Seiring dengan kemajuan ilmu dan pengetahuan yang diwujudkan dalam perkembangan dibidang teknologi, juga ledakan demokrasi di negara-negara yang semula hidup di bawah tekanan kolonialisme, feodalisme maupun berbagai bentuk kediktatoran, membuka kesempatan bagai beratus juta manusia di dunia untuk berpartisipasi secara bebas dalam hubungan internasional.

Peningkatan intensitas secara drastis dalam hubungan internasional, baik hubungan politik, diplomasi, militer, hukum atau ekonomi membawa kosekuensi pada peningkatan intensitas hubungan lintas budaya. Dalam konteks ini, terutama dalam hubungan bisnis, fenomena tersebut memunculkan kebutuhan akan perlunya pemahaman atas manajemen lintas budaya.

Manajemen lintas budaya menyajikan topik bahasan tentang strategi dan kecakapan khusus tentang seluk beluk perbedaan-perbedaan budaya untuk menuju sinergi budaya, baik dalam kepentingan bisnis, ekonomi, politik, maupun kepentingan-kepentingan lainnya. Bagi pihak-pihak yang berkepentingan (terutama para manajer MNC), pemahaman atas manajemen lintas budaya merupakan bekal yang mutlak dikuasai untuk tetap mampu bersaing dalam kompetisi bisnis internasional yang semakin keras dan ketat.

Analisis Cross Cultural


Analisis ini sering disebut pula comparative management, mulai dikembangkan pada awal dekade tujuhpuluhan, seiring dengan semakin besarnya pengaruh budaya di berbagai negara terhadap perkembangan MNC. Tujuan utama pengembangan analisis ini adalah :
a) Menelaah perbedaan antar berbagai budaya dan dampaknya terhadap proses pengambilan keputusan.
b) Menelaah persamaan antar berbagai budaya yang dapat dipergunakan untuk pengambilan keputusan yang bersifat universal.
Dalam perkembangannya, analisis ini terkategori dalam dua model pemikiran mengenai penjelasan “keberadaan budaya” dalam ilmu manajemen, yaitu model Farmer-Richman (1965) dan model Negandhi-Prasad (1971).

Model Farmer-Richman dikembangkan pada saat berbagai pihak (termasuk MNC yang sudah terbentuk pada saat itu) masih mengabaikan akan perlunya pengkajian atas aspek budaya dalam hubungan internasionalnya. Sedangkan model Negandhi-Prasad muncul pada saat berbagai pihak mulai memperhatikan perlunya analisis budaya.

Pada kedua model tersebut terdapat beberapa perbedaan pendekatan dalam hal menunjukan pentingtidaknya kedudukan budaya dalam manajemen. Model Farmer-Richman menegaskan bahwa budaya merupakan variabel utama dalam menentukan efektifitas manajerial dan organisasional, sedangkan model Negandhi-Prasad menyatakan bahwa philosophy of management adalah merupakan suatu variabel yang bersifat independen dan cenderung tidak terpengaruh secara langsung oleh aspek budaya.

Perbedaan berikutnya adalah dalam menyebut dan mengkategorisir faktor-faktor pembentuk budaya. Kedua model tersebut menunjukan bahwa aspek-aspek pendidikan, sosiologi, politik dan legal membentuk sesuatu yang mereka kategorikan sebagai “budaya”. Dimana Farmer-Richman menyebutnya dengan external costraints, sedangkan Negandhi-Prasad menyebut aspek-aspek tersebut sebagai enviromental factor.

Model Negandhi-Prasad tersebut pada dasarnya adalah merupakan kontra argumen terhadap model Farmer-Richman. Menurut Farmer-Richman, bila faktor budaya dianggap sebagai faktor penentu pokok dalam kemangkusan manajemen, maka kemangkusan di keseluruhan sektor dalam suatu negara (dengan budaya yang sama) akan sama pula. Negandhi-Prasad menyatakan bahwa anggapan pemikiran tersebut adalah merupakan suatu kejanggalan.

Pada dasarnya model-model dalam anasisis cross cultural bertujuan untuk mencari jawaban atas pengaruh (baik yang bersifat langsung atau tidak langsung) terhadap kemangkusan dan kesangkilan manajemen. Pada setiap model ditemukan bahwa bagaimanapun juga pada akhirnya pelaksanaan keseluruhan fungsi manajemen sangat ditentukan oleh pola pikir para pelaksana fungsi-fungsi tersebut, yang secara alamiah telah terbentuk oleh latar belakang budaya mereka.

