Archive for Maret 3rd, 2009

SIFAT-SIFAT YANG MEMBANTU KITA UNTUK MENGERTI MANAJEMEN


Untuk menegtahui sifat-sifat dari manajemen tersebut kita harus mengetahui beberapa hal antara lain :

  1. manajemen mempunyai tujuan.
  2. Manajemen menyebabkan terjadinya hal tertentu
  3. manajemen merupakan suatu aktiftas, jadi bukanlah berati seorang atau kelompok orang.
  4. Manajemen dilaksanakan melalui, dengan dan melalui usaha-usaha fihak lain.
  5. Manajemen biasanya berkaitan dengan usaha-usaha suatukelompok.
  6. menajemen bersifat abstrak.
  7. manajemen dibantu oleh komputer; bukan diganti olehnya.
  8. manajemen merupakan alat yang luar biasa untuk me

Manajemen Sumber Daya Manusia


Dalam perekonomian modern, menurut Mangkoesoebroto (1993) peranan pemerintah dapat diklasifikasikan dalam 3 golongan besar, yaitu: pertama, peranan alokasi, yaitu peranan pemerintah dalam alokasi sumber-sumber ekonomi yang tujuannya untuk mengalokasikan faktor-faktor produksi yang tersedia dimasyarakat sehingga kebutuhan masyarakat akan barang publik cukup terpenuhi, kedua, peranan distribusi yang pada pokoknya mempunyai tujuan terselenggaranya distribusi pendapatan secara adil, ketiga, peranan stabilisasi, yang tujuannya untuk terpenuhinya tingkat kesempatan kerja yang tinggi, tingkat harga yang relatif stabil dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang memadai.

mass-media

Untuk melaksanakan tiga peranan di atas, tentu saja pemerintah khususnya pemerintah daerah yang sedang melaksanakan otonomi daerah dan apabila peranan tersebut diterapkan di daerah memerlukan biaya atau dana yang tidak kecil. Pembiayaan yang diperoleh pemerintah daerah dari berbagai sumber, terutama yang berasal dari pajak dan retribusi daerah. Pemerintah daerah untuk menjalankan ketiga peranan tersebut selama ini adalah dengan mengandalkan dari bantuan pemerintah pusat. Padahal salah satu indikator yang penting untuk mengukur kemampuan suatu daerah dalam melaksanakan otonomi daerah adalah kemampuan daerah dalam bidang keuangan, sebagai salah satu modal dasar dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah tersebut. Selanjutnya untuk mengetahui tingkat kemampuan daerah dalam bidang keuangan dapat diketahui dari penerimaan pendapatan asli daerah.

Selain dana untuk membiayai ke tiga peranan yang telah disebutkan di atas, juga sumber daya manusia yang memiliki arti penting dalam mewujudkan kegiatan yang ada di daerah. Menurut Nawawi (2001) ada tiga pengertian sumber daya manusia yaitu :

  1. Sumber daya manusia adalah manusia yang bekerja dilingkungan suatu organisasi (disebut juga personil, tenaga kerja, pekerja atau karyawan).
  2. Sumber daya manusia adalah potensi manusiawi sebagai penggerak organisasi dalam mewujudkan eksistensinya.
  3. Sumber daya manusia adalah potensi yang merupakan aset dan berfungsi sebagai modal (non material/non finansial) di dalam organisasi bisnis, yang dapat mewujudkan menjadi potensi nyata (real) secara fisik dan non-fisik dalam mewujudkan eksistensi organisasi.

Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa sumber daya manusia adalah suatu proses mendayagunakan manusia sebagai tenaga kerja secara manusiawi, agar potensi fisik dan psikis yang dimilikinya berfungsi maksimal bagi pencapaian tujuan organisasi (lembaga).

Disamping itu, manusia adalah makhluk Tuhan yang kompleks dan unik serta diciptakan dalam integrasi dua substansi yang tidak berdiri sendiri yaitu tubuh ( fisik / jasmani) sebagai unsur materi, dan jiwa yang bersifat non materi. Hubungan kerja yang paling intensif dilingkungan organisasi adalah antara pemimpin dengan para pekerja (staf) yang ada di bawahnya. Hubungan kerja semakin penting artinya dalam usaha organisasi mewujudkan eksistensinya dilingkungan tugas yang lebih luas dan kompetetif pada masa yang akan datang.

Sumber daya manusia adalah ujung tombak pelayanan, sangat diandalkan untuk memenuhi standar mutu yang diinginkan oleh wajib pajak dan wajib retribusi. Untuk mencapai standar mutu tersebut, maka harus diciptakan situasi yang mendukung pelayanan yang memuaskan wajib pajak dan wajib retribusi.

Upaya-upaya manusia itu bukan sesuatu yang statis, tetapi terus berkembang dan berubah, seirama dengan dinamika kehidupan manusia, yang berlangsung dalam kebersamaan sebagai suatu masyarakat. Oleh karena itu salah satu situasi yang mendukung adalah seluruh peraturan pengelolaan sumber daya manusia yang berdampak pada perlakuan yang sama kepada pegawai.

Pada dasarnya kebutuhan umum yang dituntut oleh manusia terdiri dari dua macam, yaitu kebutuhan material dan kebutuhan spritual. Pembagian kebutuhan seperti ini terlalu umum untuk dijadikan pedoman dalam memotivasi bawahan. Oleh karena itu, Maslow (dalam Siagian, 1981) menyebutkan 5 tingkatan kebutuhan manusia, yang secara umum dapat dijelaskan sebagi berikut :

  1. Kebutuhan Fisiologis (Physiological Needs), yang termasuk dalam kebutuhan ini, misalnya sandang, pangan, papan, dan tempat berlindung. Kebutuhan ini termasuk kebutuhan primer dan mendesak sifatnya. Untuk itu seorang pimpinan yang ingin insruksi dan perintahnya dilaksanakan hendaknya dapat memenuhi kebutuhan tersebut.
  2. Kebutuhan Keamanan (Safety Needs), yang termasuk dalam kebutuhan ini, misalnya kebutuhan akan keamanan jiwa terutama dalam jam-jam kerja. Kebutuhan akan keamanan kantor ditempat kerja, termasuk jaminan hari tua.
  3. Kebutuhan social (social Needs), yang termasuk pada tingkatan kebutuhan ini, misalnya kebutuhan untuk dihormati, kebutuhan untuk bisa diterima dilingkungan kerja, keinginan untuk maju dan tidak ingin gagal, kebutuhan akan perasaan untuk turut serta memajukan organisasi.
  4.  Kebutuhan Prestise (Esteem Needs). Pada umumnya pegawai akan mempunyai prestise setelah mempunyai prestasi. Dengan demikian prestasi pegawai perlu diperhatikan oleh pimpinan organisasi. Biasanya, pegawai yang telah mempunyai prestasi yang lebih tinggi akan terus berupaya untuk meningkatkan prestasinya secara maksimal.
  5. Kebutuhan mempertinggi kapasitas kerja (Self Actualization). Setiap karyawan pasti ingin mengembangkan kapasitas kerjanya secara optimal, misalnya melalui pendidikan latihan, seminar, dan sebagainya. Kebutuhan-kebutuhan untuk mengembangkan kapasitas kerja tersebut perlu mendapatkan perhatian pimpinan.

Manajemen Sumber Daya Manusia

Tantangan utama dalam mengelola sumber daya manusia adalah mengelola dengan efektif dan menghilangkan praktek-praktek yang tidak efektif. Dalam kondisi seperti itu pimpinan dituntut selalu mengembangkan cara-cara baru untuk dapat menarik dan mempertahankan para pejabat dan staf berkualitas yang diperlukan instansi agar tetap mampu bersaing.

Manajemen sumber daya manusia adalah bagian dari manajemen secara umum, dan lebih menitikberatkan pembahasannya pada pengaturan peranan manusia dalam mewujudkan tujuan optimal. Pengaturan tersebut meliputi masalah perencanaan, pengorganisasian (perancangan dan penugasan kelompok kerja), penyusunan personalia penarikan, seleksi, pengembangan, pemberian kompensasi dan penilaian prestasi kerja), pengarahan motivasi, kepemimpinan, integrasi, dan pengelolaan konflik) dan pengawasan.

Menurut Handoko (2000), manajemen sumber daya manusia adalah penarikan, seleksi, pengembangan, pemeliharaan, dan penggunaan sumber daya manusia untuk mencapai tujuan, baik tujuan individu maupun organisasi. Untuk itu manajemen sumber daya manusia perlu dikelola secara profesional dan baik agar dapat terwujudnya keseimbangan antara kebutuhan pegawai dengan tuntutan perkembangan teknologi dan lingkungan serta kemampuan organisasi. Keseimbangan tersebut merupakan kunci utama suatu organisasi agar dapat berkembang secara produktif dan wajar.

Mondy & Noe (1990) menyebutkan bahwa manajemen sumber daya manusia yaitu merupakan pendayagunaan sumber daya manusia untuk mencapai tujuan organisasi. Oleh karena itu pimpinan dari seluruh tingkatkan terlihat dalam manajemen sumber daya manusia, khususnya dalam era fungsional tertentu, namun mereka bukanlah pimpinan sumber daya manusia. Sedangkan pimpinan sumber daya manusia sesungguhnya bertanggungjawab untuk mengkoordinasikan seluruh manajemen sumber daya manusia pada seluruh fungsi yang ada sebagai usaha untuk mendukung organisasi dalam mencapai tujuannya.

Selain itu tugas utama pimpinan bagian sumber daya manusia adalah meningkatkan kesesuaian antara individu dengan pekerjaan-pekerjaan yang ada. Kualitas kesesuaian ini berpengaruh terhadap kinerja, kepuasan dan perputaran karyawan. Bagian sumber daya manusia yang baik seharusnyapaham cara menggunakan survai sikap dan alat-alat umpan balik yang lain untuk menilai kepuasan karyawan terhadap pekerjaan dan organisasi tempat mereka bekerja. Bagian sumber daya manusia juga seharusnya menggunakan analisis jabatan (job analysis).

Analisis jabatan adalah alat untuk mendapatkan informasi deskriptisi pekerjaan dari segi kualitas dan kuantitas. Deskripsi pekerjaan yang terbaru yang didasarkan pada analisis jabatan yang logis, sangatlah penting bagi proses seleksi, penilaian, pelatihan dan pengembangan karyawan yang tepat.

Menurut Dessler (1997) tanggungjawab manajemen sumber daya manusia agar efektif pelaksanaannya dilakukan sebagai berikut :

  1. Menempatkan orang yang benar pada pekerjaan yang tepat
  2. Memulai pegawai baru dalam organisasi (orientasi)
  3. Melatih pegawai untuk jabatan yang bagi mereka masih baru
  4. Meningkatkan kinerja jabatan dari setiap orang
  5. Mendapatkan kerja sama kreatif dan mengembangkan hubungan kerja sama yang mulus
  6. Menginterpretasikan kebijakan dan prosedur organisasi
  7. Mengendalikan biaya pegawai
  8. Mengembangkan kemampuan dari setiap orang
  9. Menciptakan dan mempertahankan semangat kerja organisasi
  10. Melindungi kesehatan dan kondisi fisik pegawai.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan dari manajemen sumber daya manusia adalah menetapkan kebijaksanaan organisasi untuk apat meningkatkan kontribusi atau peranan lain. Manajemen sumber daya manusia berusaha untuk meningkatkan efektivitas perusahaan melalui kebijaksanaan, prosedur dan metode yang digunakan untuk mengelola orang-orang dalam organisasi tersebut.

Pengembangan Sumber Daya Manusia

Organisasi memandang pentingnya diadakan pengembangan sumber daya manusia sebab pada saat ini karyawan merupakan asset yang sangat penting dalam mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Disamping itu dalam kegiatan pengembangan sumber daya manusia, perlu adanya koordinasi yang cukup baik antara setiap unit kerja yang ada di dalam organisasi dengan bagian kepegawaian. Hal ini penting mengingat bahwa setiap unit kerja lebih mengetahui kebutuhan pengembangan yang bersifat pengetahuan dan ketrampilan teknis rai pegawai yang berada di bawahnya. Oleh karena itu, bagian kepegawaian dalam hal ini pengembangan tersebut berperan sebagai pendukung dalam pelaksanaan aktivitas pengembangan dan berhubungan dengan peningkatan ketrampilan dan pengetahuan teknis dari setiap unit kerja, bagian kepegawaian dapat melakukan perencanaan pengembangan karier pegawai agar organisasi memiliki pegawai yang siap pakai pada saat dibutuhkan untuk posisi atau jabatan baru.

