meskipun sebaiknya rasa marah itu dilepaskan saja dan jangan disimpan, Dadang Hawari menilai pendapat ini tidak selalu baik untuk diterapkan. “Apakah kalau marah dilepaskan lantas kita menjadi puas? Apa bukan sebaiknya justru menyebabkan orang yang dimarahi menjadi sakit dan akhirnya menimbulkan persoalan baru ?” ujar psikiater itu. Lalu bagaimana baiknya? “Yang baik adalah kalau merasa marah, kita redam dan netralisir dengan diri sendiri sambil menyelesaikan pokok permasalahan yang dihadapi,” tambah Dadang.

Sebetulnya rasa marah itu bisa dikelola. Sebagai makhluk yang beradab, manusia tentu mempunyai mekanisme pengendalian diri. Ada orang yang mampu meredam marah tapi ada juga yang tidak bisa. Kalau pengendalian dirinya lemah, maka bisa terjadi agresivitas, dimana kemarahan secara fisik maupun verbal keluar membabi buta. Tapi orang sudah terlatih untuk bisa sabar, mekanisme internal di dalam dirinya bisa meredam emosi yang meletup-letup dan tidak terpancing untuk bertindak agresif.

manajemen marah ini dilakukan dengan mengedepankan rasio dari pada emosional. Seseorang yang mampu mengelola amarahnya berarti melakukan mekanisme rasionalisasi dalam tubuhnya. Mekanisme ini mengantarkan pola pikir yang sifatnya positif sehingga bisa meredam konflik atau emosi. Tapi rasionaliasasi ini tidak muncul begitu saja, butuh kemauan, upaya dan latihan yang keras.

Dalam berbagai kasus, seseorang yang terbiasa marah secara agresif bisa dilatih untuk mengendalikan emosi. Caranya dengan mencari penyebab munculnya letupan marah tersebut. Misalnya pada kasus dimana rasa marah muncul untuk menutupi rasa kurang percaya diri, terapi yang dilakukan terlebih dahulu difokuskan pada upaya membangkitkan rasa percaya diri.

Sebetulnya melatih diri mengelola amarah merupakan hal yang memang patut dilakukan, terutama untuk meningkatkan kualitas diri. Sekarang ini kualitas manusia tidak hanya ditentukan oleh IQ (Intelligence Quotient), tapi juga oleh EQ (Emotional Quotient).

Manajemen dengan kecerdasan emosi


manajemen diri

  • Judul Buku: Manajemen dengan Kecerdasan Emosional
  • Pengarang: Dr. Henry R.Meyer (Penerjemah: Munir)
  • Penerbit: Nuansa Books, Bandung 2007
  • Jumlah halaman: 168

Globalisasi menuntut perubahan dalam hampir segala hal, termasuk karakter kepemimpinan. Generasi baru CEO pun semakin sadar, sukses perusahaan sangat bergantung pada rasionalitas kepemimpinan. Artinya, seorang CEO tidak hanya butuh kecerdasan rasional instrumentalis seperti mengatur birokrasi secara efektif, melainkan juga harus memiliki modal kecerdasan emosional.

Henry R Meyer, penulis buku ini, melihat tiga komponen penting kecerdasan emosional, yakni relasi bisnis, hubungan CEO dengan karyawan dan hubungan keluarga sang CEO. Dari sini sudah nampak arahnya, bahwa kecerdasan emosional tidak lain dimaksudkan untuk pengembangan kepribadian seseorang sebagai pemimpin yang rasional, modern dan humanis. Seorang CEO yang memiliki kecerdasan emosional berarti memiliki enam langkah, yakni pengakuan diri, niat yang teguh untuk berubah, jangka waktu dan disiplin, transformasi, pemantauan periodik terhadap diri sendiri, gaya manajemen yang cerdas secara emosional.

Modal kecerdasan emosional ini penting, sebab posisi CEO di era liberal saat ini sangat sentral. Sentralisme ini bukan karena kekuasaan modalnya, melainkan karena tuntutan merespons arus perubahan eksternal dalam dunia bisnis yang sedang berlangsung. Liberalisasi telah meningkatkan aktivitas kerja namun miskin produktivitas. Dampak lain misalnya, memudarnya hubungan antara antasan dengan bawahan, rasionalitas kaum pekerja dan efektivitas kerja teknologi. Melihat kondisi ini, sudah seyogianya CEO harus benar-benar mampu mengendalikan gerak kerja perusahaan secara efektif. Dalam kondisi seperti itu, seorang CEO tidak bisa bertingkah dan menerapkan pola kebijakan semau-gue; tukang kritik, menekan bawahan atas nama jabatan, menerapkan kebijakan non-transparan (irasional), mengontrol secara kaku, gemar mencari kelemahan pekerja, membuat aturan tanpa melibatkan karyawan.