Kepemimpinan dalam Manajemen Lintas Budaya

Woodrow Sears, seorang konsultan manajemen dari California, menyampaikan suluhannya kepada kliennya bahwa : (Elashmawi, 1996 : 14)
a) “Kepemimpinan” adalah penciptaan struktur yang memungkinkan orang-orang untuk mengambil bagian dalam mencapai tujuan-tujuan yang bernilai.
b) “Manajemen” dapat dirumuskan sebagai “harapan/pengawasan”, yang berarti bahwa para manajer harus mangkus dalam menciptakan dan memperjelas harapan atas pelaksanaan tugas dengan para bawahan atau rekan sekerja, kemudian mereka mengadakan perundingan dan melakukan pengawasan untuk meyakinkan bahwa pekerjaan diseleksaikan dengan baik. Amatlah disayangkan bahwa prasangka, kefanatikan, kebodohan dalam organisasi atau manajemen dibiarkan merongrong sumbangan dan perkembangan maksimal karyawan.

Praktek manajemen lintas budaya berpusat di sekitar kepentingan manusia. Dalam buku Human Side of Enterprise, McGregor mengatakan bahwa selama lebih dari empatpuluh tahun para ilmuwan di bidang perilaku manusia (behavioral) telah menyampaikan pesan itu kepada para manajer, tetapi baru sekarang banyak dari mereka sungguh-sungguh mulai mendengarkan dan menterjemahkan konsep tersebut ke dalam tindakan operasional.

Banyak manajer lokal kembali mempelajari pandangan-pandangan semacam itu pada waktu mereka ke luar negeri dan mengamati manajemen seperti dipraktekkan di dalam budaya-budaya lain. Sebagai contoh, penerapan oleh orang Jepang atas konsep “gugus kendali mutu” (quality circle) yang mula-mula dikemukakan oleh WE Dening, seorang insinyur perindustrian dari Amerika, yang menyebabkan orang-orang senegerinya dengan serius memanfaatkan teknik kelompok ini.

Sebaliknya pada kasus yang lain, para manajer di Amerika pada awal dekade sembilanpuluhan sangat antusias mempelajari lagi tentang pentingnya “modal manusia” dan kerjasama karyawan/manajemen dari rekan-rekan Asia mereka. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Alan Binder sebagai berikut : (Business Week, 11 November 1991, p22)

Orang Jepang agaknya telah berhasil mengatasi “rintangan kami melawan mereka” yang sedemikian merusak hubungan kerja dalam perusahaan-perusahaan Amerika dan Eropa. Mereka melakukannya dengan menciptakan perasaan bahwa karyawan dan manajemen mempunyai nasib yang sama … bahwa lembaga usaha Jepang yang berjalan dengan baik adalah dari oleh dan bagi orang-orangnya.

Maka perusahaan-perusahaan Jepang melatih para karyawannya, menjamin keamanan kerja, dan memberi jalur karier yang leluasa jika perusahaan berkembang. Jarang kalangan CEO Jepang bersikap sebagai diktator; banyak perusahaan terkenal dijalankan dengan konsensus. Pekerjaan diatur oleh tim yang terdiri atas jajaran eksekutif sampai karyawan paling bawah. Konsultasi antara pekerja dan manajemen terjadi disegala tingkat. Para pekerja Jepang bekerjasama dengan manajemen karena kesejahteraan mereka terikat dengan perusahaan. Sedikit banyak hal yang akan membuat orang Amerika pada umumnya terheran-heran adalah bahwa perusahaan-perusahaan Jepang yang besar dijalankan lebih demi kesejahteraan para karyawannya daripada demi para pemegang sahamnya. Ini berarti memberi tunjangan tambahan yang besar, maupun pelatihan dan keamanan. Dalam hal mengelola sumberdaya manusia, menurut hemat saya, orang Amerika dapat belajar banyak dari Jepang.

Pelajaran di sini adalah bahwa para manajer lokal dapat belajar banyak dari cara orang-orang asing memandang praktek manajemen kita, meskipun dari sistim manajemen dari negara-negara lain.

Benturan Budaya pada Joint Venture dengan Mitra dari Negara non Kapitalis
Ketika manajemen dan pekerja merupakan produk ekonomi tersentralisir (komunis, sosialis maupun bentuk lainnya), manajemen dan pekerja dari masyarakat perdagangan bebas dan dermokratis akan langsung merasakan perbedaan-perbedaan yang dramatis dalam sudut pandang pada waktu mereka berusaha melakukan kesepakatan joint venture dengan mereka. Ekonomi sentralistis secara struktural maupun kultural telah dikondisikan pada cara berpikir dan bertindak birokratis; mereka tidak terbiasa dengan konsep-konsep seperti pelayanan kepada konsumen, tanggung jawab perorangan dan keuntungan.