Dalam tahap pengembangan sumber daya manusia ini terdapat dua aspek kegiatan penting yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, yakni kegiatan pelatihan dan kegiatan pengembangan sumber daya manusia itu sendiri yang dimaksudkan agar potensi yang dimiliki pegawai dapat digunakan secara efektif. Kegiatan pelatihan dipandang sebagai awal yaitu dengan diadakannya proses orientasi yang kemudian dilanjutkan secara berkelanjutan selama pegawai tersebut berada di dalam organisasi.

CIDA (Canadian International Development Agency) seperti dikutip oleh Effendi (1993) mengemukakan bahwa pengembangan sumber daya manusia menekankan manusia baik sebagai alat (means) maupun sebagai tujuan akhir pembangunan. Dalam jangka pendek, dapat diartikan sebagai pengembangan pendidikan dan pelatihan untuk memenuhi segera tenaga ahli tehnik, kepemimpinan, tenaga administrasi. Pengertian di atas meletakan manusia sebagai pelaku dan penerima pembangunan. Tindakan yang perlu dilakukan dalam jangka pendek adalah memberikan pendidikan dan latihan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja terampil. Dalam hal ini Effendi (1992) mengemukakan bahwa meskipun unsur kesehatan dan gizi, kesempatan kerja, lingkungan hidup yang sehat, pengembangan karir ditempat kerja, dan kehidupan politik yang bebas termasuk pendukung dalam pengembangan sumber daya manusia, pendidikan dan pelatihan merupakan unsur terpenting dalam pengembangannya.

Demikian pula Martoyo (1992) mengemukakan bahwa setiap organisasi apapun bentuknya senantiasa akan berupaya dapat tercapainya tujuan organisasi yang bersangkutan dengan efektif dan efisien. Efisiensi maupun efektivitas organisasi sangat tergantung pada baik dan buruknya pengembangan sumber daya manusia/anggota organisasi itu sendiri. Ini berarti bahwa sumber daya manusia yang ada dalam organisasi tersebut secara proporsional harus diberikan pendidikan dan latihan yang sebaik-baiknya, bahkan harus sesempurna mungkin.

Dari beberapa pendapat yang telah dikemukan dapat disimpulkan bahwa pengembangan sumber daya manusia meliputi : unsur kesehatan dan gizi, kesempatan kerja, lingkungan hidup sehat, pengembangan karir ditempat kerja, kehidupan politik yang bebas, serta pendidikan dan pelatihan. Berdasarkan unsur-unsur tersebut, pendidikan dan pelatihan merupakan unsur terpenting dalam pengembangan sumber daya manusia. Sesuai dengan kesimpulan ini, maka yang dimaksud dengan pengembangan sumber daya manusia melalui upaya pelaksanaan pendidikan dan pelatihan.

Mengenai arti pentingnya pengembangan sumber daya manusia Heidjrachman dan Husnan (1993) mengemukakan bahwa sesudah karyawan diperoleh, sudah selayaknya kalau mereka dikembangkan. Pengembangan ini dilakukan untuk meningkatkan keterampilan melalui latihan (training), yang diperlukan untuk dapat menjalankan tugas dengan baik. Kegiatan ini makin menjadi penting karena berkembangnya teknologi dan makin kompleksnya tugas-tugas pimpinan.

Hingga hasil temuan dari Taylor sebagai bapak Scientific Management, orang masih beranggapan bahwa pengembangan pegawai bukanlah tugas dari para pimpinan. Pendapat yang demikian itu, dalam praktek dewasa ini masih dianut oleh segolongan pemimpin terlebih-lebih mereka yang belum menyadari betapa peranan pengembangan pegawai itu sebagai salah satu cara terbaik untuk merealisir tujuan organisasi yang dipimpinnya.

Untuk bahagian yang lebih besar, para pemimpin dewasa ini telah menyadari bahwa merupakan tugas mereka untuk mengembangkan bawahannya. Jadi dengan demikian jelaslah perkembangan seorang pegawai dalam suatu organisasi banyak ditentukan oleh pimpinan atau atasan.

Bahkan pengembangan sumber daya manusia merupakan keharusan mutlak, seperti yang dikemukakan oleh Siagian (1993) bahwa baik untuk menghadapi tuntutan tugas sekarang maupun dan terutama untuk menjawab tantangan masa depan, pengembangan sumber daya manusia merupakan keharusan mutlak.
Tujuan pengembangan sumber daya manusia menurut Martoyo (1992) adalah dapat ditingkatkannya kemampuan, keterampilan dan sikap karyawan/anggota organisasi sehingga lebih efektif dan efisien dalam mencapai sasaran-sasaran program ataupun tujuan organisasi.

Menurut Manullang (1980), tujuan pengembangan pegawai sebenarnya sama dengan tujuan latihan pegawai. Sesungguhnya tujuan latihan atau tujuan pengembangan pegawai yang efektif, adalah untuk memperoleh tiga hal yaitu : (1) menambah pengetahuan; (2) menambah ketrampilan; (3) merubah sikap.

Sedangkan manfaat dan tujuan dari kegiatan pengembangan sumber daya manusia menurut Schuler (1992), yaitu :

  1. Mengurangi dan menghilangkan kinerja yang buruk
    Dalam hal ini kegiatan pengembangan akan meningkatkan kinerja pegawai saat ini, yang dirasakan kurang dapat bekerja secara efektif dan ditujukan untuk dapat mencapai efektivitas kerja sebagaimana yang diharapkan oleh organisasi.
  2. Meningkatkan produktivitas
    Dengan mengikuti kegiatan pengembangan berarti pegawai juga memperoleh tambahan ketrampilan dan pengetahuan baru yang bermanfaat bagi pelaksanaan pekerjaan mereka. Dengan semikian diharapkan juga secara tidak langsung akan meningkatkan produktivitas kerjanya.
  3. Meningkatkan fleksibilitas dari angkatan kerja
    Dengan semakin banyaknya ketrampilan yang dimiliki pegawai, maka akan lebih fleksibel dan mudah untuk menyesuaikan diri dengan kemungkinan adanya perubahan yang terjadi dilingkungan organisasi. Misalnya bila organisasi memerlukan pegawai dengan kualifikasi tertentu, maka organisasi tidak perlu lagi menambah pegawai yang baru, oleh Karena pegawai yang dimiliki sudah cukup memenuhi syarat untuk pekerjaan tersebut.
  4. Meningkatkan komitmen karyawan
    Dengan melalui kegiatan pengembangan, pegawai diharapkan akan memiliki persepsi yang baik tentang organisasi yang secara tidak langsung akan meningkatkan komitmen kerja pegawai serta dapat memotivasi mereka untuk menampilkan kinerja yang baik.
  5. Mengurangi turn over dan absensi
    Bahwa dengan semakin besarnya komitmen pegawai terhadap organisasi akan memberikan dampak terhadap adanya pengurangan tingkat turn over absensi. Dengan demikian juga berarti meningkatkan produktivitas organisasi.

Jika disimak dari pendapat para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan pengembangan pegawai, pada umumnya adalah sebagai berikut :
a) Agar pegawai dapat melakukan pekerjaan lebih efisien.
b) Agar pengawasan lebih sedikit terhadap pegawai.
c) Agar pegawai lebih cepat berkembang.
d) Menstabilisasi pegawai.

Untuk mengembangkan potensi pegawai melalui kesempatan menjalani penugasan pada jabatan-jabatan hirarki, dari yang sederhana sampai yang kompleks. Disamping itu bagi para pegawai juga diikut sertakan dalam pendidikan dan pelatihan.

Apabila pegawai dilatih dan selama proses latihan atau pengembangan, pegawai diberitahu atau ditambah pengetahuannya bagaimana cara terbaik dalam melakukan sesuatu pekerjaan atau kegiatan tertentu. Bila cara terbaik untuk mengerjakan sesuatu itu benar-benar dikuasai oleh pegawai yang bersangkutan, maka dalam melaksanakan pekerjaan itu dia akan lebih efisien mengerjakannya jika dibandingkan dengan cara mengerjakannya sebelum ia mengikuti latihan yang bersangkutan.

Selanjutnya pegawai yang lebih trampil atau lebih mempunyai pengetahuan dalam mengerjakan sesuatu pekerjaan oleh pimpinan tidak perlu selalu mengawasinya. Jika pegawai dilatih atau dikembangkan yang salah satu tujuannya agar pimpinan dapat mengurangi pengawasannya terhadap pegawai tersebut.

Program-program pendidikan dan pengembangan SDM diarahkan pada pemeliharaan dan peningkatan kinerja pegawai. Program pendidikan adalah suatu proses yang di desain untuk memelihara ataupun meningkatkan kinerja pegawai. Program pengembangan adalah suatu proses yang didisain untuk mengembangkan kecakapan yang diperlukan bagi aktivitas kerja dimasa datang. Ada perbedaan pengertian antara peningkatan dengan pengembangan kinerja pegawai. Peningkatan mengacu pada kuantitas, yaitu meningkatnya kemampuan baru bagi pekerja.

Sedangkan manfaat dari pengembangan pegawai dapat dilihat dalam dua sisi yaitu : Dari sisi individu pegawai yang memberi manfaat sebagai berikut :

  1. Menambah pengetahuan terutama penemuan terakhir dalam bidang ilmu pengetahuan yang bersangkutan, misalnya prinsip-prinsip dan filsafat manajemen yang terbaik dan terakhir.
  2. Menambah dan memperbaiki keahlian dalam bidang tertentu sekaligus memperbaiki cara-cara pelaksanaan yang lama.
  3. Merubah sikap.
  4. Memperbaiki atau menambah imbalan/balas jasa yang diperoleh dari organisasi tempat bekerja.

Sedangkan dari sisi organisasi, pengembangan pegawai dapat memberi manfaat sebagai berikut :

  1. Menaikkan produktivitas pegawai.
  2. Menurunkan biaya.
  3. Mengurangi turnover pegawai
  4. Kemungkinan memperoleh keuntungan yang lebih besar, karena direalisirnya ketiga manfaat tersebut terlebih dahulu.

Manullang (1980) mengatakan bahwa dalam suatu organisasi, sesungguhnya ada tiga golongan yang bertanggungjawab terhadap pengembangan pegawai, yaitu :

  1. Pegawai yang bersangkutan.
  2. Atasan atau pimpinan pegawai yang bersangkutan.
  3. Staf pelaksana pada semua bagian.

Setiap pegawai mempunyai tanggung jawab untuk mengembangkan dirinya sendiri. Selama masih ada kemungkinan, setiap pegawai ingin untuk menambah pengetahuan, ketrampilan atau merobah sikap sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan. Tanpa keinginan itu, pegawai tersebut bersifat statis.

Atasan atau pimpinan bertanggungjawab untuk mengembangkan bawahannya. Sebab bawahan yang ada mempunyai berbagai karakter yang berbeda, maka sesungguhnya tanggungjawab terbesar berada ditangan pemimpin yang bersangkutan. Dengan disadarinya arti penting pengembangan sumber daya manusia oleh pimpinan, maka akan lebih memudahkan dalam merealisasikan tujuan yang telah ditetapkan oleh organisasi yang dipimpinnya.

Pendidikan dan Pelatihan
Ada beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli yang berkenaan dengan pendidikan dan pelatihan. Notoatmodjo (1992) mengemukakan bahwa pendidikan dan pelatihan adalah merupakan upaya untuk pengembangan sumber daya manusia, terutama untuk pengembangan aspek kemampuan intelektual dan kepribadian manusia. Penggunaan istilah pendidikan dan pelatihan dalam suatu institusi atau organisasi biasanya disatukan menjadi diklat (pendidikan dan pelatihan). Unit yang menangani pendidikan dan pelatihan pegawai lazim disebut PUSDIKLAT (Pusat pendidikan dan Pelatihan).