Jika masih ada bos berkarakter seperti itu, Henry memprediksi, perusahaan akan mengalami involusi, bahkan menuju jurang kebangkrutan. CEO harus benar-benar menempatkan organisasi yang berpandangan jauh ke depan. Katanya, “Seseorang bisa saja memiliki visi, target atau sasaran, tetapi dia masih saja memiliki cara berpikir model lama, terutama dalam kaitannya dengan relasi bos-bawahan, di mana motivasi dan pemberdayaan saja tidak ada. Ini mereduksi sukses peluang Anda. Pengetahuan tentang kecerdasan emosional, dalam pandangan Henry, memberikan kepada seseorang sebuah garis kompetitif dalam bisnis dan bidang aktivitas lainnya. “Kata-kata dapat menggerakkan gunung jika difungsikan secara efisien dan efektif “. Di sini Henry sangat menekankan kepercayaan. Sebab jika seorang CEO tidak dipercaya, dipastikan para karyawan hanya menjalankan tugasnya sebagai bentuk keterpaksaaan dirinya sebagai pekerja yang membutuhkan uang, bukan karena kultur produktif.

Harus diakui pula bahwa seorang CEO sering punya musuh dalam selimut tanpa menyadarinya, dan karenanya menjadi cerdas secara emosional membuat perbedaan besar dalam hal ini. Dalam kecerdasan emosional, kata Henry, seorang pemimpin dituntut harus marah, tapi ia tidak berhak untuk menjadi kejam dan bengis. Pujian adalah obat yang menakjubkan; empati adalah sebuah terapi yang murah.

Perusahaan yang memiliki CEO yang bekerja berdasar pada kecerdasan emosional bisa dilihat dari empat karakter berikut ini, 1) Manajemen dengan motivasi, nilai perusahaan dan pemberdayaan. 2) Manajemen dengan inovasi, teladan dan sasaran. 3) Manajemen dengan kerja tim dan strategi. 4) Manajemen dengan konsultasi dan kolaborasi.

Perusahaan yang dipimpin CEO hebat berbasis kecerdasan emosional bak kampus yang humanis sebab dalam keseharian kerja, perusahaan menekankan rasionalitas hubungan, mentalitas produktif dan pergaulan yang setara antara bos dan karyawan. Semua pekerjaan dilakukan dengan penuh kebahagiaan dan fleksibilitas yang tinggi. Dalam konteks relationships, kecerdasan emosional adalah investasi yang sangat penting. Menjaga hubungan dapat meningkatkan peluang bagi bidang perdagangan yang lebih luas, karena pengenalan melalui orang per orang akhirnya dapat mendatangkan bisnis dan keuntungan yang lebih besar.

Bagaimana hubungan dengan pelanggan?

Kenyataan di era serba-cepat-berubah sekarang ini, produk yang baik tidaklah cukup. Henry menyarankan agar perusahaan tidak hanya bisa menawarkan kualitas produk, tapi juga harus mampu mengantarkan produk melalui kecerdasan emosional kepada pelanggan. Jangan sekadar menjual barang; juallah perasaan yang menyertai pembelian suatu produk, baik itu mobil, kapal atau rumah yang indah; atau pembelian tiket ke tempat eksotik di luar negeri. Pelanggan masa depan terbaik adalah pelanggan terdahulu.

Jika loyalitas pelanggan ini mampu kita jaga, maka mereka akan kembali. Pelayan yang baik adalah mereka yang terlihat gembira, peduli, memberikan informasi, sabar, santun, jujur, banyak akal dan suka minta maaf. Henry melihat, produktivitas dalam penjualan sangat bergantung pada stabilitas emosional, dan ini merupakan sifat penting yang harus diperhatikan semua perusahaan. Seorang CEO yang cerdas secara emosional dipastikan akan memiliki perhatian dan empati terhadap kultur masyarakat. Tugas CEO di era hiper-konsumen sekarang ini benar-benar harus mampu menyelinap masuk dalam ruang emosi masyarakat dengan cara memperhatikan kearifan lokal.

Di level yang lebih mikro, seorang CEO juga harus mampu menjadi pemimpin yang dipercaya dan mampu mengendalikan kehidupan keluarganya. Berbagai pengalaman yang dihimpun dalam buku ini membuktikan, sukses CEO mengelola perusahaan juga ditentukan oleh sukses yang bersangkutan dalam membangun rumah tangga. Jika Francis Fukuyama menganggap bahwa modal sosial adalah penentu kesuksesan seseorang dalam lapangan sosial, ekonomi dan politik, maka buku ini mengajak kita untuk menyadari bahwa modal emosional adalah salah satu penentu kesuksesan dalam dunia bisnis.