Bahkan ketika pemerintah mengalami peralihan menuju kebentuk yang lebih terbuka dan demokratis, rakyat menanggung dampak dari masa lalu. Warga negara semacam itu mungkin mencari nilai-nilai yang lebih humanistis di tempat kerja, tetapi selama bertahun-tahun mereka telah dipengaruhi oleh sistim yang menuntut bahwa setiap keputusan penting harus disetujui oleh otoritas yang lebih tinggi. Dalam hal ini, sekali keputusan kelompok sudah dibuat, keputusan itu dianggap mutlak sebagai suatu kebenaran dan tidak dapat diganggu gugat.

Kesalahan manajemen dan ketimpangan sumberdaya dalam ekonomi yang tersentralisir menyajikan rintangan yang mengerikan. Pelatihan kembali (retraining), meskipun memerlukan biaya yang cukup besar adalah merupakan kunci keberhasilan, dengan para pekerja berbakat dari masyarakat yang sedang dalam masa transisi.

Dengan demikian pengembangan sumberdaya manusia haruslah dalam hal-hal yang lebih banyak meliputi pelatihan dalam kreatifitas, inovasi, insentif dan ganjaran untuk pengembangan karir, pengambilan resiko dan belajar dari kegagalan. Untuk menghasilkan sinergi budaya dalam joint venture itu, “orang-orang demokrat” yang baru tampil itu merlu mempelajari budaya usaha bebas dan pelayanan kepada konsumen.

Membangun Dialog antar Peradaban (Spektrum Politik)

Di masa depan, pelbagai konflik antar bangsa akan didominasi oleh hegemoni/arogansi peradaban Barat, intoleransi peradaban Islam dan fanatisme peradaban Konfusiusisnisme.

Lebih jauh, Huntington (2000) menjelaskan, sedikitnya ada enam alasan mengapa terjadi perang antar peradaban di masa depan. Pertama, perbedaan antar peradaban itu sudah sangat mendasar dan menjadi makin berseberangan karena sejarah, bahasa, budaya, tradisi dan agama. Kedua, dunia sudah semakin menyempit sehingga interaksi antara orang yang berbeda peradaban semakin meningkat. Ketiga, proses modernisasi ekonomi dan perubahan dunia membuat masyarakat tercerabut dari identitas lokal. Negara-bangsa sebagai sumber identitas mereka, sudah makin melemah. Keempat, peran peradaban Barat yang begitu dominan, telah membuat peradaban non-Barat berreaksi kembali ke fenomena asal. Kelima, karakteristik dan perbedaan budaya sudah kurang bisa menyatu. Dan keenam, regionalisme ekonomi semakin meningkat.

Huntington melihat, banyak aspek keagamaan telah menjadi roh dari peradaban. Karena hal itu, maka di masa depan agama akan banyak berperan dalam konflik antar peradaban. Dalam kaitan ini, agama tidak hanya berfungsi sebagai wacana spiritual yang aman dan damai, tetapi juga bisa tampil sebagai sosok yang seram dan menakutkan. Agama bisa meletupkan konflik dan pertikaian ketika diinterprestasikan sesuai dengan kepentingan sepihak umat atau kelompok agama.

Kesadaran akan identitas dan jatidiri keagamaan yang makin mengeras ini, pada akhirnya bukan saja telah menimbulkan konflik antara kelompok sosial dan budaya, tetapi juga memicu pertikaian antar peradaban. Karena itu, dibutuhkan sebuah dialog konstruktif dan pembangunan saling pengertian antara umat beragama dan pelbagai peradaban, agar konflik tersebut dapat dihindari.

Daftar Pustaka
Cattaneo J., 1989, International Management Research : Problems, Challenges, and Opportunities, NUS.
Desatnich R.L. and Benett M.J., The Multinational Enviroment, KUL Course Material.
Elhasmawi F. dan Harris P.R., 1993, Multicultural Management; New Skill for Global Success, Gulf Publishing Company, Houston, Texas.
Hodgetts and Luthans, 1994, International Management, 2nd Edition, International Edition, McGraw-Hill Inc., New York.
Huntington, S.P., 2000, Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia, Cet. 1, alih bahasa M. Sadat Ismail, Qalam, Jakarta.
Kelly L. and Northley R., 1981, The Role of Culture in Comprative Management : A Cross Cultural Prespective, Academy of Management Journal, vol. 24, no. 1.
Yun C.K., 1973, Role Conflict of Expatriate Managers, a Construct, Journal of International Business Studies, vol. 6.