Simanjuntak mengemukakan bahwa pendidikan dan pelatihan merupakan salah satu faktor yang penting dalam pengembangan sumber daya manusia. Pendidikan dan pelatihan tidak saja menambah pengetahuan, akan tetapi juga meningkatkan keterampilan bekerja, dengan demikian meningkatkan produktivitas kerja.

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pengembangan sumber daya manusia dalam suatu organisasi adalah upaya peningkatan kemampuan pegawai yang dalam penelitian ini dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan dalam rangka mencapai tujuan organisasi secara efisien dan efektif.

Selanjutnya ada yang membedakan pengertian pendidikan dan pelatihan, antara lain Notoatmodjo. Menurut Notoadmodjo (1992) pendidikan di dalam suatu organisasi adalah suatu proses pengembangan kemampuan ke arah yang diinginkan oleh organisasi yang bersangkutan. Sedang pelatihan merupakan bagian dari suatu proses pendidikan, yang tujuannya untuk meningkatkan kemampuan atau keterampilan khusus seseorang atau kelompok orang.

Westerman dan Donoghue (1992) memberikan pengertian pelatihan sebagai pengembangan secara sistimatis pola sikap/pengetahuan/keahlian yang diperlukan oleh seseorang untuk melaksanakan tugas atau pekerjaannya secara memadai.
Sedangkan Latoirner seperti dikutip oleh Saksono (1993) mengemukakan bahwa para pegawai dapat berkembang lebih pesat dan lebih baik serta bekerja lebih efisien apabila sebelum bekerja mereka menerima latihan di bawah bimbingan dan pengawasan seorang instruktur yang ahli.  Otto dan Glasser (dalam Martoyo, 1992) menggunakan istilah “training” (latihan) untuk usaha-usaha peningkatan pengetahuan maupun keterampilan pegawai, sehingga didalamnya sudah menyangkut pengertian “education” (pendidikan).
Mengenai perbedaan pengertian pendidikan dan pelatihan Martoyo (1992) mengemukakan bahwa meskipun keduanya ada perbedaan-perbedaan, namun perlu disadari bersama bahwa baik training (latihan) maupun development (pengembangan/pendidikan), kedua-duanya menekankan peningkatan keterampilan ataupun kemampuan dalam human relation.

Pendidikan pada umumnya berkaitan dengan mempersiapkan calon tenaga yang diperlukan oleh suatu instansi atau organisasi, sedangkan pelatihan lebih berkaitan dengan peningkatan atau keterampilan pegawai yang sudah menduduki suatu pekerjaan atau tugas tertentu. Dalam suatu pelatihan orientasi atau penekanannya pada tugas yang harus dilaksanakan (job orientation), sedangkan pendidikan lebih pada pengembangan kemampuan umum.

Dalam rangka meningkatkan pengetahuan, ketrampilan serta sikap-sikap kerja yang kondusif bagi penampilan kinerja pegawai, diselenggarakan pendidikan dan pelatihan pegawai, dan diklat pegawai ini didasarkan atas analisis kebutuhan yang memadukan kondisi nyata kualitas tertentu selaras dengan program rencana jangka panjang organisasi.

Sementara itu sebagai akibat perkembangan zaman yang terus bergulir, dimana permasalahan yang dihadapi menjadi semakin kompleks dan krusial, dipandang bahwa pendekatan sektoral (partial) seperti yang diberlakukan selama ini memiliki hal-hal yang perlu dilengkapi dalam berbagai aspek. Pendekatan yang lebih mendasarkan pada spesialisasi fungsi yang diemban aparatur pemerintah tersebut, sebagaimana telah dijabarkan dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan yang ditetapkan Menteri Dalam Negeri tampak lebih bersifat terapi dan mengacu kepada urgensitas permasalahan yang dihadapi.

Ada dua strategi pendidikan / pelatihan yang dapat dilakukan organisasi, yaitu pendidikan yang dilakukan didalam organisasi tempat kerja pegawai (on the job training) dan pendidikan yang dilakukan diluar tempat kerja pegawai (off the job training). Strategi atau Metode “on the job training” dilakukan oleh instansi kepada pegawai dengan tetap bekerja sambil mengikuti pendidikan / pelatihan. Kegiatan ini meliputi rotasi kerja dimana pegawai pada waktu tertentu melakukan suatu rangkaian pekerjaan (job rotation). Pegawai secara internal dilatih dan dibimbing oleh pegawai lain yang berkemampuan tinggi dan mempunyai kewenangan melatih (Wilson,dkk,1983; Sloane dan Witney,1988). Menurut Wilson (1983) ; Sloane dan Witney (1988) metode “off the job training” di lakukan diluar tempat kerja pegawai. Pendidikan / latihan mengacu pada simulasi pekerjaan yang sebenarnya. Tujuannya adalah untuk menghindarkan tekanan-tekanan yang mungkin mempengaruhi jalannya proses belajar. Metode ini dapat juga dilakukan didalam kelas dengan seminar, kuliah dengan pemutaran film tentang pendidikan sumber daya manusia.

“Job rotation” berkaitan dengan pemindahan sementara seorang / sekelompok pegawai dari satu posisi ke posisi lain, sehingga mereka dapat memperluas pengalaman terhadap berbagai aspek operasional instansi. Aktivitas kerja berkaitan dengan pemberian tugas yang penting kepada peserta pendidikan untuk mengembangkan pengalaman dan kecakapan.

Berdasarkan pembicaraan mengenai pengembangan SDM di atas, maka dapat disimpulkan bahwa SDM merupakan komponen terpenting dalam instansi / organisasi. Penggunaan mesin-mesin berteknologi tinggi tidak bermakna tanpa SDM menjadi prioritas utama yang perlu diperhatikan. Sumber daya manusia yang berkualitas akan mengelola instansi dengan baik pula. Pengelolaan di sini adalah pengelolaan disemua bidang pekerjaan, termasuk pelayanan dan perencanaan.
Cara meningkatkan dan mengembangkan SDM dengan pendidikan/ pelatihan, baik melalui on the job training maupun off the job training.

Manajemen Strategi

Manajemen stratejik merupakan proses atau rangkaian kegiatan pengambilan keputusan yang bersifat mendasar dan menyeluruh, disertai penetapan cara melaksanakannya, yang dibuat oleh pimpinan dan diimplementasikan oleh seluruh jajaran di dalam suatu organisasi, untuk mencapai tujuan.

Menurut Pearch dan Robinson (1997) dikatakan bahwa manajemen stratejik adalah kumpulan dan tindakan yang menghasilkan perumusan (formulasi) dan pelaksanaan (implementasi) rencana-rencana yang dirancang untuk mencapai sasaran-sasaran organisasi. 
Sedangkan pengertian manajemen stratejik menurut Nawawi adalah perencanaan berskala besar (disebut perencanaan strategi) yang berorientasi pada jangkauan masa depan yang jauh (disebut visi), dan ditetapkan sebagai keputusan pimpinan tertinggi (keputusan yang bersifat mendasar dan prinsipil), agar memungkinkan organisasi berinteraksi secara efektif (disebut misi), dalam usaha menghasilkan sesuatu (perencanaan operaional untuk menghasilkan barang dan/atau jasa serta pelayanan) yang berkualitas, dengan diarahkan pada optimalisasi pencapaian tujuan (disebut tujuan strategis) dan berbagai sasaran (tujuan operasional) organsasi.

Dari pengertian-pengertian yang cukup luas tersebut menunjukkan bahwa manajemen stratejik merupakan suatu sistem yang sebagai satu kesatuan memiliki berbagai komponen yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi, dan bergerak secara serentak (bersama-sama) kearah yang sama pula. Komponen pertama adalah perencanaan strategi dengan unsur-unsurnya yang terdiri dari visi, misi, tujuan dan strategi utama organisasi. Sedangkan komponen kedua adalah perencanaan operasional dengan unsure-unsurnya sasaran dan tujuan operasional, pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen berupa fungsi pengorganisasian, fungsi pelaksanaan dan fungsi penganggaran, kebijaksanaan situsional, jaringan kerja internal dan eksternal, fungsi kontrol dan evaluasi serta umpan balik.

Disamping itu pengertian manajemen strategik yang telah sebutkan terakhir dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu :

  1. Manajemen strategi diwujudkan dalam bentuk perencanaan berskala besar dalam arti mencakup seluruh komponen dilingkungan sebuah organisasi yang dituangkan dalam bentuk rencana strategis (Renstra) yang dijabarkan menjadi perencanaan operasional, yang kemudian dijabarkan pula dalam bentuk program kerja dan proyek tahunan.
  2. Renstra berorientasi pada jangkauan masa depan.
  3. Visi, misi, pemilihan strategi yang menghasilkan strategi induk, dan tujuan strategi organisasi untuk jangka panjang merupakan acuan dalam merumuskan rencana strategi, namun dalam teknik penempatannya sebagai keputusan manajemen puncak secara tertulis semua acuan tersebut terdapat didalamnya.
  4. Renstra dijabarkan menjadi rencana operasional yang antara lain berisi program-program operasional termasuk proyek-proyek, dengan sasaran jangka sedang masing-masing juga sebagai keputusan manajemen puncak.
  5. Penetapan renstra dan rencana operasi harus melibatkan manajemen puncak karena sifatnya sangat mendasar/prinsipil dalam pelaksanaan seluruh misi organisasi, untuk mewujudkan, mempertahankan dan mengembangkan eksistensi jangka sedang termasuk panjangnya.
  6. Pengimplementasian strategi dalam program-program termasuk proyek-proyek untuk mencapai sasarannya masing-masing dilakukan melalui fungsi-fungsi manajemen lainnya yang mencakup pengorganisasian, pelaksanaan, penganggaran dan kontrol.

Dimensi Manajemen Strategi
Manajemen strategi mempunyai beberapa dimensi atau bersifat multidimensional. Dimensi dimaksud adalah :

1. Dimensi waktu dan orientasi masa depan
Manajemen strategi dalam mempertahankan dan mengembangkan eksistensi suatu organisasi berpandangan jauh ke masa depan, dan berperilaku proaktif dan antisipatif terhadap kondisi masa depan yang diprediksi akan dihadapi. Antisipasi masa depan tersebut dirumuskan dan ditetapkan sebagai visi organisasi yang akan diwujudkan 10 tahun atau lebih masa depan. Visi dapat diartikan sebagai “ kondisi ideal yang ingin dicapai dalam eksistensi organisasi dimasa depan”.
Sehubungan dengan hal di atas Lonnie Helgerson yang dikutip Salusu menyatakan bahwa “ Visi adalah gambaran kondisi masa depan dari suatu organisasi yang belum tampak sekarang tetapi merupakan konsepsi yang dapat dibaca oleh setiap orang (anggota organisasi). Visi memiliki kekuatan yang mampu mengundang, memanggil, dan menyerukan pada setiap orang untuk memasuki masa depan. Visi organisasi harus dirumuskan oleh manajemen puncak (pucuk pimpinan) organisasi”.

2. Dimensi Internal dan Eksternal
Dimensi internal adalah kondisi organisasi non profit pada saat sekarang, berupa kekuatan, kelemahan, peluang dan hambatan yang harus diketahui secara tepat untuk merumuskan renstra yang berjangka panjang. Analisis terhadap lingkungan eksternal terdiri dari lingkungan operasional, lingkungan nasional dan lingkungan global (internasional), yang mencakup berbagai aspek atau kondisi, seperti kondisi sosial politik, sosial ekonomi, sosial budaya, kependudukan, kemajuan dan perkembangan ilmu dan teknologi, adat istiadat, agama dan lain-lain.

3. Dimensi Pendayagunaan Sumber-Sumber
Manajemen strategik sebagai kegiatan manajemen tidak dapat melepaskan diri dari kemampuan mendayagunakan berbagai sumber daya yang dimiliki, agar secara terintegrasi terimplementasikan dalam fungsi-fungsi manajemen ke arah tercapainya sasaran yang ditetapkan di dalam setiap rencana operasional, dalam rangka mencapai tujuan strategik melalui pelaksanaan misi untuk mewujudkan visi organisasi publik. Sumber daya terdiri dari sumber daya material khusunya berupa sarana dan prasarana, sumber daya finansial dalam bentuk alokasi dana untuk setiap program dan proyek, sumber daya manusia, sumber daya teknologi dan sumber daya informasi.

4. Dimensi Keikutsertaan Manajemen Puncak
Manajemen strategik yang dimulai dengan menyusun rencana strategik merupakan pengendalian masa depan organisasi, agar eksistensi sesuai dengan visinya dapat diwujudkan, baik pada organisasi yang bersifat privat maupun publik. Rencana strategik harus mampu mengakomodasi seluruh aspek kehidupan organisasi yang berpengaruh pada eksistensinya dimasa depan merupakan wewenang dan tanggungjawab manajemen puncak. Oleh karena itu rencana strategik sebagai keputusan utama yang yang prinsipil itu tidak saja ditetapkan dengan mengikutsertakan, tetapi harus dilakukan secara proaktif oleh manajemen puncak, karena seluruh kegiatan untuk merealisasikannya merupakan tanggungjawabnya sebagai pimpinan tertinggi, meskipun kegiatannya dilimpahkan pada organisasi atau satuan unit kerja yang relevan.

5. Dimensi Multi Bidang
Manajemen strategik sebagai sistem pengimplementasiannya harus didasari dengan menempatkan organisasi satu sistem. Dengan demikian berarti sebuah organisasi akan dapat menyusun rencana strategis dan rencana renovasi jika tidak memiliki keterikatan atau ketergantungan sebagai bawahan pada organisasi lain sebagai atasan.
Rencana strategis dan rencana operasi bersifat multidimensi, terutama jika perumusan rencana strategis hanya dilakukan pada organisasi publik yang tertinggi. Dengan dimensi yang sangat banyak itu, mudah terjadi tidak seluruh dimensi dapat diakomodasi.

Amstrong (1990) memberikan pengertian yang lebih singkat dan tegas bahwa pengembangan sumber daya manusia adalah mengenai latihan dan pengembangan. Sumber daya manusia menurut Mangun (dalam Suroto,1992) ialah semua kegiatan manusia yang produktif dan semua potensinya untuk memberikan sumbangan yang produktif kepada masyarakat. Kualitas sumber daya manusia menyangkut dua aspek yaitu aspek fisik(kualitas fisik), dan aspek non fisik (kualitas non fisik) yang menyangkut kemampuan bekerja, berpikir, dan ketrampilan–ketrampilan lain. Oleh sebab itu upaya meningkatkan kualitas atau kemampuan-kemampuan non fisik tersebut maka upaya pendidikan dan pelatihan adalah yang paling diperlukan. Upaya inilah yang dimaksudkan dengan pengembangan sumber daya manusia (Notoatmojo,1992).

MANAGING ACROSS CULTURES


Seiring dengan kemajuan ilmu dan pengetahuan yang diwujudkan dalam perkembangan dibidang teknologi, juga ledakan demokrasi di negara-negara yang semula hidup di bawah tekanan kolonialisme, feodalisme maupun berbagai bentuk kediktatoran, membuka kesempatan bagai beratus juta manusia di dunia untuk berpartisipasi secara bebas dalam hubungan internasional.

Peningkatan intensitas secara drastis dalam hubungan internasional, baik hubungan politik, diplomasi, militer, hukum atau ekonomi membawa kosekuensi pada peningkatan intensitas hubungan lintas budaya. Dalam konteks ini, terutama dalam hubungan bisnis, fenomena tersebut memunculkan kebutuhan akan perlunya pemahaman atas manajemen lintas budaya.

Manajemen lintas budaya menyajikan topik bahasan tentang strategi dan kecakapan khusus tentang seluk beluk perbedaan-perbedaan budaya untuk menuju sinergi budaya, baik dalam kepentingan bisnis, ekonomi, politik, maupun kepentingan-kepentingan lainnya. Bagi pihak-pihak yang berkepentingan (terutama para manajer MNC), pemahaman atas manajemen lintas budaya merupakan bekal yang mutlak dikuasai untuk tetap mampu bersaing dalam kompetisi bisnis internasional yang semakin keras dan ketat.

Analisis Cross Cultural


Analisis ini sering disebut pula comparative management, mulai dikembangkan pada awal dekade tujuhpuluhan, seiring dengan semakin besarnya pengaruh budaya di berbagai negara terhadap perkembangan MNC. Tujuan utama pengembangan analisis ini adalah :
a) Menelaah perbedaan antar berbagai budaya dan dampaknya terhadap proses pengambilan keputusan.
b) Menelaah persamaan antar berbagai budaya yang dapat dipergunakan untuk pengambilan keputusan yang bersifat universal.
Dalam perkembangannya, analisis ini terkategori dalam dua model pemikiran mengenai penjelasan “keberadaan budaya” dalam ilmu manajemen, yaitu model Farmer-Richman (1965) dan model Negandhi-Prasad (1971).

Model Farmer-Richman dikembangkan pada saat berbagai pihak (termasuk MNC yang sudah terbentuk pada saat itu) masih mengabaikan akan perlunya pengkajian atas aspek budaya dalam hubungan internasionalnya. Sedangkan model Negandhi-Prasad muncul pada saat berbagai pihak mulai memperhatikan perlunya analisis budaya.

Pada kedua model tersebut terdapat beberapa perbedaan pendekatan dalam hal menunjukan pentingtidaknya kedudukan budaya dalam manajemen. Model Farmer-Richman menegaskan bahwa budaya merupakan variabel utama dalam menentukan efektifitas manajerial dan organisasional, sedangkan model Negandhi-Prasad menyatakan bahwa philosophy of management adalah merupakan suatu variabel yang bersifat independen dan cenderung tidak terpengaruh secara langsung oleh aspek budaya.
Perbedaan berikutnya adalah dalam menyebut dan mengkategorisir faktor-faktor pembentuk budaya. Kedua model tersebut menunjukan bahwa aspek-aspek pendidikan, sosiologi, politik dan legal membentuk sesuatu yang mereka kategorikan sebagai “budaya”. Dimana Farmer-Richman menyebutnya dengan external costraints, sedangkan Negandhi-Prasad menyebut aspek-aspek tersebut sebagai enviromental factor.
Model Negandhi-Prasad tersebut pada dasarnya adalah merupakan kontra argumen terhadap model Farmer-Richman. Menurut Farmer-Richman, bila faktor budaya dianggap sebagai faktor penentu pokok dalam kemangkusan manajemen, maka kemangkusan di keseluruhan sektor dalam suatu negara (dengan budaya yang sama) akan sama pula. Negandhi-Prasad menyatakan bahwa anggapan pemikiran tersebut adalah merupakan suatu kejanggalan.

Pada dasarnya model-model dalam anasisis cross cultural bertujuan untuk mencari jawaban atas pengaruh (baik yang bersifat langsung atau tidak langsung) terhadap kemangkusan dan kesangkilan manajemen. Pada setiap model ditemukan bahwa bagaimanapun juga pada akhirnya pelaksanaan keseluruhan fungsi manajemen sangat ditentukan oleh pola pikir para pelaksana fungsi-fungsi tersebut, yang secara alamiah telah terbentuk oleh latar belakang budaya mereka.

Kepemimpinan dalam Manajemen Lintas Budaya

Woodrow Sears, seorang konsultan manajemen dari California, menyampaikan suluhannya kepada kliennya bahwa : (Elashmawi, 1996 : 14)
a) “Kepemimpinan” adalah penciptaan struktur yang memungkinkan orang-orang untuk mengambil bagian dalam mencapai tujuan-tujuan yang bernilai.
b) “Manajemen” dapat dirumuskan sebagai “harapan/pengawasan”, yang berarti bahwa para manajer harus mangkus dalam menciptakan dan memperjelas harapan atas pelaksanaan tugas dengan para bawahan atau rekan sekerja, kemudian mereka mengadakan perundingan dan melakukan pengawasan untuk meyakinkan bahwa pekerjaan diseleksaikan dengan baik. Amatlah disayangkan bahwa prasangka, kefanatikan, kebodohan dalam organisasi atau manajemen dibiarkan merongrong sumbangan dan perkembangan maksimal karyawan.

Praktek manajemen lintas budaya berpusat di sekitar kepentingan manusia. Dalam buku Human Side of Enterprise, McGregor mengatakan bahwa selama lebih dari empatpuluh tahun para ilmuwan di bidang perilaku manusia (behavioral) telah menyampaikan pesan itu kepada para manajer, tetapi baru sekarang banyak dari mereka sungguh-sungguh mulai mendengarkan dan menterjemahkan konsep tersebut ke dalam tindakan operasional.

Banyak manajer lokal kembali mempelajari pandangan-pandangan semacam itu pada waktu mereka ke luar negeri dan mengamati manajemen seperti dipraktekkan di dalam budaya-budaya lain. Sebagai contoh, penerapan oleh orang Jepang atas konsep “gugus kendali mutu” (quality circle) yang mula-mula dikemukakan oleh WE Dening, seorang insinyur perindustrian dari Amerika, yang menyebabkan orang-orang senegerinya dengan serius memanfaatkan teknik kelompok ini.

Sebaliknya pada kasus yang lain, para manajer di Amerika pada awal dekade sembilanpuluhan sangat antusias mempelajari lagi tentang pentingnya “modal manusia” dan kerjasama karyawan/manajemen dari rekan-rekan Asia mereka. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Alan Binder sebagai berikut : (Business Week, 11 November 1991, p22)

Orang Jepang agaknya telah berhasil mengatasi “rintangan kami melawan mereka” yang sedemikian merusak hubungan kerja dalam perusahaan-perusahaan Amerika dan Eropa. Mereka melakukannya dengan menciptakan perasaan bahwa karyawan dan manajemen mempunyai nasib yang sama … bahwa lembaga usaha Jepang yang berjalan dengan baik adalah dari oleh dan bagi orang-orangnya.

Maka perusahaan-perusahaan Jepang melatih para karyawannya, menjamin keamanan kerja, dan memberi jalur karier yang leluasa jika perusahaan berkembang. Jarang kalangan CEO Jepang bersikap sebagai diktator; banyak perusahaan terkenal dijalankan dengan konsensus. Pekerjaan diatur oleh tim yang terdiri atas jajaran eksekutif sampai karyawan paling bawah. Konsultasi antara pekerja dan manajemen terjadi disegala tingkat. Para pekerja Jepang bekerjasama dengan manajemen karena kesejahteraan mereka terikat dengan perusahaan. Sedikit banyak hal yang akan membuat orang Amerika pada umumnya terheran-heran adalah bahwa perusahaan-perusahaan Jepang yang besar dijalankan lebih demi kesejahteraan para karyawannya daripada demi para pemegang sahamnya. Ini berarti memberi tunjangan tambahan yang besar, maupun pelatihan dan keamanan. Dalam hal mengelola sumberdaya manusia, menurut hemat saya, orang Amerika dapat belajar banyak dari Jepang.

Pelajaran di sini adalah bahwa para manajer lokal dapat belajar banyak dari cara orang-orang asing memandang praktek manajemen kita, meskipun dari sistim manajemen dari negara-negara lain.

Benturan Budaya pada Joint Venture dengan Mitra dari Negara non Kapitalis
Ketika manajemen dan pekerja merupakan produk ekonomi tersentralisir (komunis, sosialis maupun bentuk lainnya), manajemen dan pekerja dari masyarakat perdagangan bebas dan dermokratis akan langsung merasakan perbedaan-perbedaan yang dramatis dalam sudut pandang pada waktu mereka berusaha melakukan kesepakatan joint venture dengan mereka. Ekonomi sentralistis secara struktural maupun kultural telah dikondisikan pada cara berpikir dan bertindak birokratis; mereka tidak terbiasa dengan konsep-konsep seperti pelayanan kepada konsumen, tanggung jawab perorangan dan keuntungan.

Bahkan ketika pemerintah mengalami peralihan menuju kebentuk yang lebih terbuka dan demokratis, rakyat menanggung dampak dari masa lalu. Warga negara semacam itu mungkin mencari nilai-nilai yang lebih humanistis di tempat kerja, tetapi selama bertahun-tahun mereka telah dipengaruhi oleh sistim yang menuntut bahwa setiap keputusan penting harus disetujui oleh otoritas yang lebih tinggi. Dalam hal ini, sekali keputusan kelompok sudah dibuat, keputusan itu dianggap mutlak sebagai suatu kebenaran dan tidak dapat diganggu gugat.

Kesalahan manajemen dan ketimpangan sumberdaya dalam ekonomi yang tersentralisir menyajikan rintangan yang mengerikan. Pelatihan kembali (retraining), meskipun memerlukan biaya yang cukup besar adalah merupakan kunci keberhasilan, dengan para pekerja berbakat dari masyarakat yang sedang dalam masa transisi.
Dengan demikian pengembangan sumberdaya manusia haruslah dalam hal-hal yang lebih banyak meliputi pelatihan dalam kreatifitas, inovasi, insentif dan ganjaran untuk pengembangan karir, pengambilan resiko dan belajar dari kegagalan. Untuk menghasilkan sinergi budaya dalam joint venture itu, “orang-orang demokrat” yang baru tampil itu merlu mempelajari budaya usaha bebas dan pelayanan kepada konsumen.

Membangun Dialog antar Peradaban (Spektrum Politik)

Di masa depan, pelbagai konflik antar bangsa akan didominasi oleh hegemoni/arogansi peradaban Barat, intoleransi peradaban Islam dan fanatisme peradaban Konfusiusisnisme. Lebih jauh, Huntington (2000) menjelaskan, sedikitnya ada enam alasan mengapa terjadi perang antar peradaban di masa depan. Pertama, perbedaan antar peradaban itu sudah sangat mendasar dan menjadi makin berseberangan karena sejarah, bahasa, budaya, tradisi dan agama. Kedua, dunia sudah semakin menyempit sehingga interaksi antara orang yang berbeda peradaban semakin meningkat. Ketiga, proses modernisasi ekonomi dan perubahan dunia membuat masyarakat tercerabut dari identitas lokal. Negara-bangsa sebagai sumber identitas mereka, sudah makin melemah. Keempat, peran peradaban Barat yang begitu dominan, telah membuat peradaban non-Barat berreaksi kembali ke fenomena asal. Kelima, karakteristik dan perbedaan budaya sudah kurang bisa menyatu. Dan keenam, regionalisme ekonomi semakin meningkat.

Huntington melihat, banyak aspek keagamaan telah menjadi roh dari peradaban. Karena hal itu, maka di masa depan agama akan banyak berperan dalam konflik antar peradaban. Dalam kaitan ini, agama tidak hanya berfungsi sebagai wacana spiritual yang aman dan damai, tetapi juga bisa tampil sebagai sosok yang seram dan menakutkan. Agama bisa meletupkan konflik dan pertikaian ketika diinterprestasikan sesuai dengan kepentingan sepihak umat atau kelompok agama.

Kesadaran akan identitas dan jatidiri keagamaan yang makin mengeras ini, pada akhirnya bukan saja telah menimbulkan konflik antara kelompok sosial dan budaya, tetapi juga memicu pertikaian antar peradaban. Karena itu, dibutuhkan sebuah dialog konstruktif dan pembangunan saling pengertian antara umat beragama dan pelbagai peradaban, agar konflik tersebut dapat dihindari.

Daftar Pustaka


Cattaneo J., 1989, International Management Research : Problems, Challenges, and Opportunities, NUS.

Desatnich R.L. and Benett M.J., The Multinational Enviroment, KUL Course Material.

Elhasmawi F. dan Harris P.R., 1993, Multicultural Management; New Skill for Global Success, Gulf Publishing Company, Houston, Texas.

Hodgetts and Luthans, 1994, International Management, 2nd Edition, International Edition, McGraw-Hill Inc., New York.

Huntington, S.P., 2000, Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia, Cet. 1, alih bahasa M. Sadat Ismail, Qalam, Jakarta.

Kelly L. and Northley R., 1981, The Role of Culture in Comprative Management : A Cross Cultural Prespective, Academy of Management Journal, vol. 24, no. 1.

Yun C.K., 1973, Role Conflict of Expatriate Managers, a Construct, Journal of International Business Studies, vol. 6.

Managing Organizational Cultures and Diversity


Pada jaman informasi paska-industri ini, budaya kerja dalam organisasi juga mengalami pergeseran atau bahkan perubahan, baik bentuk maupun sistim nilai/norma-norma yang melingkupinya. Salahsatu norma yang mengalami revolusi adalah “kompetensi”, tanpa memperhatikan ras, warna, kepercayaan maupun asal-usulnya.

Pada kawasan industri berteknologi tinggi, di lingkungan akademis atau laboratorium penelitian dan pengembangan di seluruh dunia sekarang ini berpegawai para pakar workaholic berbagai disiplin ilmu pengetahuan dan teknologi dari beragam bangsa yang dipekerjakan berdasarkan kemampuan ilmiah, tanpa memperhatikan latar belakang budaya. Pada kondisi seperti ini, perusahaan, lingkungan akademis atau laboratorium yang bergerak dalam hitech business akan sanggup bertahan menjadi organisasi yang solid apabila mampu memadukan atau mengaplikasikan budaya organisasi yang sesuai dengan kondisi tersebut.
Kegagalan dalam memadukan budaya organisasi akan membawa konsekuensi pada menurunnya produktifitas kerja, yang tentu saja akan berpengaruh langsung terhadap kemapuan perusahaan untuk berkompetisi.

1. Memadukan Budaya Organisasi
Sebagaimana dikatakan oleh McManus dan Hergert dalam Surviving Mergers and Acquisitions, manakala merger, akuisisi atau joint venture dibentuk, maka dua atau lebih budaya organisasi yang berbeda harus digabungkan. Tidaklah efektif bila salahsatu pihak berusaha memaksakan budayanya sebagai budaya yang berlaku diperusahaan hasil penggabungan tersebut. Yang lebih produktif adalah mencari sinergi antara dan di antara sistim yang ada. Ini bukan merupakan perkara yang mudah, dalam aplikasinya diperlukan kelihaian manajerial budaya organisasi bagi para manajernya.

Keragaman antara berbagai departemen, divisi atau subsidiary yang selalu dijumpai pada MNC, menuntut para manajer untuk menguasai manajemen lintas budaya. Pada kenyataannya, setiap kali tim dikumpulkan, yang terdiri atas ilmu dan bidang keahlian yang berbeda akan membawa konsekuensi pada perbedaan pandangan maupun cara berfikirnya. Para insinyur berpikir secara berbeda dari petugas produksi atau keuangan, yang juga berbeda dengan pandangan orang pemasaran atau hubungan masyarakat. Setiap profesi atau keahlian khusus memiliki sub-budaya yang khas, kerap memecahkan masalah secara berbeda satu sama lain.

Bila kumpulan petugas ditingkatkan ke dalam tim atau satuan tugas (task force), tangtangan yang dihadapi manajemen bahkan semakin besar, karena kemudian berbagai budaya makro atau mikro turut mengambil bagian. Dengan demikian, manajer yang berpengalaman dalam komunikasi dan negoisasi lintas budaya lebih mungkin untuk berhasil.

2. Sinergi dalam Budaya Organisasi
Suatu tantangan penting bagi manajemen lintas budaya yang kerap diabaikan terjadi manakala dua atau lebih sistem dipadukan menjadi satu usaha. Di sektor publik, pengaturan kembali terjadi melalui perubahan dalam administrasi, kebijakan, dan anggaran. Kerap dijumpai seorang pemimpin yang baru dipilih atau studi yang diadakan pemerintah akan menganjurkan perampingan pelayanan publik dan mengurangi biaya dengan jalan menyatukan beberapa departemen yang ada menjadi super agensi yang baru.

Pada sektor partikelir, merger dapat terjadi karena pengambilalihan atau akuisisi oleh lembaga usaha lain, atau sekedar lewat pembentukan suatu joint venture dengan mitra lokal atau asing. Suatu konsorsium dapat dibentuk oleh beberapa perusahaan dalam suatu bidang untuk menciptakan suatu firma yang dimiliki oleh semua (misalnya kasus dimana beberapa pabrikan komputer menggabungkan sumber yang dimiliki untuk mendirikan usaha Riset and Development untuk mengembangkan super komputer). Mega proyek, seperti “super collider” atau terowongan terusan lintas batas akan jauh lebih mangkus dan sangkil bila didahului dengan pembentukan konsorsium yang menyatukan pemerintah, industri dan perguruan tinggi pada negara-negara yang terlibat di dalamnya.
Pada kasus-kasus demikian, setiap pihak tidak hanya membawa serta sejarah organisasional, manajemen maupun keahlian khasnya, tetapi juga budaya yang berbeda. Kerap terjadi dimana para eksekutif yang terlibat dalam usaha-usaha semacam itu hanya memusatkan perhatian pada tugas yang ada namun mengabaikan faktor-faktor tersebut sehingga merugikan diri sendiri.

Kondisi seperti itu tidak mungkin terjadi bila para manajernya memiliki kecakapan manajemen lintas budaya. Mereka akan selalu menyempatkan waktu untuk menganalisis dimensi budaya dari setiap perusahaan yang berperanserta didalamnya, kemudian mengembangkan strategi untuk menjamin keberhasilan pemanduan kekuatan dari masing-masing pihak.

Contoh populer keberhasilan dari pemanduan ini dilakukan dalam industri dirgantara Eropa, dengan penciptaan Airbus Industrie. Pada joint venture yang sinergis itu, lima pemerintahan dan perusahaan mereka berhasil memproduksi inovasi teknologi dalam pesawat terbang jet berbadan lebar yang sukses menembus pasar komersial.

3. Kedudukan Budaya dalam Organisasi MNC

Banyak faktor yang berkaitan dengan budaya yang semestinya dipahami oleh para manajer MNC. Faktor utama adalah bahasa (dalam konteks yang luas). Namun pada kenyataannya (dan mengherankan) adalah hanya ada sedikit upaya para expatriate untuk mempelajari bahasa setempat. Hal ini langsung berakibat pada terhambatnya komunikasi dengan tingkatan yang lebih rendah, terlebih bila sebagian besar anggota organisasi kurang menguasai bahasa Inggris. Bahasa dalam hal ini tidak hanya berarti penguasaan arti harafiah dan pelafalannya, lebih dari itu penguasaan bahasa juga mencakup pengasaan ekspresi dan filosofinya.

Kerap dijumpai di berbagai negara suatu budaya dimana hubungan keluarga dan kronisme sangat erat. Akibatnya banyak ditemukan kasus dimana para pemegang kunci dalam dunia bisnis adalah anggota keluarga atau memiliki hubungan “Ali-Baba” dengan para pemegang kunci pemerintahan. Pola nepotisme dan kronisme ini akan mempengaruhi keputusan-keputusan yang diambil dalam dunia bisnis. Padahal bila hubungan yang bersifat emosional antara dua pihak bersifat sanling mengontrol, akan membentuk suatu sistim lingkungan yang sama sekali berbeda. Suatu hal yang dianggap sebagai nepotisme oleh suatu lingkungan, mungkin merupakan seatu bentuk family loyalty oleh lingkungan lain.

Adalah sangat lumrah bila setiap komunitas mengklaim bahwa pola hidup mereka adalah yang terbaik. Expatriate yang tidak berusaha menyesuaikan diri pada umumnya akan mendapatkan respon negatif dan akan mengalami kesulitan dalam koordinasi. Padangan yang egosentris ini kemudian akan membentuk suatu perilaku yang stereotyping, dimana seseorang akan mudah mencurigai bahwa orang lain yang datang dari ras, negara atau budaya tertentu, pasti akan memiliki perilaku yang khas.

Aspek lain yang perlu diperhatikan adalah pola prioritas yang diberikan kepada kemampuan (ability, skill) dan pendidikan (formal education). Di banyak negara, kemampuan cenderung untuk lebih diperhatikan daripada pendidikan formal. Namun di beberapa negara, pendidikan formal memiliki arti yang sangat penting dan memiliki nilai tinggi. Seorang sarjana akan merasa mengalami degradasi bila ditempatkan pada posisi yang tidak sesuai dengan pendidikannya, meskipun sesuai dengan tingkat kemampuannya. Sehingga pada banyak kasus, MNC dari negara dengan budaya yang berbeda mengalami kesulitan dalam mengisi formasi personalianya.

Pandangan terhadap kedudukan sebagai profesional juga dapat berbeda antara satu budaya dengan budaya lain. Di satu budaya, adalah merupakan suatu kebanggaan apabila seseorang bekerja pada kantor pemerintah atau sebagai tentara, namun tidak memberikan nilai yang tinggi kepada manajer profesional, kecuali bila sebagai owner. Pandangan seperti itu akan berpengaruh atas kualutas individu yang bersedia menerima kedudukan tertentu dalam bisnis.

Dibidang pendidikan, dalam banyak komunitas, menjadi insinyur, lawyer atau dokter kerap menjadi pilihan utama. Sedangkan di komunitas lainnya sekolah bisnis menjadi pilihan pertama.
Aspek-aspek lain yang perlu diindahkan oleh eksekutif dan manajer MNC yaitu :
a) Model pendelegasian wewenang, pengambilan keputusan, disiplin dan pelimpahan tanggung jawab.
b) Komitmen individu terhadap sasaran dan tujuan organisasi.
c) Pola hubungan keluarga dan pekerjaan.
d) Pengaruh agama, keyakinan maupun kepercayaan.

4. Nilai-nilai Budaya

§ Tiga nilai budaya apa saja yang paling dihargai orang Amerika?

§ Tiga nilai budaya apa saja yang paling dihargai orang Jepang?

§ Mengapa ada perbedaan di antara kedua kebudayaan tersebut?

§ Mengapa banyak orang Arab memulai berinteraksi bisnis dengan menunjukan hubungan-hubungan dimasa lampau?

§ Mengapa manajer Jepang pada umumnya kerap menjawab permintaan Anda dengan berkata “ya, ya”?

Marilah mencermati situasi berikut agar kita dapat menunjukan perbedaan-perbedaan dalam nilai-nilai lintas budaya dan pengaruhnya dalam interaksi bisnis sehari-hari.
Scot Thomson, direktur pemasaran untuk firma berteknologi tinggi di California, mengadakan pertemuan antara dirinya, Tuan Noguchi dari Jepang dan Tuan Samir, manajer lokal perusahaan Jepang di Arab Saudi, untuk membicarakan strategi pemasaran baru untuk Global Telephone.

Dalam pertemuan itu, Tuan Thomson bertanya kepada Tuan Noguchi apakah dia setuju dengan jenis produk baru yang ia rancang di California. Tuan Noguchi menjawab : “Ya, jenis produk itu sangat menarik”. “Apakah itu berarti anda menyukainya?” tanya Tuan Thomson. Tuan Noguchi menjawab, sambil memandang para anggota timnya, “Saya harus membicarakannya dengan tim saya”. Sementara Tuan Thomson berusaha mendapatkan jawaban dari Tuan Noguchi, Tuan Samir memotong pembicaraan untuk menengahi konflik antara keduanya. Tuan Samir mengganti topik pembicaraan ke bagian pasar di masa depan dan mengusulkan agar Tuan Thomson dan Tuan Noguchi berkunjung ke Arab Saudi untuk meneliti pasar lebih lanjut.

Skenario itu merupakan benturan bisnis linas budaya yang terjadi di antara pihak-pihak yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda. Apa yang ada dalam “tas” budaya Tuan Thomson yang mempengaruhinya selama interaksi singkat itu : keselarasan kelompok, sikap langsung atau privasi? Pada kenyataannya, Tuan Thomson telah menerapkan nilai orientasi keterbukaan, langsung dan tindakan. Bagaimana halnya dengan Tuan Naoguchi? Mengapa ia enggan meberikan jawaban langsung kepada Tuan Thomson? Apa yang mempengaruhinya : senioritas, formalitas, reputasi atau konsensus kelompok? Keselarasan dan kesepakatan kelompok penting bagi Tuan Noguchi dan dengan demikian ia pantang memberi jawaban sebelum membicarakannya dengan tim Jepangnya. Mengapa Tuan Samir menyela dengan menyarankan untuk berkunjung ke negerinya? Apakah karena “tas” kebudayaannya menghargai persaingan, kompromi, ambil resiko atau keramahtamahan? Hubungan dan kompromi penting bagi Tuan Samir dan dengan demikian ia berusaha untuk menengahi situasi untuk menghindari kehilangan muka.

Pada umumnya, interaksi dalam hidup didasarkan pada beberapa parangkat nilai budaya yang dikembangkan sejak kecil. Perangkat nilai itu telah dikumpulkan, diberi ganjaran dan ditekankan oleh keluarga, komunitas, perusahaan dan bangsanya. Nilai-nilai itu berbeda dari satu negara ke negara lain, bahkan dalam satu negara, perusahaan, dan pada akhirnya tiap-tiap individu.

Marilah kita membahas hal-hal berikut :
– Apa yang paling dihargai oleh orang Amerika?
– Apa yang paling dihargai oleh orang Jepang?
– Apa yang paling dihargai oleh orang Malaisia?
– Apa yang paling dihargai oleh orang Cina?
– Apa yang paling dihargai oleh orang Arab?

Selama pelatihan pengembangan kecakapan manajemen lintas budaya bagi para manajer bisnis, kami minta kepada para peserta untuk mendaftar beberapa nilai penting dalam masyarakat mereka, dan nilai-nilai apa yang menurut mereka dihargai oleh masyarakat-masyarakat lain. Tabel berikut mendaftar beberapa jawaban yang kami peroleh dari kelompok Jepang dan Malaysia yang secara terpisah ditanya nilai-nilai apasaja yang dianggap penting oleh orang Jepang.

Keputusan kelompok

Sebagaimana terlihat pada tabel di atas, orang Jepang mempunyai gagasan-gagasan tertentu tentang apa yang mereka hargai, dan orang Malaysia menyebut beberapa nilai yang sama. Tetapi orang Malaysia juga menyebut beberapa nilai lain pada orang Jepang yang tidak ada dalam daftar yang disusun oleh orang Jepang.

Pada kondisi demikian pebisnis Jepang akan lebih banyak mengalami hambatan bila berhubungan dengan mitra dari Cina maupun Arab dibandingkan dengan bila berhubungan dengan mitra dari Amerika. Apalagi bila mereka menerapkan nilai-nilai budaya Amerika terhadap mitranya dari Cina maupun Arab. Sedangkan terhadap Arab, pandangannya hampir seluruhnya terbatas pada agama. Hal tersebut menunjukan sangat terbatasnya pemahaman mereka terhadap nilai-nilai budaya Arab.

5. Prioritas Nilai-nilai Budaya
Benar atau Salah
…. 1. Dalam interaksi sehari-hari, orang Amerika pada umumnya menyukai formalitas serta ritual.
…. 2. Mara manajer Jepang cenderung memberi ganjaran pada prestasi perorangan daripada kelompok.
…. 3. Agama mempunyai dampak dalam hampir segala-galanya dalam kebudayaan Arab.
…. 4. Banyak orang Cina suka menangani masalah dengan langsung dan terus terang.

Jawaban yang paling cocok adalah 1-S, 2-S, 3-B, 4-S.

Untuk menilai prioritas nilai-nilai budaya tersebut, di bawah ini tersedia 20 nilai yang banyak dimiliki oleh berbagai kebudayaan, tetapi prioritasnya berbeda di antara orang, kelompok atau bangsa tertentu. Nilai-nilai yang tercantum di bawah ini tidak disusun/diurutkan berdasarkan tingkat penting maupun prioritasnya.
a) Keselarasan Kelompok
b) Persaingan
c) Senioritas
d) Kerjasama
e) Privasi
f) Keterbukaan
g) Kesamaan
h) Formalitas
i) Ambil resiko
j) Reputasi
k) Kebebasan
l) Keamanan keluarga
m) Hubungan
n) Mengandalkan diri
o) Waktu
p) Kesepakatan kelompok
q) Otoritas
r) Harta milik
s) Penerangan rohani
t) Prestasi kelompok

Daftar tersebut disodorkan kepada peserta pelatihan bisnis dari berbagai ragam budaya untuk memilih nilai yang paling penting (atau paling tidak penting) dari daftar di atas. Tabel berikut menyajikan hasil yang diperoleh dari orang-orang Malaysia, Jepang dan Amerika, dengan nomor 1 menyatakan nilai yang paling penting hingga nomor 20 sebagai nilai yang paling tidak penting.

Tabel 3 : Prioritas Nilai-nilai Kebudayaan
Jepang Amerika Malaysia
1. Hubungan
2. Keselarasan
3. Keamanan keluarga
4. Kebebasan
5. Kerjasama
6. Kesapakatan kelompok
7. Prestasi kelompok
8. Privasi
9. Kesamaan
10. Formalitas
11. Spiritualitas
12. Persaingan
13. Senioritas
14. Harta milik
15. Mengandalkan diri
16. Otoritas
17. Waktu
18. Keterbukaan
19. Ambil resiko
20. Nama baik 1. Kesamaan
2. Kebebasan kelompok
3. Keterbukaan
4. Mengandalkan diri
5. Kerjasama
6. Keamanan keluarga
7. Hubungan
8. Privasi
9. Keselarasan kelompok
10. Niama baik
11. Waktu
12. Persaingan
13. Prestasi kelompok
14. Spiritualitas
15. Ambil resiko
16. Otoritas
17. Harta milik
18. Formalitas
19. Kesepakatan kelompok
20. Senioritas 1. Keamanan Keluarga
2. Keselarasan kelompok
3. Kerjasama
4. Hubungan
5. Spiritualitas
6. Kebebasan
7. Keterbukaan
8. Mengandalkan diri
9. Waktu
10. Nama baik
11. Prestasi kelompok
12. Kesamaan
13. Otoritas
14. Harta milik
15. Persaingan
16. Kesepakatan kelompok
17. Senioritas
18. Privasi
19. Formalitas
20. Ambil resiko

Pada kolom Amerika, tampak bahwa kesamaan, kebebasan, keterbukaan, keterandalan dan kerjasama mempunyai prioritas yang lebih tinggi dibandingkan dengan otoritas, formalitas, kesepakatan kelompok atau senioritas. Sementara untuk kelompok Jepang menunjukan bahwa mereka lebih menghargai hubungan, keselarasan kelompok dan keamanan keluarga daripada keterbukaan, nama baik atau pengambilan resiko. Sedangkan pada kolom Malaysia, keamanan, kerjasama, spiritualitas di atas kesepakatan, privasi atau pengambilan resiko.

Dalam konteks perbedaan prioritas tersebut, nilai kesamaan dan keterbukaan Amerika merupakan kunci kuat bagi kemungkinan terjadinya benturan budaya. Bila melakukan hubungan bisnis dengan mitra dari Jepang maupun Malaysia, eksekutif Amerika kerap terlihat canggung menghadapi nilai-nilai yang paling dihargai oleh mitra bisnisnya, terutama dalam hal keselarasan kelompok, kerjasama atau keeratan hubungan.
Selain pembedaan antar budaya, prioritas nilai-nilai budaya juga dapat diaplikasikan dalam perbandingan antar generasi, tabel berikut menunjukan perbedaan prioritas nilai di Jepang yang dilakukan pada tahun 1990 dengan pembedaan generasi angkatan baru (umur 25 sampai dengan 25 tahun) dibandingkan dengan generasi tradisional (mereka yang lebih tua).

Tabel 4 :
Prioritas Nilai-nilai Kebudayaan antar generasi di Jepang
Tradisional Angkatan Baru
1. Keselarasan kelompok
2. Prestasi kelompok
3. Kesepakatan kelompok
4. Hubungan
5. Senioritas
6. Keamanan keluarga
7. kerjasama 1. Kebebasan
2. Hubungan
3. Keamanan keluarga
4. Kesamaan
5. Mengandalkan diri
6. Privasi
7. Keselarasan kelompok

Tabel tersebut jelas menggambarkan adanya pergeseran pada prioritas nilai, dimana generasi angkatan baru lebih menghargai kebebasan, namun masih cukup menghargai nilai keselarasan kelompok, hubungan dan kemanan keluarga.

Peringkat prioritas nilai-nilai budaya menggambarkan stereotype dari masyarakat yang bersangkutan. Setiap indicvidu membawa “tas” budayanya sendiri, yang mencerminkan nilai-nilai bangsanya, kelompoknya dan pribadinya. Semakin dekat kita berinteraksi dengan individu dari beragam latar belakang kebudayaan, kita semakin mengetahui prioritas nilai-nilai budaya mereka.

Daftar Pustaka


Cattaneo J., 1989, International Management Research : Problems, Challenges, and Opportunities, NUS.
Desatnich R.L. and Benett M.J., The Multinational Enviroment, KUL Course Material.
Elhasmawi F. dan Harris P.R., 1993, Multicultural Management; New Skill for Global Success, Gulf Publishing Company, Houston, Texas.
Hodgetts and Luthans, 1994, International Management, 2nd Edition, International Edition, McGraw-Hill Inc., New York.
Huntington, S.P., 2000, Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia, Cet. 1, alih bahasa M. Sadat Ismail, Qalam, Jakarta.
Kelly L. and Northley R., 1981, The Role of Culture in Comprative Management : A Cross Cultural Prespective, Academy of Management Journal, vol. 24, no. 1.
Yun C.K., 1973, Role Conflict of Expatriate Managers, a Construct, Journal of International Business Studies, vol. 6.

Modul 7.# Decision Making and Controlling (pertemuan 7)


Decision Making

Dalam sebuah organisasi, manajer pada seluruh jenjang senantiasa membuat keputusan. Pengaruh dari keputusan tersebut akan menjangkau masalah dari yang paling “sepele” sampai pada masalah yang vital bagi kelangsungan hidup organisasi, atau dengan kata lain, semua keputusan memiliki pengaruh baik besar atau kecil pada kinerja organisasi tersebut.

“Pengambilan keputusan” melukiskan proses pemilihan suatu arah tindakan sebagai cara untuk memecahkan suatu masalah tertentu. Huber membedakan pengambilan keputusan dari “penentuan pilihan” dan “pemecahan masalah”. Menurutnya, penentuan pilihan mengacu pada rangkaian aktivitas sempit yang terlibat dalam penentuan satu pilihan dari serangkaian alternatif. Karenanya penentuan pilihan merupakan bagian dari pengambilan keputusan. Pemecahan masalah mengacu pada rangkaian aktivitas luas yang terlibat dalam penemuan dan implementasi suatu cara bertindak untuk memperbaiki suatu keadaan yang tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Kualitas keputusan manajer adalah merupakan ukuran efektivitas mereka dan nilai mereka bagi organisasi. Suka atau tidak, manajer dinilai atau dihargai atas dasar pentingnya, jumlahnya, dan hasil-hasil keputusan mereka.

Jenis keputusan manajerial


Manajer sebagai pembuat keputusan adalah seorang pemecah masalah, yaitu dengan memilih salah satu dari alternatif-alternatif yang tersedia, atau menemukan alternatif lain yang berbeda secara berarti dengan alternatif sebelumnya. Dalam manajemen keputusan dikategorikan dalam dua jenis yaitu keputusan terprogram (programmed decisions) dan keputusan tak terprogram (nonprogrammed decisions).

Keputusan terprogram adalah merupakan “keputusan yang diambil berdasarkan kebiasaan, peraturan, atau prosedur tertentu. Setiap organisasi mempunyai kebijakan tertulis atau tidak tertulis yang mempermudah pengambilan keputusan dalam situasi yang berulang-ulang dengan membatasi atau meniadakan alternatif.

Masalah rutin tidaklah selalu sederhana. Keputusan terprogram digunakan untuk mengatasi masalah yang rumit maupun yang sepele. Bila suatu masalah terjadi lagi dan jika unsur komponennya dapat ditentukan, diramalkan atau dianalisis, maka masalah tersebut dapat dipecahkan dengan pengambilan keputusan terprogram.

Sampai tingkat tertentu, keputusan terprogram itu membatasi kebebasan kita, karena organisasi dan bukan individu yang memutuskan apa yang harus dilakukan. Akan tetapi, keputusan jenis ini dimaksudkan untuk membebaskan. Kebijakan, peraturan, atau prosedur yang digunakan untuk mengambil keputusan, akan membebaskan kita dari waktu yang diperlukan untuk memecahkan setiap masalah, dengan demikian memungkinkan kita mencurahkan perhatian pada kegiatan lain yang lebih penting.
Sebaliknya, keputusan tidak terprogram adalah keputusan untuk memecahkan masalah yang luar biasa atau masalah istimewa. Jika suatu masalah jarang sekali muncul sehingga tidak tercakup oleh suatu kebijakan atau sedemikian penting sehingga memerlukan perlakuan khusus, maka masalah tersebut harus ditangani dengan suatu keputusan tidak terprogram. Kalau seseorang berada pada posisi yang lebih tinggi dalam heirarkhi organisasi, kemampuan untuk mengambil keputusan tidak terprogram menjadi lebih penting karena secara progresif lebih banyak keputusan tidak terprogram yang diambil.

Karena alasan tersebut, kebanyakan program pengembangan manajemen berusaha meningkatkan kemampuan manajer untuk mengambil keputusan tidak terprogram, biasanya dengan mengajar mereka menganalisis masalah secara sistematik dan membuat keputusan yang nalar.

Proses pengambilan keputusan

Keputusan harus dianggap sebagi “sarana” bukan hasil. Keputusan adalah merupakan “mekanisme organisasional” dengan bentuk usaha untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Dengan kata lain, merupakan respon organisasional terhadap suatu masalah. Setiap keputusan merupakan hasil dari proses dinamik yang dipengaruhi oleh berbagai kekuatan. Rantai proses pengambilan keputusan adalah sebagai berikut :


a) Menetapkan sasaran dan tujuan serta mengukur hasil.
Penetapan sasaran dan tujuan yang rasional akan mengarahkan hasil yang akan dicapai dan alat ukur untuk menilai tercapaitidaknya hasil tersebut.


b) Identifikasi masalah
Situasi yang dibutuhkan oleh suatu keputusan adalah masalah. Jika tidak ada masalah, berarti tidak akan pernah ada suatu keputusan. Identifikasi terhadap masalah secara tepat bersifat mutlak, dan harus mencermati faktor-faktor yang merupakan kendala yang meliputi : masalah persepsi, masalah diidentifikasikan sebagai solusi, identifikasi gejala sebagai masalah.


c) Mengembangkan alternatif
Sebelum suatu keputusan dibuat, alternatif yang masuk akal (solusi potensial untuk masalah tersebut) mesti ditelaah serta akibat dari masing-masing alternatif juga mesti dikaji. Mengembangkan alternatif adalah merupakan suatu proses pencarian untuk meneliti lingkungan internal dan eksternal organisasi guna memperoleh informasi sehingga dapat dikembangkan menjadi alternatif yang memungkinkan. Kendalanya adalah faktor waktu dan biaya.


d) Mengevaluasi alternatif
Sekali alternatif telah dilaksanakan, secara temporal haruslah diikuti dengan evaluasi dan perbandingan. Hubungan antara “alternatif dengan hasil” didasarkan atas tiga kondisi yaitu : kepastian, ketidak pastian dan resiko.


e) Memilih alternatif
Diperlukan kecermatan berpikir dan bertindak dalam pemilihan alternatif, apalagi pada tingkat keputusan manajerial. Solusi yang optimal sangat muskil untuk diperoleh karena pengambil keputusan tidak mungkin mengetahui semua alternatif yang ada, akibat dari setiap alternatif dan probabilitasnya.


f) Mengimplementasi keputusan
Suatu keputusan yang tidak diimplementasikan tidak lebih dari sebuah abstraksi belaka. Dengan kata lain, suatu keputusan mesti secara efektif diimplementasikan agar mencapai tujuan yang dikehendaki.


g) Mengendalikan dan mengevaluasi
Manajemen yang efektif melibatkan pengukuran periodik terhadap hasil. Hasil aktual dibandingkan dengan rencana dan perubahan harus dibuat jika terjadi deviasi. Hal ini menunjukan pentingnya pengukuran hasil, atau dengan kata lain tanpa adanya pengukuran berarti tidak ada penilaian terhadap prestasi kerja.

Pengambilan keputusan individual

Keputusan individual sangat dipengaruhi oleh faktor perilaku individu. Beberapa darinya hanya mempengaruhi aspek tertentu saja, sedangkan lainnya ada pula yang mempengaruhi seluruh proses. Meski demikian, masing-masing darinya mempunyai dampak terhadap proses pengambilan keputusan dalam organisasi. Ada empat faktor perilaku individu, yaitu : sistim tata nilai, kepribadian, resiko dan disonansi.


a) Sistim tata nilai
Sistim tata nilai menjadi pedoman bagi semua orang saat mereka berada pada situasi harus mengambil keputusan. Sistim tata nilai dibutuhkan pada kehidupan dan menjadi dasar bagi pola pikir seseorang dan mempengaruhi proses pengambilan keputusan.


b) Kepribadian
Kepribadian merupakan salah satu faktor psikologis yang turut berpengaruh terhadap pengambilan keputusan. Variabel kepribadian memiliki kaitan erat dengan variabel situasional dan interaksional tertentu dalam proses pengambilan keputusan.


c) Resiko
Pengambil keputusan sangan beragam kecenderungannya untjuk mengambil resiko, yang merupakan aspek khusus dari kepribadian yang mempunyai pengaruh kuat terhadap proses pengambilan keputusan.


d) Disonansi
Merupakan potensi ketidaksesuaian. Potensi ini muncul dari kekhawatiran setelah keputusan dibuat.

Pengambilan keputusan kelompok

Dalam banyak organisasi, sejumlah keputusan diambil memalui komite, kelompok, gugus tugas, maupun bentuk lainnya. Pada masalah yang tidak terprogram, masih baru dan melibatkan banyak ketidakpastian hasil, para manajer kerap menghadapi situasi dimana mereka mesti mencari dan menggabungkan berbagai pertimbangan di dalam pertemuan kelompok. Di sebagian besar organisasi, keputusan atas masalah seperti ini sangat jarang diambil secara perorangan atau dengan cara biasa.

Komplektisitas yang tinggi atas masalah-masalah seperti ini menuntut pengetahuan spesialisasi di berbagai lapangan. Kebutuhan, digabungkan dengan kenyataan bahwa keputusan tersebut akhirnya harus diterima dan diimplementasikan oleh banyak unit di seluruh organisasi, telah meningkatkan penggunaan pendekatan kolektif untuk proses pengambilan keputusan.

Dalam pertemuan inter-organisasi, banyak manajer diikutsertakan berpartisipasi dalam upaya bekerjasama yang melibatkan suatu proses pengambilan keputusan bersama diantara orang di masing-masing posisi kunci dimana masalah tersebut terjadi. Beberapa kerjasama terkonsentrasi pada keputusan bersama diantara pihak-pihak yang berkepentingan mengatasi masalah khusus, dan lainnya diarahkan untuk menghilangkan konflik diantara pihak-pihak yang berkepentingan.

Controlling


Pengendalian membantu manajer memonitor efektifitas perencanaan, pengorganisasian, dan kepemimpinan, serta mengambil tindakan korektif sesuai dengan kebutuhan. Organisasi menggunakan prosedur pengendalian untuk memastikan mereka membuat kemajuan yang memuaskan ke arah sasaran dan menggunakan sumberdaya mereka secara efisien.

Pengertian pengendalian
Stoner (1995) menyatakan bahwa pengendalian manajemen adalah merupakan proses untuk memastikan bahwa aktivitas sebenarnya sesuai dengan yang direncanakan. Sementara Mocker mendefinisikan sebagai suatu usaha sistematis untuk menetapkan standar prestasi kerja dengan tujuan perencanaan, untuk mendesain sistim umpan balik informasi, untuk membandingkan prestasi yang sesungguhnya dengan standar yang telah ditetapkan terlebih dahulu, untuk menetapkan apakah ada deviasi dan untuk mengukur signifikansinya, serta mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan untuk memastikan bahwa semua sumberdaya perusahaan digunakan dengan cara yang seefektif dan efisien mungkin untuk mencapai tujuan perusahaan. Definisi dari Mocker ini sekaligus menggambarkan langkah-langkah yang diperlukan dalam proses pengendalian manajemen.

Mendesain Sistim Pengendalian
Sejumlah tantangan akan dihadapai oleh manajer dalam mendesain sistim pengendalian yang menyediakan umpan balik akurat yang tepat waktu, dan ekonomis yang dapat diterima oleh anggota organisasi. Kebanyakan tantangan ini dapat dilacak sampai pada keputusan mengenai apa yang perlu dikendalikan dan seberapa sering kemampuan diukur. Masalah-masalah tersebut pada umumnya dapat dihindari dengan analisis yang menentukan “bidang prestasi kerja kunci” dan “titik-titik pengendalian strategis”.

a) Mengidentifikasi bidang prestasi kerja kunci
Prestasi kerja kunci merupakan aspek-aspek unit atau organisasi yang harus berfungsi secara efektif agar unit atau organisasi secara keseluruhan dapat berhasil. Pada umumnya bidang-bidang tersebut mencakup aktivitas utama organisasi atau kelompok aktivitas berkaitan yang terjadi di seluruh organisasi atau unit.

b) Mengidentifikasi titik-titik pengendalian strategis
Merupakan kegiatan menentukan titik-titk utama dalam sistim yaitu tempat pemantauan atau pengumpulan informasi akan dilaksanakan. Bila titik-titik pengendalian strategis telah dapat ditentukan letaknya, maka jumlah informasi yang harus dikumpulkan dan dievaluasi dapat banyak dikurangi.

Metode yang paling penting dan bermanfaat untuk menentukan titik-titik pengendalian strategis adalah dengan memusatkan perhatian pada unsur-unsur yang paling signifikan dalam suatu operasi tertentu. Biasanya hanya sebagian kecil saja dari aktivitas, peristiwa, individu, atau obyek dalam suatu operasi tertentu akan menyebabkan sebagian besar biaya atau masalah yang harus dihadapi oleh manajer.

Metode pengendalian anggaran

Anggaran adalah merupakan laporan kuantitatif formal mengenai sumberdaya yang disisihkan untuk melaksanakan aktivitas yang telah direncanakan selama jangka waktu tertentu. Anggaran menurut pengertian tersebut merupakan sarana yang paling luas digunakan untuk merencanakan dan mengendalikan aktivitas di setiap tingkat dalam sebuah organisasi.

Disamping sebagai sarana utama untuk pengendalian, anggaran juga merupakan salah satu alat utama koordinasi aktivitas dalam organisasi. Interaksi antara manajer dan karyawan yang berlangsung lama selama preses pengembangan anggaran akan membantu menetapkan dan mengintegrasikan berbagai kegiatan anggota organisasi.

a) Pusat tanggung jawab
Sistim pengendalian dapat dibuat untuk memonitor fungsi atau proyek organisasi. Pengendalian atas sebuah fungsi dimaksudkan untuk memastikan bahwa aktivitas tertentu (seperti produksi atau penjualan) dilaksanakan dengan benar dan tepat). Pengendalian atas sebuah proyek bertujuan untuk memastikan tercapainya hasil akhir tertentu (misalnya pengembangan produk baru atau penyelesaian sebuah gedung).

Unit organisasi atau unit fungsional yang dikepalai oleh seorang manajer yang bertanggungjawab atas aktivitas unit tersebut dinamakan “pusat tanggung jawab”. Semua pusat tanggung jawab menggunakan sumberdaya (input atau biaya) untuk menghasilkan sesuatu yang lain (output atau penghasilan). Pada umumnya, tanggung jawab diserahkan kepada “pusat penerimaan, pusat pengeluaran, pusat laba, dan/atau pusat investasi”. Keputusan biasanya tergantung pada aktifitas yang dijalankan oleh unit organisasi dan dengan cara input dan output diukur oleh sistim pengendalian.

Pusat penerimaan merupakan unit organisasi yang outputnya diukur dalam bentuk uang tetapi tidak dibandingkan secara langsung dengan biaya input. Contohnya misalnya departemen penjualan. Efektivitas pusat ini tidak dinilai berapa besar penghasilan (dalam bentuk penjualan) melebihi biaya pusat tersebut (misalnya berupa gaji atau sewa). Sebaliknya, anggaran (dalam bentuk kuota penjualan) disiapkan untuk pusat penerimaan dan kemudian angka-angka tersebut dibandingkan dengan pesanan penjualan atau penjualan yang sebenarnya. Dengan cara ini, gambaran yang bermanfaat mengenai efektifitas dari masing-masing wiraniaga atau pusat itu sendiri dapat ditentukan.

Pada pusat pengeluaran/biaya, input diukur oleh sistim pengendalian dalam bentuk uang, tetapi outputnya tidak. Alasannya adalah pusat-pusat seperti ini tidak dapat diharapkan untuk menghasilkan pendapatan. Contohnya adalah pemeliharaan, administrasi, pelayanan, dan bagian penelitian. Anggaran hanya disusun untuk bagia input dari operasi pusat-pusat seperti ini.

Dalam pusat laba, prestasi kerja diukur dengan angka selisih antara penghasilan (output) dengan pengeluaran (input). Ukuran seperti itu digunakan untuk menentukan sejauh mana pusat laba berfungsi secara ekonomi dan seberapa baik prestasi kerja manajernya. Sebuah pusat laba dibentuk ketika sebuah unit organisasi diberi tanggung jawab untuk mencetak laba. Dalam sebuah organisasi yang dibagi atas beberapa divisi, dengan beberapa divisi bertanggungjawab secara penuh atas lini produknya sendiri, divisi yang terpisah itu dianggap sebagai pusat laba.

Dalam pusat investasi, sistim pengendalian akan mengukur nilai uang input dan output, tetapi juga menilai perbandingan output dengan aset yang dipergunakan untuk menghasilkan output tersebut. Hal yang selalu harus diperhitungkan adalah penghasilan harus dikurangi dengan nilai penyusutan, dan memajemen harus memperhitungkan bunga yang akan diperoleh kalau uang tadi dipergunakan dalam investasi alternatif. Dengan memperhitungkan faktor-faktor tersebut, perusahaan akan memperoleh gambaran yang lebih akurat tentang profitabilitas. Manajer dapat mengetahui hasil dari suatu investasi, bukan hanya kenyataan uang yang masuk dan yang keluar.

b) Proses pembuatan anggaran
Proses penganggaran biasanya dimulai ketika manajer menerima ramalan ekonomi serta tujuan penjualan dan laba untuk tahun mendatang dari manajemen puncak, bersama jadwal kapan pengukuran harus diselesaikan. Ramalan dan tujuan tadi adalah merupakan pedoman bagi para manajer untuk menyusun anggaran mereka.

Proses penyusunan anggaran dapat dimulai “dari atas ke bawah” dimana anggaran ditetapkan oleh manajer puncak tanpa atau hanya sedikit berkonsultasi dengan manajer di bawahnya. Selain itu dapat disusun dari “bawah ke atas”, dimana anggaran dipersiapkan, sekurang-kurangnya pada tahap awal, oleh mereka yang harus menjalankannya. Anggaran tersebut selanjutnya diserahkan untuk disetujui oleh manajer tingkat yang lebih tinggi.

Masalah yang sering timbul dalam penyusunan anggaran adalah pada kondisi dimana sumberdaya yang dimiliki terbatas. Para manajer mungkin akan merasa khawatir bahwa mereka tidak mendapat alokasi bagian yang adil. Ketegangan dapat meningkat bilanama persaingan dengan manajer lain meningkat. Kecemasan juga dapat meningkat karena manajer mengetahui bahwa mereka akan dinilai berdasarkan kemampuan mereka untuk memenuhi atau melebihi standar yang dianggarkan.

c) Jenis-jenis anggaran
Dalam organisasi dikenal adanya dua jenis anggaran yaitu anggaran operasi dan anggaran keuangan. Anggaran operasi menunjukan barang dan jasa yang diperkirakan akan dikonsumsi oleh organisasi selama periode anggaran. Pada umunya anggaran operasi mencantumkan jumlah fisik dan angka biayanya. Tipe anggaran operasional yang paling umum adalah anggaran pengeluaran, penerimaan, dan anggaran laba.

Anggaran keuangan menyatakan secara rinci uang yang akan dikeluarkan oleh organisasi selama periode yang sama dan dari mana asal uang tersebut. Kedua tipe anggaran yang berbeda ini menyusun rencana anggaran perusahaan secara keseluruhan.

Pengauditan
Mengaudit adalah merupakan suatu proses penilaian. Mengaudit memiliki banyak kegunaan yang penting, dari membuktikan kejujuran dan kewajaran laporan keuangan sampai menyediakan dasar penting bagi para manajer utnuk mengambil keputusan.

a) Audit eksternal
Secara luas audit eksternal tradisional sebagian besar merupakan proses verifikasi yang menyangkut penilaian yang bebas (independen) atas berbagai perkiraan (accounts) dan laporan keuangan organisasi. Aset dan hutang diverifikasi, dan laporan keuangan diperiksa atas kelengkapan dan akurasinya. Tujuan auditor bukan untuk menyusun laporan keuangan perusahaan. Pekerjaaan auditor adalah melakukan verifikasi bahwa perusahaan tesebut, dalam menyusun sendiri laporan keuangannya dan dalam menilai harta serta hutangnya, telah mengikuti prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku secara umum dan menerapkannya dengan tepat.

Audit eksternal berlangsung setelah periode organisasi berakhir dan laporan keuangannya telah selesai disusun. Karena alasan tersebut, dan juga karena umumnya hanya memusatkan perhatian pada sepenrangkat laporan serta transaksi yang relatif terbatas, audit eksternal biasanya tidak memberikan kontribusi yang besar terhadap pengendalian kegiatan yang tengah berlangsung dalam organisasi.

b) Audit internal
Audit internal dilaksanakan oleh anggota organisasi itu sendiri. Sasarannya adalah untuk memberikan jaminan yang pantas bahwa harta organisasi dengan benar dijaga keamanannya dan bahwa catatan-catatan keuangan penataannya dapat diandalkan dan dilakukan dengan cukup akurat untuk menyusun laporan keuangan. Audit internal juga membantu manajer untuk mengevaluasi efisiensi operasional organisasi dan prestasi kerja dari sistim kendalinya. Karena konsentrasinya pada opeasi organisasi, proses ini dikenal sebagai “audit operasional”.

Audit internal juga dapat dilaksanakan sebagai sebuah proyek yang tersendiri oleh pegawai bagian keuangan atau, pada organisasi yang besar, oleh staf audit internal purnawaktu. Jangkauan dan kedalaman audit tersebut juga sangat bervariasi, tergantung pada besarnya dan kebijakan perusahaan.

Jangkauannya bisa mulai dari survei yang relatif sempit sampai analisis laus dan komprehensif yang menjangkau lebih jauh dari penilaian atas sistim pengendalian dengan memperhatikan kebijakan, prosedur, dan penggunaan wewenang, serta mutu dan efektifvitas metode manajerial yang digunakan. Dalam peran ini terlihat bahwa proses manajemen itu memperbaiki dirinya sendiri.

Daftar Pustaka


Dessler, G., 1997, Human Resource Management, Seventh Ed., Prentice-Hall, Inc., A Simon Schustler Company, Englewood Cliffs, New Jersey.
Gibson, J.L., 1995, Organizations, 8th Ed., Richard D. Irwin, Inc., Homewood, Illinois.
Gibson, J.L., 1995, Fundamentals of Management, 9th Ed., Richard D. Irwin, Inc., Homewood, Illinois.
Shapiro A. C., 1994, Fundations of Multinational Financial Management, Simon & Schuster.
Shimizu R., 1989, The Japanese Business Success Factors, Chikura Shobo, Tokyo.Studies, vol. 6.
Stoner, James A.F., Freeman R.E., Gilbert D.R., 1995, Management, Prentice-Hall, Inc., A Simon Schustler Company, Englewood Cliffs, New Jersey.